• Monday, 2 July 2018
  • Thirasamvaro
  • 0

Tradisi di Ponorogo, Jawa Timur dan sekitarnya, memasak dan memakan ketupat (diseput kupat) dilakukan pada hari ketujuh setelah lebaran. Lebaran di Kabupaten Ponorogo, tidak hanya dirayakan oleh umat Islam saja.

Warga Budhhis di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo juga menyediakan jajanan lebaran yang memiliki arti bahwa mereka membuka pintu, mempersilakan tamu untuk masuk. Hal tersebut menginspirasi Presidium Lintas Iman Ponorogo untuk melaksanakan “Kupatan Bebarengan” dengan tema “Nyawiji” di Pendopo Vihara Dharma Dwipa, Sodong, Ponorogo pada Sabtu, 23 Juni 2018.

Kegiatan yang dilaksanakan di pelosok Ponorogo yang berbatasan dengan Wonogiri ini tidak hanya dihadiri oleh umat Buddha dan Islam saja, namun juga dihadiri oleh umat agama lain, seperti Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr dari Stasi Klepu, Sooko, Ponorogo, yang beragama Katolik serta Suradi dari Penghayat Sapta Darma. Selain itu juga turut hadir perangkat desa Gelangkulon, perangkat kecamatan Sampung, serta Koramil dan Polsek Sampung.


Tamu dari agama Islam dan Buddhis membaur menjadi satu.

Alunan Karawitan Ngudi Laras menyambut tamu yang hadir. Paguyuban Karawitan ini merupakan warga dusun Sodong yang terdiri dari agama Buddha dan Islam, sehingga sangat kental kerukunan yang damai dan tenang di dusun ini.

Baca juga: Maha Puja Waisak Blitar Raya diselenggarakan Masyarakat Lintas Agama

Acara berjalan dengan diskusi yang dimoderatori oleh Ahmad Sauji, dengan narasumber Gus Muis, Gus Wida Jauhan, Romo Agus Wibowo, dan Suwandi Cittapanna. Acara ditutup dengan makan ketupat bersama serta doa yang dipimpin oleh Suradi dengan cara Sapta Darma.

Ahmad Sauji menjelaskan bahwa “nyawiji” yang bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “bersatu”, merupakan sebuah implementasi membangun dari persepsi, gagasan, dan iman serta tradisi yang berbeda, bukan untuk menyeragamkan menjadi satu namun bernaung dalam satu, yakni bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih lanjut, Gus Muis memberikan narasi bahwa manusia sejak lahir sudah diciptakan berbeda, bahkan orang kembar sekalipun, sehingga sudah tidak perlu dipaksa untuk menjadi sama, karena perbedaan merupakan sebuah kemutlakan.

Romo Agus Wibowo menambahkan, “Bersatu, didasarkan dari cinta kasih. Karena cinta kasih, membangun persaudaraan.” Tuan rumah tempat diselenggarakan acara ini, yakni Suwandi Cittapanna menyiratkan hal senada, bahwa perbedaan tidak akan membawa kerukunan jika manusia terus memandang pada “sisi berbeda”-nya.

Adanya kesamaan, menghilangkan individualisme, menjadikan kerukunan itu ada. Jajaran Koramil dan Polsek Sampung sangat mendukung terselenggaranya acara ini karena membawa dampak persatuan yang lebih erat di wilayah Ponorogo.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara