• Friday, 8 June 2018
  • Junarsih
  • 0

Atthasilani, merupakan wanita yang menjalani kehidupan suci dengan menjalankan delapan sila, mengenakan jubah putih, dan menaati 75 sekiya atau aturan-aturan. Di Indonesia sendiri, terdapat wadah untuk para atthasilani berlatih, yaitu ASTINDA (Atthasilani Theravada Indonesia) yang telah dideklarasikan pada 22 Desember 2017 di Jakarta.

Atthasilani dan bhikkhuni

Khusus Theravada di Indonesia, tidak ada istilah bhikkhuni untuk wanita yang menjalankan kehidupan suci. Hal ini dikarenakan prosedur yang belum terpenuhi, yaitu saat penahbisan harus ada minimal empat bhikkhuni sebagai penahbis. Tetapi di Indonesia tidak ada sisa jejak bhikkhuni, jadi Sangha Theravada Indonesia belum melegalkan adanya bhikkhuni.

Menurut seorang atthasilani yang telah sepuluh tahun menjalani kehidupan suci berpendapat bahwa hidup sebagai atthasilani adalah untuk menghormati Dhamma, menghormati diri sendiri, dan juga menghormati orangtua, “Jadi, tidak peduli adanya ‘labeling atthasilani ataupun bhikkhuni’ yang penting adalah latihannya.” tutur Atthasilani Gunanandini.

Seperti Atthasilani Karunasarani yang merupakan salah satu mahasiswa STAB Kertarajasa sekaligus menjalani kehidupan suci, merasa nyaman menjalani kehidupan sebagai pabajjita, “Saya memilih menjadi atthasilani karena kemauan sendiri, sebelumnya orangtua tidak mengizinkan. Tetapi saya tetap ingin menjadi atthasilani agar bisa mengubah diri saya menjadi lebih baik. Melalui belajar Dhamma, dan juga belajar praktik. Saya jadi tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dijalankan sebagai atthasilani.”

Baca juga: Pabajja Samanera di Vihara Tanah Putih, “Belajar ke Dalam Diri”

Hal ini juga didukung argumen Atthasilani Saccadassini, “Awalnya tidak kepikiran untuk menjadi Atthasilani, tidak ada niat. Tetapi jadi atthasilani bisa mempraktikkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya mengolah batin. Dan saya sangat menikmati kehidupan sebagai atthasilani, meski awalnya tidak ada niat.”

Jadwal keseharian

Atthasilani Karunasarani menceritakan kegiatannya dimulai sejak terbangun hingga terlelap kembali, “Jam 04.00 bangun langsung ke Dhammasala, chanting pagi, makan pagi, menyapu area museum, pagoda, dan area kuti bagian dalam. Hal ini berbeda ketika saya mendapat tugas bekerja di dapur untuk memasak, bangunnya lebih awal, sekitar pukul 03.00 atau 03.30.”

“Setelah itu bersih-bersih diri, mandi, istirahat sebentar, sekitar pukul 11.00-12.00 makan siang. Sampai pukul 15.00 boleh istirahat, tidur siang, mengerjakan tugas, tergantung kemauan diri waktu luangnya mau digunakan untuk apa,” terang Atthasilani Karunasarani. Lebih lanjut Atthasilani Karunasarani mengatakan, “Pukul 15.00-17.15, saya kuliah. Pukul 19.00-21.00 chanting petang dan latihan ceramah.” Latihan ceramah bertujuan agar terbiasa berbicara di depan umum, dan selesai chanting, Atthasilani Karunasarani kembali ke asrama untuk mengerjakan tugas dan istirahat.

Tugas-tugas atthasilani

Apabila musim liburan Waisak, ada sebagian atthasilani dan samanera yang ditugaskan untuk mengisi di daerah-daerah. Tugas ini bertujuan untuk melatih kemampuan berceramah di hadapan umat. Atthasilani Karunasarani menambahkan, “Seperti saya kemarin ditugaskan di Boro bersama Atthasilani Sacca Dassini, dan yang tidak ditugaskan khususnya semester 2 tetap beraktivitas seperti biasa. Kalau hari Sabtu dan Minggu, samanera dan atthasilani kerja bakti membersihkan satu area.”

Selain kuliah dan bersih-bersih, atthasilani juga bermeditasi, “Saya bermeditasi samatha bhavana setiap hari 10-15 menit dengan objek mengamati nama-rupa serta keluar masuknya napas. Vipassana bhavana setiap liburan selama 10 hari, tetapi tetap bisa dilaksanakan setiap hari karena vipassana untuk menyadari setiap kegiatan,” terang Atthasilani Karunasarani.

Atthasilani Saccadassini mengatasi rasa bosan dengan meditasi adalah posisi meditasi yang bervariasi, “Kalau bosan ya meditasi divariasikan. 1 jam meditasi duduk dan 1 jam meditasi jalan disertai bagaimana diri kita menyikapi rasa bosan itu sendiri.

“Bagi mahasiswa reguler wajib 2 kali meditasi vipassana, kalau seperti saya, wajib mengikuti meditasi untuk syarat kelulusan. Itu ‘kan kebijakan dari STAB, kalau saya sebagai pabajjita ya itulah kehidupan kami, meditasi,” tambah Atthasilani Karunasarani.

Baca juga: Mengintip Sekolah Calon Bhikkhu di Padepokan Dhammadipa Arama

“Bilamana kita bolos kuliah lebih dari 3 kali, tidak diperkenankan mengikuti UAS, atau bisa mengikuti tapi ada tugas tambahan,” tambah Atthasilani Karunasarani. Saat seorang pabajjita ber-dhammadesana juga ada aturannya. Tempat duduk pabajjita harus lebih tinggi dibanding dengan umat awam. “Karena Dhamma itu lebih tinggi kedudukannya,” tegas Atthasilani Karunasarani. “Ceramah juga harus menyesuaikan kondisi, desa atau kota, bahasannya harus dibedakan,” tambah Atthasilani Saccadassini.

Atthasilani Saccadassini dan Atthasilani Karunasarani belum bisa menentukan nantinya akan menjadi atthasilani tetap atau tidak. Sejauh ini, mereka menikmati prosesnya. “Setelah lulus menempuh pendidikan di STAB Kertarajasa, para Atthasilani dan Samanera melakukan pengabdian kepada umat selama 1 tahun. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan rasa terima kasih untuk umat yang telah menyokong kehidupan mereka selama ini,” pungkas Atthasilani Karunasarani.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara