• Monday, 28 December 2015
  • Ngasiran
  • 0

20 tahun lalu, sejumlah wanita pejuang Dhamma membentuk Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) di Vihara Mendut, Jawa Tengah pada tanggal 19 Desember 1995. Pada tanggal 25-27 Desember 2015, WANDANI kembali ke Vihara Mendut untuk merayakan ulang tahun ke-20.

“WANDANI kan dibentuk di Vihara Mendut, jadi kita ingin kembali mengenang masa awal terbentuknya WANDANI,” ujar Mettasari, Ketua Umum WANDANI.

Perayaan ulang tahun ini dihadiri lebih dari 140 anggota WANDANI dari berbagai daerah di Indonesia. Selain perayaan ulang tahun, diadakan juga pelatihan calon relawan pendamping korban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dengan pemateri dari Komnas Perempuan.

Mettasari melanjutkan, ke depannya anggota WANDANI dari berbagai daerah didorong untuk menjadi konselor korban kekerasan terhadap perempuan, sehingga mampu berperan mengurangi korban kekerasan di masyarakat.

“Kita diminta Komnas Perempuan untuk menyusun sebuah buku Memecah Kebisuan yang intinya kita mendorong para korban KTP untuk tidak membisu, untuk mengungkap dan sedini mungkin pengurus WANDANI mampu mengidentifikasi dan membantu mencarikan solusi korban KTP, meskipun untuk pelatihan dua hari tidak cukup untuk menjadi seorang konselor,” jelasnya.

Sementara itu Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam pesannya menguraikan besarnya peran wanita dalam andil membangun bangsa Indonesia.

“Beberapa minggu yang lalu saya membaca laporan, di daerah Sumatera Utara beberapa bapak-bapak merasa trenyuh karena melihat keluarga miskin. Kemudian mereka mengumpulkan teman-temannya untuk memberikan modal kepada keluarga miskin tersebut. Tidak banyak, hanya 200 ribuan dalam bentuk pinjaman yang tentu harus dikembalikan. Setelah berjalan beberapa tahun yang dimulai dari 14 rumah tangga anggotanya berkembang menjadi ratusan dan berkembang menjadi koperasi yang semua anggotanya adalah perempuan.

“Ketika mereka ditanya kenapa harus perempuan? Mereka menjawab perempuan lebih dapat dipercaya. Oleh sebab itulah tidak salah kalau Presiden Jokowi pada saat mencari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semua panitianya adalah perempuan, tentu tidak hanya asal perempuan saja, tetapi perempuan yang mempunyai prestasi dan integritas,” ujar Bhante Pannyavaro mengawali ceramahnya.”

Bhante melanjutkan, “Salah satu yang menarik, Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, pernah mengatakan, bahwa rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anak sebelum memasuki sekolah formal dan ibu adalah pendidik utama. Artinya para ibu tidak boleh salah dalam mendidik anak-anaknya.”

“Bagaimana dengan agama Buddha? Guru Agung kita menyebutkan ibu dan ayah itu laksana Dewa Brahma yang mempunyai cinta kasih, kasih sayang, simpati dan keseimbangan yang luar biasa melihat kesalahan anak-anaknya yang tanpa batas. Tidak ada orang lain yang bisa memberikan metta, karuna, mudita dan upekkha tanpa batas kepada anak-anak selain ibu dan ayahnya. Mereka adalah guru-guru yang pertama.”

Lebih lanjut Bhante menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh ibu-ibu WANDANI, “Bukan hanya tantangan rumah tangga kita saja yang kita hadapi, tetapi tantangan bagi masyarakat dan bangsa ini. Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia adalah negara yang sangat kaya, tetapi mengapa penduduk Indonesia tidak makmur dan kalah dengan negara-negara lain? Tidak lain adalah rendahnya moral pemimpin-pemimpin kita. Kalau kita membaca koran atau menonton televisi, hampir setiap hari kita melihat pemimpin kita ditangkap KPK, mulai dari bupati, walikota, DPR, menteri bahkan pedagang.”

Menurutnya, yang diperlukan untuk memperbaiki bangsa saat ini adalah pendidikan mental, perbaikan moral dan etika.

20151228 Di Ultah WANDANI, Bhikkhu Sri Pannyavaro Ajak Umat Buddha Tidak Cuek dengan Kemunduran Moral Bangsa_2

Untuk memperbaiki bangsa ini ada empat hal yang harus dilakukan sebagai seorang Buddhis. Yang pertama adalah sacca (kejujuran). Seandainya kejujuran dilakukan dari level terkecil yaitu keluarga, organisasi dan lingkungan-lingkungan kecil, bisa berpengaruh besar terhadap perbaikan bangsa dan negara.

“Tetapi kejujuran harus dibarengi dengan integritas dan konsistensi. Membangun integritas tidak cukup hanya satu atau dua tahun,” tambah Bhante.

Bhante memberikan contoh, “Dulu ada tokoh Buddhis yang sangat tinggi, suaminya masuk PDIP, istrinya masuk Demokrat. Demokrat menang, PDIP kalah. Suaminya kemudian mendekati Demokrat, PDIP marah, tidak hanya dipecat sebagai pengurus tapi juga sebagai anggota. Tapi kemudian Demokrat kalah, PDIP menang, mau balik bukan hanya malu tetapi pintu juga sudah ditutup. Tidak hanya tidak bisa membela Demokrat dan PDIP tidak apa-apa, masuk KPK saja. Itulah integritas yang miskin, apa nilainya seperti itu?”

Bhante memberikan contoh lain, “Kalau Sangha Theravada Indonesia tidak mempunyai integritas tidak mungkin bertahan sampai 40 tahun. Pada awalnya di Jakarta kita tidak mempunyai vihara, kita sembahyang di kelenteng-kelenteng dan di rumah-rumah umat. Namun dengan integritas yang dimiliki Sangha Theravada Indonesia sekarang, kita telah mempunyai banyak vihara di Jakarta dan di seluruh Indonesia. Kita konsisten dengan apa yang kita pegang, kita konsisten dengan yang kita pegang sebagai sesuatu yang telah kita pahami, itulah sacca,” ujarnya.

“Yang kedua dama (bisa menjaga emosi), kejujuran, punya integritas. Konsisten dan bisa menahan emosi itu berguna sekali untuk kita masing-masing selain untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat.

“Dan yang ketiga adalah khanti (kesabaran). Kalau kita bisa menjaga emosi berarti kita mempunyai kesabaran, tetapi kesabaran atau khanti dalam pengertian Dhamma adalah ulet, tidak menyerah. Konsistensi itu tidak bisa instan, untuk menjaga integritas kalau dalam bahasa Jawa menyatakan, ‘Ora biso sak dek sak nyet’, perlu waktu keuletan untuk menunjukkan integritas kita.”

“Dan yang keempat adalah caga (pengorbanan), baik menjadi bhikkhu, menjadi anggota WANDANI, MAGABUDHI maupun Patria adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang tulus adalah kebajikan atau kusala kamma. Pengorbanan untuk menjaga dan bersama membangun masyarakat bangsa dan negara.

“Negara kita bukanlah negara yang miskin, tantangan kita semua adalah membangun moral dan integritas kita yang sangat rendah. Baru-baru ini kita dengar papa minta saham, itu kan yang kelihatan, yang tidak kelihatan lebih banyak.

“Untuk itu kita tidak bisa mengatakan, ‘Ah itu kan urusan orang-orang besar, itu kan urusan para politisi’. Tidak! Kalau permasalahan itu kita biarkan terus-menerus, sementara tidak ada konsistensi untuk menyelesaikannya, tidak ada kejujuran dan tidak ada moralitas, anak-anak kita juga akan menjadi korup, karena anak-anak kita bergaul dengan masyarakat, bergaul di sekolah.”

Mengakhiri ceramahnya, Bhante Pannyavaro mengajak umat Buddha khususnya ibu-ibu WANDANI ikut berjuang memperbaiki moral bangsa, “Komunitas kita memang tidak tampak, tetapi kita harus mulai dari sekarang. Memperbaiki moral masyarakat memang tidak bisa selesai dalam sesaat. Dalam psikologi dikatakan tiga generasi baru bisa tampak, dan tiga generasi itu 90 tahun, tetapi itu harus dimulai dari sekarang. Jadikan WANDANI sebagai wadah membangun masyarakat, pegang kejujuran, mempunyai integritas, mempunyai moral yang baik, dan siap berkorban.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara