• Tuesday, 9 April 2019
  • Ngasiran
  • 0

“Pertama saya datang ke sini itu seperti shock culture gitu, seperti menemukan Indonesia yang diceritakan di buku-buku. Gotong royongnya dapet, kerukunannya dapet, orang-orangnya ramah, menerima siapa pun tamu yang ada,” kata Elvan Dhaneswara, salah satu peserta peserta Live in Nyadran Perdamaian; Menggali Nilai-Nilai Perdamaian dari Budaya Lokal.

Acara yang dimotori oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN), Peace Leaders Indonesia dan BuddhaZine ini dilaksanakan di Dusun Krecek, Temanggung. Acara berlangsung selama 4 hari Rabu – Sabtu (27 – 30/3) dan diikuti oleh sekitar 15 pemuda dari pelbagai daerah di Indonesia seperti; Temanggung, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, Jember, Kediri, Bodowoso, dan Kalimantan. Mereka tinggal di rumah-rumah warga dan mengikuti segala aktivitas keluarga yang ditinggali layaknya masyarakat desa.

Hidup dan tinggal di rumah masyarakat desa dengan latar belakang berbeda agama dan budaya memberi kesan tersendiri bagi Elvan. “Yang lebih penting apa yang selama ini saya pikir dan saya rasa ini hanya sebagai budaya Islam, ternyata itu bukan hanya budaya Islam, tetapi itu juga budaya Nusantara. Contohnya adalah sarung sama songkok, saya kira itu adalah budaya muslim ternyata itu adalah budaya Nusantara. Sebagai contoh umat Buddha di sini juga memakai songkok atau sarung.

“Nyadran juga seperti itu, ternyata Nyadran itu bukan hanya tentang budaya agama tetapi betul-betul wujud dari identitas sebuah bangsa. Dari situ juga terlihat bagaimana budaya itu menghargai sesama, baik itu manusia maupun mahkluk lain. Dapat saya simpulkan mengapa akhir-akhir ini Indonesia mengalami degradasi moral atau intoleransi, saya rasa itu karena degradasi budaya. Karena menurut saya, budaya itu merupakan simpul perdamaian di negeri ini,” pungkasnya.

Tak jauh berbeda dengan Elvan, Ana Intaning peserta lain dari Kabupaten Kediri Jawa Timur mengikuti acara ini karena penasaran dengan Upacara Nyadran. “Saya datang ke sini karena penasaran dengan Nyadran. Saya dengar dan baca-baca di internet Nyadran itu semacam kendurian bersama dan uniknya diikuti oleh semua agama, ada Buddha dan Muslim makan bareng, menjadi satu, dengan doa dari masing-masing agama,” katanya kepada BuddhaZine.

Setelah mengikuti acara ini, perempuan yang akrab disapa Intan ini merasa ada kebhinnekaan di Dusun Krecek. “Saya merasa kebhinnekaan di Dusun Krecek ini hidup, karena di tengah-tengah perbedaan ternyata persatuan itu masih bisa diwujudkan. Jadi menurut saya, PR kita kedepan bagaimana melestarikan yang seperti ini. Kita tidak mungkin kalau hanya menggandrungi style-style modern sementara kita melupakan kebudayaan kita sendiri itu menurut saya akan membuat Indonesia semakin melemah, jangan sampai itu terjadi,” katanya.

Nyadran perdamaian; upaya menggali nilai perdamaian dari budaya setempat

Nyadran merupakan salah satu budaya Nusantara yang masih lestari dan dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Di perdesaan Temanggung, upacara Nyadran dilaksanakan masyarakat dengan totalitas setiap tahunnya, ini juga yang terlihat dalam upacara Nyadran makam masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk Desa Getas.

Selain dimaknai sebagai bentuk rasa bakti terhadap leluhur, bagi masyarakar Krecek dan Gletuk upacara Nyadran juga dijadikan sebagai sarana silaturahmi, srawung, dan kumpul keluarga. Karena tak hanya saat hari raya Lebaran atau Waisak, saat Nyadran sanak saudara yang sedang merantau biasanya juga pulang kampung untuk berziarah ke makam dan berkumpul dengan keluarga.

“Nyadran adalah sarana untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahuluinya. Selain itu banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Nyadran tersebut salah satunya adalah menjaga kerukunan di antara masyarakat setempat. Nyadran dilaksanakan secara turun temurun, namun apakah narasi nyadran juga masih diserap oleh anak-anak muda?” kata Maskur Hasan, Koordinator Jogja dan Jawa Tengah AMAN Indonesia, penggagas acara ini.

“Secara umum, tujuan kegiatan Live In dan Nyadran Perdamaian ini adalah untuk mendorong anak-anak muda mengambil peran sebagai agen perdamaian dalam upaya promosi perdamaian; Memberikan pemahaman tentang kepemimpinan pemuda dalam pembangunan perdamaian dan menggali nilai-nilai perdamaian, kerukunan, dan saling menghargai dalam tradisi Nyadran,” pungkas Maskur.

Baca juga: Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis

Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan aneka budaya yang masih dijalankan masyarakat Dusun Krecek. Seperti saat pembukaan, panitia, peserta, tokoh agama, perangkat desa dan semua warga melakukan gendurian bersama di rumah kepala dusun. Seakan tak ada jarak, mereka melebur menjadi satu dalam obrolan ringan dan makan bersama dengan alas daun pisang.

Kesan mendalam hidup dengan keluarga baru

Hidup dan tinggal dengan keluarga baru, mungkin bagi sebagain orang akan merasa tidak nyaman. Tetapi tidak bagi para peserta Live in Nyadran Perdamaian. Meskipun pada awalnya mereka merasa canggung, tetapi setelah menjalani selama empat hari mereka mendapat kesan tersendiri.

Seperti yang dialami oleh Ferry Fitrianto, salah satu peserta dari Yogyakarta. Pada awalnya, Ferry merasa canggung, tetapi setelah merasakan keramahan tuan rumah yang ditinggali dia merasa nyaman. “Ini adalah pengalaman pertama saya, melihat perbedaan yang sangat luar biasa. Pertama saya merasa asing ya, melihat patung Buddha di taman-taman, depan rumah. Tapi ternyata lama kelamaan, saya terbiasa dan merasa nyaman dengan keramahan yang punya rumah dan keluarga,” katanya.

Mohammad Afifi menuturkan pengalamannya, “Dari sekian pengalaman saya ada sebagian kelompok orang yang ingin membenturkan budaya dan agama. Agama dan budaya itu harus bersentuhan dan saling melengkapi.  Mengapa begitu? Karena datangnya agama bagi saya itu tidak lepas dari budaya. Sejatinya budaya itu di atas agama itu sendiri. Karena agama itu nilai sementara budaya itu adalah cara berpikir dan hasil dari gerak bepikir maka dua hal ini harus berjalan beriringan.

“Pengalaman saya di desa ini, sampai dua tiga hari tinggal di rumah orang yang berbeda agama saya merasakan ini sebenarnya pernah saya alami ketika saya kecil dulu. Kebersatuan, penguatan nilai budaya dan Indonesia akan maju bila kita bersatu.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara