• Tuesday, 22 July 2014
  • Sutar Soemitro
  • 0

Selama ini kita mungkin sudah sering melihat umat Buddha berkumpul dalam jumlah banyak untuk merayakan Waisak atau hari besar Buddhis lainnya. Namun beda rasanya ketika kumpulan sejumlah besar umat Buddha tersebut untuk melatih diri bersama.

Itulah yang terjadi pada tanggal 20 Juli 2014 lalu di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah. Sebanyak 710 umat Buddha dari berbagai penjuru di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), serta beberapa daerah lain seperti Jakarta hadir dalam acara “Atthasila Asadha Puja 1000 Upasaka Upasika” untuk bersama-sama melatih diri melakukan Atthasila sekaligus merayakan Hari Asadha 2558 BE/2014.

Hati semakin bergetar karena semua peserta Atthasila berpakaian seragam berbaju putih dengan selendang putih dan celana hitam. Mereka juga terus duduk berbaris rapi sejak acara dimulai hingga selesai.

Sampai-sampai salah satu bhikkhu senior Indonesia yang hadir sebagai pembicara, Bhikkhu Dhammasubho tak lupa memberikan pujian. “Siang ini rasanya seperti tidak hidup di dunia, karena tidak biasa melihat Atthasila-Atthasilani yang segini banyak. Tidak biasa melihat duduk dengan rapi dan berpakaian rapi seperti ini. Ini biasanya saya jumpai di alam-alam dewa,” puji Bhikkhu Dhammasubho.

Minggu pukul 5 pagi, dilakukan upacara pengambilan sila yang dipimpin oleh Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia (STI) Bhikkhu Jotidhammo, dan dilepas keesokan paginya dengan dipimpin oleh Bhikkhu Dhammasubho.

 

20140722 Umat Buddha Jawa Tengah dan DIY Rayakan Asadha dengan Atthasila_2

Manfaat Sila

Atthasila terdiri dari delapan sila (moralitas). Pelatihan diri ini lazimnya dijalankan oleh umat Buddha pada saat uposatha, yaitu saat bulan gelap, bulan terang, bulan setengah gelap, dan bulan setengah terang; atau tanggal 1, 8, 15, dan 23 tiap bulan kalender lunar.

Delapan moralitas tersebut adalah menghindari pembunuhan makhluk hidup; menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan; menghindari perbuatan tidak suci; menghindari ucapan yang tidak benar; menghindari minuman memabukkan, hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran; menghindari makan makanan setelah tengah hari; menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukan; memakai, berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan mempercantik tubuh; dan menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).

“Kita semua di sini mempunyai tujuan yang sama, yaitu berlatih Atthasila,” ujar Bhikkhu Silanando di awal acara. Ia berharap agar para peserta Atthasila berlatih sungguh-sungguh sehingga bisa memetik manfaat sebaik-baiknya.

Selama sehari penuh dari pagi buta hingga larut malam itu para Atthasila-atthasilanimengikuti jadwal yang padat berupa pembacaan paritta, mendengarkan Dhammadesana oleh anggota Sangha, meditasi, Asadha Puja, talk show, dan pembacaan Manggala Sutta.

“Kalau kita tidak tahu tujuan utama dan pertama sila, pasti tidak semangat menjalankan sila! Tapi kalau kita tahu tujuan utama dan pertama sila, pasti semangat!” seru Bhikkhu Dhammasubho.

Ia menambahkan, kalau sila dijalankan dengan baik, itu yang menyebabkan hidup jadi indah, jadi bersih, jadi baik, dan jadi mahal. “Kenapa para bhante jadi terhormat dan tersendiri?” tanya Bhante. “Karena sila!”

Bhikkhu Dhammasubho menceritakan sebuah kejadian nyata. Ada orang kesurupan parah. Semua cara telah dilakukan dan dukun-dukun dipanggil, tapi tak juga sembuh. Terakhir dipanggillah bhikkhu. Saat bhikkhu datang, baru turun dari mobil, orang yang kesurupan berbulan-bulan itu turun dari ranjang. Ketika Bhante masuk disambut dengan anjali, dan sebuah kata yang mengejutkan, “Selamat datang, Bhikkhu. Saya sebetulnya punya ilmu yang tidak kalah dengan kamu, tapi karena Bhikkhu menjalankan sila, maka saya harus hormat.”

Ilmu ‘makhluk’ yang merasuki tidak kalah dengan bhikkhu, tapi ia memberi hormat. “Yang dihormati silanya,”tegas Bhante yang hari itu seakan membius para Atthasila-atthasilani dengan gaya bertutur bak seorang dalang. Ia berceramah dengan bahasa campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Sesekali guyonan khas Jawa yang ia lontarkan memancing tawa renyah.

Lalu apa manfaat menjalankan sila? Bhikkhu Dhammasubho mengutip apa yang dikatakan oleh Buddha, “Silena suggatim yanti. Silena bhogasampada. Silena nibuttim yanti. Sila menyebabkan terlahir di alam sorga. Sila menyebabkan tidak akan kesulitan mendapatkan makan. Sila menyebabkan tercapainya kebahagiaan tertinggi Nibbana.”

 

20140722 Umat Buddha Jawa Tengah dan DIY Rayakan Asadha dengan Atthasila_3

Membudayakan Atthasila

Walaupun pelatihan Atthasila ini hanya berlangsung selama satu hari, namun bukan berarti manfaatnya minim. “Saya sangat mengapresiasi karena saya baru tahu tentang Atthasila ternyata harus ada pembukaan dan pelepasan,” ujar Romo Hartono asal Pati. Selama ini ia sering melakukan Atthasila saat hari uposatha dan menjelang Waisak, tapi tidak tahu jika harus ada pembukaan dan penutupan.

Sementara bagi Panisah dari Jepara, ini adalah program pelatihan diri massal yang pertama ia ikuti. Ia menuturkan, “Kegiatan ini membawa semangat karena sebelumnya belum pernah ada kegiatan yang melibatkan orang sebanyak ini. Di tempat kami selama ini biasa mengadakan Atthasila sebulan menjelang Waisak, tapi acaranya tidak sepadat seperti di sini.”

Adanya beberapa sesi ceramah oleh beberapa bhikkhu secara borongan dalam sehari juga dianggap bisa memberikan pengetahuan Dhamma bagi para peserta. “Acaranya bagus, bisa meningkatkan keyakinan terhadap agama Buddha karena setelah mendengarkan ceramah Dhamma begitu banyak dan jelas,” ungkap Kirmi dari Temanggung.

Baginya, program pelatihan diri seperti ini ibarat nge-charge HP. “Pikiran ini sangat liar, sehingga acara seperti ini ibarat nge-charge HP. Saat kita mulai lengah, ada motivasi untuk bangkit kembali,” tambahnya.

Program ini mungkin akan kembali diadakan pada tahun depan. Begitu harapan ketua panitia Wirya Purwasamudra. “Semoga ada kegiatan seperti ini secara berkala, tidak harus dilaksanakan pada saat Asadha,” harap Wirya.

Ia berharap, “Setelah kegiatan ini, kami harapkan bisa dipraktekkan di vihara dan lingkungan masing-masing peserta.”

Menurutnya, Atthasila sebenarnya sudah sering dilaksanakan di vihara-vihara, tapi tidak rutin, belum menjadi budaya. “Kita akan berusaha untuk membudayakan Atthasila di vihara masing-masing, sukur sukur sesuai dengan hari uposatha, yaitu bulan gelap, bulan terang, bulan setengah terang, dan bulan setengah gelap. Mungkin secara periodik satu bulan empat kali. Sedangkan untuk kumpul yang akbar seperti acara kali ini, ada masukan untuk diadakan secara periodik juga mungkin setahun sekali,” jelas Wirya.

Ia menambahkan, dari sekian luasnya Jawa Tengah dengan umat Buddha yang mayoritas berada di tepi desa, dusun-dusun, bukan di tepi desa malah, tapi di gunung-gunung, di pelosok pedalaman, semestinya para Dhammaduta bisa menjangkau semuanya. Itulah perlunya diadakan kegiatan bersama sehingga saling bersinergi.

“Dengan adanya kegiatan bersama, moral akan terangkat, saddha (keyakinan) akan terangkat, akan menjadi termotivasi. Kalau sendiri sendiri, akan merasa terpencil,” lanjut Wirya.

Wirya yakin, dengan adanya acara kumpul bersama seperti ini secara periodik di tempat masing-masing, entah puja bakti atau Atthasila bersama, akan membuat mereka menjadi lebih bersemangat.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara