• Monday, 22 April 2013
  • Novianti Lie
  • 0

Minggu, 21 April 2013, ratusan bhikkhu dan ribuan umat Buddha dari seluruh Nusantara berkumpul bersama di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta. Mereka berkumpul untuk memperingati 11 tahun wafatnya mendiang Yang Arya Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita atau akrab disapa dengan panggilan “Su Kong” yang wafat pada tanggal 18 April 2002. Sejak pukul 8 pagi, sekitar 1500 umat mulai memadati auditorium Prasadha Jinarakkhita.

Acara dimulai pukul 09.20 WIB, diawali dengan persembahan 11 pelita yang melambangkan 11 tahun wafatnya Su Kong, yang dibawakan oleh para pemuda Buddhayana dan diikuti dengan masuknya para anggota Sangha ke auditorium. Acara dibuka dengan kata sambutan dari ketua panitia Romo Julius. Kemudian dilanjutkan dengan kebaktian dari tiga tradisi, yang dipimpin oleh Bhiksu Nyana Maitri. Selanjutnya, Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia yakni Bhikkhu Saddhanyano membawakan renungan untuk mengenang Su Kong, sang pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Usai renungan, diadakan persembahan dana makanan kepada para anggota Sangha yang dilanjutkan dengan makan bersama.

Pukul 10.45 WIB, acara dibagi menjadi dua, yaitu reuni dan seminar. Reuni diadakan di auditorium dan diikuti oleh para anggota Sangha dan umat Buddha secara umum, sedangkan seminar diadakan di ruang kelas lantai 7, dan diperuntukkan bagi para pemuda Buddhis. Kedua acara ini sama-sama membahas mengenai kenangan beberapa orang yang dulu sangat dekat dengan Su Kong dan turut menampilkan serangkaian foto yang merupakan bukti perjuangan Su Kong dengan tanpa kenal lelah membangkitkan kembali agama Buddha di bumi Nusantara.

20130422 Mengenang 11 Tahun Wafatnya Bhikkhu Ashin Jinarakkhita_2

Bhikkhu Ashin Jinarakkhita lahir di Bogor, Jawa Barat, tanggal 23 Januari 1923, dengan nama The Boan An. Ia tumbuh di keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan. Namun, karena termasuk salah satu siswa yang jenius, ia sering mendapatkan beasiswa hingga akhirnya bisa kuliah ke Belanda. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Boan An sudah memiliki ketertarikan pada spiritualisme. Sekembalinya dari Belanda, dia berguru kepada Maha Bhiksu Sanghanata Aryamulya Pen Cing, yang menjadi guru Mahayana untuk Boan An. Ia pun ditahbiskan menjadi samanera dengan nama Ti Chen di Jakarta.

Keinginan Sramanera Ti Chen untuk memperdalam agama Buddha dilanjutkan ke Burma. Akhir Desember 1953, ia berangkat ke Burma dan berlatih meditasi di pusat pelatihan meditasi Sasana Yeikhta, Yangon. Kemajuan yang dialaminya sangat pesat sehingga mencengangkan banyak orang. Akhirnya, pada 23 januari 1954, Sramanera Ti Chen ditahbiskan kembali menjadi samanera kemudian menjadi bhikkhu dalam tradisi Theravada dan mendapatkan nama Jinarakkhita dari Bhikkhu Mahasi Sayadaw serta diberi gelar Ashin. Maka ia pun menjadi orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit.

Tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kembali ke Indonesia dan sejak saat itu dengan kerja keras serta kegigihan, Su Kong memperjuangkan kebangkitan agama Buddha serta membangun kembali vihara-vihara Buddhis di seluruh Indonesia. Su Kong jugalah yang membuat agama Buddha diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai agama yang sah. Tidak hanya terkenal di kalangan umat Buddha di Indonesia, Su Kong bahkan mendapat julukan “The Flying Monk” oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitannya untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain demi membabarkan Dharma. Su Kong juga sempat mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Selama pengabdiannya, Su Kong dikenal sebagai pribadi yang bijaksana, senantiasa hidup penuh kesadaran (praktisi Dharma yang patut menjadi teladan), disiplin, sederhana, humoris sehingga dekat dengan umat, dan penuh welas asih.

Bangsa Indonesia tentu sangat merindukan sosok Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, seorang guru besar yang telah menjadi inspirasi dalam mempraktekkan dan melestarikan Buddha Dharma. Tanpa pengorbanannya, tentu saat ini kita tidak dapat mencicipi indahnya Dharma ajaran Buddha. Diadakannya acara peringatan 11 tahun wafatnya Su Kong ini menunjukkan bahwa walaupun Sang Guru telah tiada, namun Su Kong tetap hidup di hati sanubari umat Buddha Indonesia hingga saat ini. Semoga, benih Dharma yang telah Su Kong tabur di bumi Nusantara bisa terus tumbuh dan berkembang dengan subur, serta semangat keharmonisan dalam bentuk agama Buddha yang non-sektarian bisa terus dipelihara.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara