• Sunday, 24 January 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Berbicara tentang Buddhadharma Nusantara, biasanya tidak bisa lepas dari obrolan terhadap sosok Suvarnadvīpa Dharmakīrti, guru besar dari Universitas Muaro Jambi, di era Kerajaan Sriwijaya. Sosoknya yang hidup di abad ke-10 itu tak dipungkiri memang legendaris.

Atisha Dipamkara Shrijñana, salah satu tokoh penting dalam pengembangan ajaran Buddha di Tibet, menganggapnya sebagai guru terpenting dalam hidupnya. Atisha sendiri belajar selama 13 tahun di Sumatera di bawah bimbingan Dharmakīrti.

Namun sebenarnya selain Dharmakirti ada satu lagi nama mahaguru dari Muaro Jambi yang tercatat dalam sejarah, namun belum terlalu dikenal publik. Śākyakīrti namanya, hidup di abad ke-7, tiga abad lebih awal dari Dharmakīrti.

Hudaya Kandahjaya Ph.D, seorang pakar Buddhisme yang bermukim di California menjelaskan, belakangan ini, khususnya dari kalangan Vajrayana di Indonesia, memang ada banyak usaha untuk menonjolkan Dharmakirti, yang hidup di abad 10 Masehi. Ini tentu berhubungan dengan Buddhisme Tibet, aliran Buddhadharma yang paling populer di dunia barat.

“Tetapi, salah satu akibatnya, guru besar di Sriwijaya sebelumnya, yaitu Sakyakirti yang guru dari Yijing seringkali terabaikan. Padahal, dari catatan Yijing, juga dari prasasti Talang Tuo, yang saya percaya adalah buah tangan Śākyakīrti, kita menapak kebesaran dan kepiawaian maha acharya ini,” ungkap Hudaya kepada BuddhaZine, belum lama ini.

Memang, sangat sedikit peninggalan sejarah untuk melacak sosok Sakyakirti. Namun rupanya kita bisa mencicipi rasa ajarannya, yang menurut Hudaya tergoreskan dalam prasasti Talang Tuo. Hudaya memiliki keyakinan melihat dari era pembuatan dan isinya yang penuh ajaran luhur.

Prasasti ini sendiri ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang / Bukit Siguntang dan dikenal sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Baca juga: Serunya Membaca Prasasti tentang Pelayan Raja Era Majapahit

Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50 cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam Aksara Pallawa, Berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris. Talang Tuo ditulis ketika Punta Hyaṅ Śrī Jayanāśa menjadi raja di Sriwijaya.

Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti Talang Tuo adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p.

Seorang Belanda yang sarjana bahasa, Philippus Samuel van Ronkel, menerbitkan transkripsi berikut terjemahan prasasti ini pada tahun 1923. Kemudian pada tahun 1930 Georges Cœdès menerbitkan lagi perbaikan bacaan dan terjemahannya.

Dari sini, terbitan Cœdès menurut Hudaya kerap dipandang sebagai rujukan utama sewaktu mengacu ke prasasti Talang Tuo. “Tetapi, sayangnya bacaan dan terjemahan Cœdès membawa kekeliruan yang membuat konsep penting agama Buddha dalam prasasti ini melenceng,” tukasnya.

Isi Prasasti Talang Tuo

Hudaya Kandahjaya menerangkan, jika dibaca secara lebih saksama, isi prasasti Talang Tuo seutuhnya adalah seperti di bawah ini:

Svasti. Śrī śakavarṣātīta 606 diṃ dvitīya śuklapakṣa vulan caitra sāna tatkālāña parlak
śrīkṣetra ini niparvuat parvāṇḍa punta hiyaṅ śrī jayanāśa. Ini praṇidhānāṇḍa punta hiyaṅ.
Savañakña yaṅ nitānaṃ di sini ñiyur pinaṅ hanāu rumviya dṅan samiśrāña yaṅ kāyu
nimākan vuaḥña, tathāpi hāur vuluḥ pattuṅ ityevamādi, punarapi yaṅ parlak vukan dṅan
tavad talāga savañakña yaṅ vuatku sucarita parāvis prayojanākan puṇyāña sarvvasatva
sacarācara varopāyāña tmu sukha di āsannakāla. Di antara mārgga lai tmu muaḥ ya āhāra dṅan āir niminuṃna. Savañakña vuatña huma parlak mañcak muaḥ ya maṅhidupi paśu prakāra marhulun tuvivṛddhi. Muaḥ ya jāṅan ya niknāi savañakña yaṅ upasargga pīḍanu
svapnavighna, varaṅ vuatāña kathamapi anukūla yaṅ graha nakṣatra parāvis diya nirvyādhi ajara kavuatanāña, tathāpi savañakña yaṅ bhṛtyāña satyārjjava dṛḍhabhakti muaḥ ya dya yaṅ mitrāña tuvi jāṅan ya kapaṭa yaṅ viniña mulaṅ anukūla bhāryyā. Muaḥ ya varaṅ
sthānāña lāgi jāṅan cūri vācyya vadhāña ya paradāra di sāna, punarapi tmu ya kalyāṇamitra marvvaṅun vodhicitta dṅan maitri u[pe]kṣādi daṅ hyaṅ ratnatraya, jāṅan marsārak dṅan
daṅ hyaṅ ratnatraya, tathāpi nityakāla tyāga marśila kṣānti marvaṅun vīryya rājin tāhu di
samiśrāña śilpakalā parāvis samāhitacinta tmu ya prajñā smṛti medhāvi, punarapi
dhairyyamānī mahāsattva vajraśarīra anupamaśakti jaya, tathāpi jātismara avikalendriya mañcak rūpa subhaga hāsin halap ādeyavākya brahmasvara jādi lāki svayaṃbhu, puna[ra]pi tmu ya cintāmaṇinidhāna tmu janmavaśitā karmmavaśitā kleśavaśitā, avasāna
tmu ya anuttarābhisamyaksaṃbodhi

Terjemahan:

Svasti! Pada tahun Śaka 606, hari kedua paruh-terang (śuklapakṣa), bulan Caitra, pada
waktu itu taman Śrīkṣetra ini dibuat atas perintah Punta Hyaṅ Śrī Jayanāśa. Ini adalah tekad (praṇidhānāṇḍa) Punta Hyaṅ.
Segenap yang ditanaṃ di sini nyiur, pinang, enau, rumbia dan berbagai pohon yang
dimakan buahnya, serta bambu aur, buluh, betung, dan sebagainya; juga, taman lainnya
dengan empang, telaga, dan segenap perbuatan baik yang dibuat olehku, seluruhnya
dimaksudkan untuk memperoleh jasa (prayojanākan puṇyāña) bagi semua makhluk, baik yang bergerak maupun tak bergerak, menjadi upaya terbaik (varopāyāña) untuk
memperoleh kebahagiaan (sukha) pada saat ajal (āsannakāla). Bila di tengah jalan lapar,
semogalah ia menemukan makanan dan air untuk diminum. Segenap huma dan taman yang dibuat olehnya subur, semogalah menghidupi binatang, dan yang sejenis, dan yang bekerja sejahtera berlimpah. Semogalah ia segenapnya jangan dikenai kemalangan, bencana, dan kesulitan tidur, apapun yang dikerjakan olehnya semua planet dan bintang menguntungkan dia, bebas dari sakit dan usia tua dalam usahanya, tetapi segenap yang jadi pelayan setia, penuh bakti, semogalah dia yang jadi teman (mitrā) janganlah sekali-kali menipu, yang jadi istri menjadi istri yang baik, semogalah di mana pun berada juga jangan mencuri (cūri), menyalahkan atau mencela (vācyya), membunuh (vadhāña), berbuat serong (paradāra) di sana; juga, menemukan kalyāṇamitra, membangun bodhicitta dengan maitri, u[pe]kṣā, dsb., Daṅ Hyaṅ Ratnatraya, jangan berpisah dari Daṅ Hyaṅ Ratnatraya, tetapi senantiasa melaksanakan tyāga (dāna), śila, kṣānti, membangun vīrya, rajin, tahu segala ilmu dan seni, meditasi penuh (samāhitacinta, atau dhyāna), memperoleh prajñā, kesadaran penuh (smṛti), kecendekiaan (medhāvi); juga, keteguhan (dhairyyamānī) mahāsattva, bertubuh-intan (vajraśarīra), sakti tiada banding, jaya, dan ingat kelahiran silam (jātismara), berindria lengkap (avikalendriya), bagus jasmani, berbahagia, senyum, tenang, bersuara-merdu suara-Brahma (brahmasvara), menjadi lelaki, svayaṃbhu; juga, memperoleh
timbunan permata-batin (cintāmaṇi), memperoleh kuasa atas kelahiran (janmavaśitā), kuasa atas perbuatan (karmavaśitā), kuasa atas noda batin (kleśavaśitā), pada akhirnya meraih anuttarābhisamyaksaṃbodhi.

Melalui bacaan dan terjemahan di atas menurut Hudaya tampak ketegasan tekad Punta Hyaṅ Śrī Jayanāśa lewat bahasa tulis Sakyakirti untuk membangun sebuah ekosistem.

Baca juga: Melacak Mantra dan Kidung Dari Masa Jawa Klasik

Dengan terciptanya ekosistem ini, menurutnya Hyaṅ Śrī Jayanāśa berharap agar manusia, tanaman, hewan, dan karenanya sistem lingkungan yang dibangunnya bisa membuat kehidupan saling menopang satu sama lain. “Ekosistem ini mulai dari pembangunan sebuah taman yang dinamakannya Śrīkṣetra, artinya lapangan mulia,” terang Hudaya.

Ia menjelaskan, di taman tersebut ditanam berbagai jenis tanaman bermanfaat ganda berikut pohon buah-buahan. Di taman lainnya juga dilengkapi dengan empang dan telaga, juga huma untuk menghidupi kawanan binatang, dan menyejahterakan para pekerja. “Semua ini diharapkan bisa membuat semua makhluk, baik yang bergerak atau pun tidak, turut memperoleh jasa,” jelasnya.

Hudaya berpendapat, pada gilirannya, dengan bekal jasa kebajikan (puṇyā) ini masing-masing makhluk akan pula memperoleh kebahagiaan pada saat ajal. Yang penting pula diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun ekosistem ini adalah tekad untuk tahu segala ilmu dan seni (tāhu di samiśrāña śilpakalā).

“Tekad ini seperti diurai di depan merupakan pesan yang direkam di banyak kitab klasik agama Buddha, tetapi sering diabaikan sewaktu pelaku agama Buddha di dunia modern melaksanakan kegiatan melibatkan masyarakat luas atau engaged Buddhism.”

Hudaya menambahkan, Prasasti Talang Tuo memuat isi ajaran yang pada hakekatnya sejajar dengan yang terekam di kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan.

Prasasti ini menulis tekad membangun enam kesempurnaan (pāramitā) dan empat kediaman luhur atau empat ketakterukuran (brahmavihāra, atau apramāṇa), kombinasi tidak lumrah dibanding dengan yang dikenal di aliran Theravada dan Mahayana pada umumnya.

“Oleh karenanya, kombinasi ini memudahkan kita mengenali bahwasanya ajaran di prasasti Talang Tuo serupa dengan yang ditulis di Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan,” tegasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara