
Foto: Ana Surahman
Di sebuah dusun kecil yang sangat jauh dari keramaian dan berada di tengah-tengah belantara, bermukim sekelompok masyarakat Suku Alifuru yang sedang belajar menjadi umat Buddha. Dusun Von, yang terletak di wilayah administrasi Desa Adabai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, dihuni oleh sekitar 250 orang yang terbagi dalam 39 kepala keluarga (KK). Mereka berjuang untuk menghafal kata demi kata yang tertera dalam paritta suci.
Pada Rabu (4/3), atas dukungan dari Dana Everyday, tim BuddhaZine berkesempatan bergabung dengan rombongan Bhante Sisiratano di Ambon untuk melihat langsung keberadaan dan aktivitas umat di Dusun Von. Perjalanan menuju ke lokasi hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki melalui rute dari Desa Atiahu, Kecamatan Siwalalat, selama 3,5 jam. Medan yang dilalui cukup berat, melewati tepi sungai besar dan hutan lebat.
Dusun Von terlihat sangat sederhana. Rumah-rumah penduduk masih berupa rumah panggung yang sebagian besar menggunakan atap anyaman daun sagu. Jarak antar rumah cukup berjauhan, dan dalam satu rumah bisa dihuni hingga empat keluarga. Tidak heran jika interior rumah hanya terdiri dari satu ruang besar tanpa sekat, yang digunakan sebagai tempat berkumpul keluarga besar. Air jernih dan dingin mengalir sepanjang waktu melalui pipa bambu yang dipasang di sungai-sungai kecil dekat dusun. Pemandangan pohon-pohon besar masih mendominasi alam sekitar, sementara suara burung dan binatang hutan masih sering terdengar.
Anak-anak di dusun ini sudah terbiasa dengan aktivitas fisik. Mereka rajin mengambil air (ngangsu) untuk kebutuhan rumah, sementara remaja putri mengambil kayu dari hutan menggunakan saloi (tempat membawa barang berbentuk kerucut yang digendong dengan tali di kepala). Para remaja dan dewasa menghabiskan waktu dengan berkebun, memanfaatkan lahan hutan untuk menanam kelapa, kakao, pisang, dan ketela. Di waktu lain, mereka berburu dan mengambil sari sagu sebagai makanan pengganti nasi. Sesekali, mereka turun ke desa bawah untuk menjual sayur dan hasil kebun, lalu membeli sembako serta kebutuhan lainnya yang bisa dibawa kembali ke dusun.
Masyarakat Dusun Von masih sangat menghormati dan mempercayai leluhur. Sistem tatanan sosial mereka dipengaruhi oleh sosok sesepuh yang disebut Tete atau Bapak Raja. Saat kedatangan kami, Bhante mengajak kami mengunjungi Tete sebagai bentuk permisi, dan kami disuguhi racikan pinang, daun sirih, dan kapur untuk dikunyah. Tradisi ini merupakan bentuk penerimaan mereka atas kedatangan kami. Sistem kekuasaan Tete diteruskan kepada keturunan yang memenuhi syarat unik, yaitu anak laki-laki yang sudah berkeluarga dan memiliki setidaknya 11 anak, yang semuanya harus sehat dan hidup hingga dewasa.
Tradisi unik lainnya di Dusun Von adalah tata cara pemakaman khusus untuk Tete dan anak perempuan tertuanya. Jenazah mereka disemayamkan dalam gubuk panggung dari kayu beratap daun sagu yang disebut Para-para, dan ditempatkan sekitar 1,5 kilometer di atas dusun, di bawah rindangnya pepohonan. Pada hari kedua, Bhante mengajak kami mengunjungi Para-para. Kami kembali mengikuti tradisi mengunyah racikan pinang sebagai bentuk permisi dan penghormatan kepada Tete yang telah meninggal. Bhante memimpin pembacaan paritta pelimpahan jasa.
“Tradisi ini harus dijaga dan dilestarikan, karena menjadi penanda bahwa di wilayah ini ada yang menguasai, sehingga alam pun bisa terjaga. Semoga dengan segenap kebajikan warga umat Buddha Dusun Von, Tete yang sudah meninggal serta segenap leluhur turut berbahagia,” ujar Bhante Siriratano, Bhikkhu Perintis Pembinaan untuk Pedalaman Pulau Seram.
Sunat adat juga menjadi tradisi yang masih dijaga masyarakat Von. Remaja yang telah disunat harus berpuasa merokok dan menghindari jenis makanan tertentu selama enam bulan. Untuk diakui sebagai dewasa, remaja tersebut harus berhasil berburu, minimal sekali menangkap hewan buruan di hutan.

Agama Buddha Mulai Tumbuh
Suatu ketika, seorang pemuda Dusun Von bernama Yopi Abalalang berkunjung ke rumah saudaranya di Yamatitam, dusun lain yang berjarak sekitar 18 kilometer dari dusunnya. Kunjungan Yopi ke Yamatitam membawa pulang informasi tentang Agama Buddha dari Metam, pemuda Yamatitam yang telah mengenal ajaran Buddha dari Bhikkhu Siriratano. Yopi menceritakan informasi tersebut kepada keluarganya dan Tete, yang kemudian disampaikan kepada masyarakat. Setelah beberapa bulan, masyarakat Von akhirnya mengundang Bhante untuk mengetahui lebih jelas tentang Agama Buddha. Undangan tersebut disampaikan melalui Metam, dan pada akhir tahun 2014, Bhante bersama beberapa orang pertama kali mengunjungi Dusun Von.
“Awal saya datang ke sini, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga komunikasi menjadi kendala. Untungnya ada Yopi yang pernah menempuh pendidikan di Atiahu dan mengerti Bahasa Indonesia, sehingga bisa menerjemahkan,” jelas Bhante.
Kesesuaian ajaran Buddha dengan tradisi dan filosofi hidup masyarakat menjadi alasan utama warga Von menerima dan memeluk Agama Buddha. Pak Agus, Kepala Dusun, mengaku merasa cocok dengan Agama Buddha karena diajarkan untuk menghormati leluhur dan menjaga alam.
“Kami dulu diajarkan untuk menjaga tanah adat ini, batas-batas mana yang harus kami jaga, karena kami punya hak atas tanah adat ini. Kami juga diajarkan untuk menghormati dan mengenang jasa leluhur kami, dan ternyata dalam ajaran Agama Buddha juga sama. Makanya tradisi sirih pinang masih ada sampai sekarang,” ujar Pak Agus.
Sejak saat itu, kunjungan dan pembinaan semakin rutin diadakan setiap tahun, bahkan Bhante mengaku pernah dua kali dalam setahun mengunjungi umat pedalaman. Untuk meningkatkan pembinaan, Bhante juga bekerja sama dengan masyarakat luas dan beberapa organisasi Buddhis, termasuk mengajak beberapa Bhikkhu Sangha Theravada Indonesia (STI) untuk berkunjung. Pembinaan yang dilakukan telah berdampak pada peningkatan berbagai aspek kehidupan masyarakat Dusun Von.
Kini, banyak warga yang sudah mengerti dan berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan sudah bisa membaca paritta. “Untuk pertanian, hubungan masyarakat di gunung dengan masyarakat di bawah semakin membaik, sehingga berdampak pada distribusi hasil panen dan peningkatan perekonomian warga,” lanjut Bhante.
Yopi Abalalang menceritakan bahwa dahulu kehidupan warga Dusun Von berpindah-pindah. Selain itu, masyarakat belum terbiasa dengan bertani dan berkebun. Ia juga menyoroti kurangnya pendidikan anak-anak Dusun Von. Bidang pendidikan ini menjadi fokus penting dalam pembinaan oleh Bhante. Sejak pertama kali membina di Dusun Von, banyak anak-anak yang disekolahkan. Bahkan, saat ini sudah ada satu pemuda dari Dusun Von yang sedang menjalani pendidikan sebagai samanera di Vihara Mendut, Magelang, bernama Samanera Biru.
“Dulu kami tidak menerapkan pertanian seperti sekarang. Orang-orang tua dulu hanya tahu mencari makan, berburu, dan menanam sedikit-sedikit. Dulu juga jarang ada anak yang sekolah di sini, tapi sejak mengenal Bhante, banyak anak-anak yang disekolahkan dan mereka jadi bisa baca tulis,” ungkap Yopi.
Saat ini, warga juga sudah memiliki fasilitas vihara yang dibangun di ujung dusun, lengkap dengan toilet. Seiring dengan proses pembinaan, perhatian pemerintah juga semakin baik. Kini sudah ada beberapa rumah warga yang dibangun oleh pemerintah setempat. Untuk penerangan, saat ini sudah ada genset meskipun masih harus membeli minyak dari bawah tetapi setidaknya bisa membantu warga yang sebelumnya memakai obor dari getah damar.

Tantangan Umat Buddha Von
Meskipun peningkatan dalam berbagai bidang sudah mulai terlihat, bukan berarti tidak ada kendala untuk masa depan umat Dusun Von. Bimbingan dan pembinaan masih perlu dilakukan lebih intensif untuk meningkatkan kualitas hidup umat. Namun, medan yang sulit dan jarak yang jauh dari akses kendaraan menjadi tantangan yang cukup besar.
“Di sini, terus terang, masih kurang pembinaan. Kadang-kadang kami juga bingung siapa yang mau ikut membina di sini dengan medan yang sulit dan tidak semua orang mau berkunjung ke sini,” kata Bhante.
Bhante berharap semakin banyak organisasi Buddhis dan umat Buddha di luar Seram yang ikut memperhatikan serta mendukung pembinaan. Di sisi lain, Bhante juga berharap minat anak-anak terhadap pendidikan semakin meningkat. Bagi Bhante, pendidikan akan menjadi pemantik kemajuan umat.
“Makanya, saya harap Samanera Biru ini bisa lanjut pendidikannya, bahkan menjadi bhikkhu dan bisa membina umat di sini,” pungkas Bhante.




