Lebih dari seperempat abad, Tsoknyi Rinpoche telah berkeliling dunia untuk mengajarkan tentang alam pikiran terdalam menurut tradisi Buddhis Tibetan. Terlahir dalam keluarga Master Dzogchen Tulku Urgyen Rinpoche, ia adalah kakak kandung dari Yongey Mingyur Rinpoche yang cukup terkenal di Indonesia. Tsoknyi Rinpoche diakui sebagai Lama dari tradisi Drukpa Kagyu yang penting oleh mendiang His Holiness Karmapa ke-16.
Tsoknyi Rinpoche sangat tertarik dengan dialog yang sedang berlangsung antara penelitian ilmiah Barat – terutama neurologi dan psikologi – dan pemahaman Buddhis. Pengetahuannya tentang psikologi Barat telah memungkinkannya mengajarkan meditasi dengan cara yang relevan dengan pengalaman sehari-hari saat ini, sambil menyentuh kesadaran kita yang paling dalam.
Kami berkesempatan mendapatkan ajaran dari Tsoknyi Rinpoche dalam Essence Love & Subtle Body Retreat: Journey towards inner well-being and transformation. Acara retret tersebut digelar di Singapura, 16-18 November 2018.
Tsoknyi Rinpoche menjelaskan, dalam masyarakat modern, gaya hidup didorong oleh kecerdasan dan pengejaran kemakmuran. Ia memerhatikan, tanpa disadari gaya hidup seperti ini menciptakan penyumbatan dalam energi tubuh yang halus, dan mengurangi kebahagiaan mereka. Menurutnya bahwa meskipun seseorang mungkin bisa berpikir dengan baik, ia tidak merasa baik di bagian terdalam dari keberadaannya. Akhirnya penyumbatan energi halus ini menghabiskan daya berpikir juga, yang mulai menghasilkan rasa hampa. Hasilnya adalah banyak ketidakbahagiaan dan ketidakharmonisan bagi individu, untuk keluarga, masyarakat, dan tempat kerja.
Salah satu metode untuk mengatasi hal ini menurutnya adalah “latihan jabat tangan” (handshake practice). Bukan menjabat tangan orang lain, namun bersalaman dengan “monster” yang ada di dalam diri sendiri, melihat ke dalam dan terhubung secara jujur dengan diri sendiri, untuk mengenali berbagai perasaan yang tidak menyenangkan, menyapanya, dan membiarkannya berlalu.
“Kalau ada perasaan tidak enak muncul, bilang saja ‘oh, ini bukan aku, ini cuma sisa-sisa, sisa jejak karma, bukan yang nyata’,” tuturnya.
“Kalau monster muncul, katakan hai, senyum, bersikap baik, jangan lari darinya,” sambung Rinpoche mengingatkan bahwa “monster” itu akan hilang dengan sendirinya.
Rinpoche mengisahkan pengalamannya di Inggris beberapa tahun lalu ketika ia terburu-buru mengantre di toilet umum. Ketidakseimbangan energi halus dalam tubuhnya membuatnya sangat tergesa-gesa, padahal ia sebenarnya tidak diburu waktu. Alhasil, begitu ada satu pintu toilet yang terbuka, ia segera masuk, padahal orang yang memakainya belum juga keluar.
“Bolehkah saya keluar,” kata si pemakai toilet dengan sopan, diceritakan ulang oleh Rinpoche. Tentu saja cerita ini mengundang gelak tawa puluhan peserta retret.
Baca juga: Dagri Rinpoche: Ajaran Indah Bodhicitta
Jadi, menurutnya sangat penting untuk menyadari energi tubuh yang halus dan memperlambat kecepatan serta menyadari berbagai perasaan khawatir yang muncul dengan “menyalaminya” dan membiarkan pergi.
“Ketika kita memiliki keharmonisan dalam batin, tubuh halus [subtle body] dan tubuh fisik, maka perasaan damai muncul dan menyebar ke orang lain,” katanya.
Terkait tubuh halus, Rinpoche menerangkan bahwa itu terdiri dari tiga aspek yang saling terkait. Yang pertama terdiri dari apa yang dalam bahasa Tibet disebut “tsa”, (“nadi” dalam bahasa Sanskerta), biasanya diterjemahkan sebagai saluran. Mereka terkait erat, tetapi tidak sama dengan jaringan saraf yang meluas ke seluruh tubuh. Saluran-saluran ini adalah jalur yang memungkinkan percikan hidup (“thigle” dalam bahasa Tibet, “bindu” dalam bahasa Sanskerta) untuk beredar dan dapat dibandingkan dengan neurotransmitter – pembawa pesan kimia yang memengaruhi keadaan fisik, mental, dan emosional kita. “Bindu” bisa mengalir di dalam “nadi” karena energi halus atau angin batin, yang dikenal di Tibet sebagai “lung” (“prana” dalam bahasa Sanskerta).
“Bindu itulah sumber dari cinta kasih yang esensial, kebahagiaan yang mendasar,” jelas dia.
Untuk membuat keharmonisan tubuh halus, Rinpoche mengajarkan meditasi pernapasan, dengan cara menghirup napas panjang hingga perut mengembang, dan menahannya selama beberapa detik, sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Metode ini menurutnya akan mampu membuat aliran lung/prana/chi yang kacau menjadi tenang.
“Kalau ini tidak dilakukan, mau latihan samatha atau merapal mantra, batin kita tidak akan tenang,” jelas Rinpoche.
Dalam kesempatan retret ini, Rinpoche juga mengajarkan metode meditasi samatha tanpa objek. Ini dilakukan dengan duduk tenang, tanpa berusaha fokus terhadap objek apa pun. Ia juga menyarankan untuk berlatih meditasi ini dengan mata terbuka. Sebab dengan mata terbuka, meditasi ini bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, dan lebih relevan dengan kesibukan/aktivitas seseorang sehari-harinya.
“Kalau kita menutup mata, kesannya kita bersembunyi dari sesuatu,” terangnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara