Festival Lampion pada perayaan Waisak di Candi Borobudur selalu menarik perhatian. Bukan hanya bagi umat Buddha, tetapi juga bagi semua masyarakat. Minggu (4/6) malam, ribuan umat Buddha memadati Marga Utama Candi Borobudur untuk mengikuti rangkaian penutupan Waisak 2567 BE/2023.
Mereka rela berdesak-desakan dan mengantri cukup lama untuk mendapat kesempatan menerbangkan lampion atau sekedar menonton. Bukan hanya sekedar untuk kesenangan, festival lampion juga menyiratkan beragam makna dalam kehidupan.
Sebelum para peserta melepas lampion, mereka mengikuti sesi meditasi atas bimbingan Y.M.Bhante Daniel Dhammarakkho. Suara lembut penuh kesadaran diperdengarkan sebagai bahan renungan, untuk diresapi sebagai nilai-nilai luhur yang universal dalam kehidupan.
“Cahaya lilin ini seperti cahaya dalam diri kita, cahaya batin yang terbebas dari kekotoran. Dalam momen ini, mari kita pancarkan segenap cinta kasih kepada semua orang, kepada semua makhluk. Kita bisa terus memancarkan cinta kasih ini seiring dengan terbangnya lampion. Sambil kita ungkapkan permohonan agar kita semua, agar semua makhluk sejahtera dan bahagia,” papar bhante.
Melihat banyak peserta maupun pengunjung dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, seakan mengisyaratkan bahwa perayaaan Waisak di Candi Borobudur menjadi satu momen kebersamaan bagi antar umat beragama. Bukan hanya yang ada di dalam area candi, antusias masyarakat sekitar pun nampak di luar area, di beberapa jalan sekitar Borobudur banyak warga yang menunggu terbannya lampion.
Tak heran, fenomena ini membuat Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah sempat menyatakan bahwa Waisak menjadi momentum untuk mempertemukan dan menjalin hubungan antar umat beragama.
“Di sini semua dari lintas agama hadir, rasa-rasanya semua senang untuk melakukan komunikasi yang baik di sini. Tadi saya kena macet di jalan, lalu apa yang membuat masyarakat sampai seantusias itu ke Borobudur? “Saya mau nonton pesta lampion,” katanya. Ini semua masyarakat terlibat dari berbagai suku, etnis, dan agama apapun. Mereka berbondong-bondong untuk melihat pesta lampion,” ungkap Ganjar.
Usai meditasi, atas aba-aba MC perlahan satu persatu lampion mulai naik hingga akhirnya ribuan lampion nampak indah menghiasi gelapnya langit Candi Borobudur. Diiringi sorak sorai ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang yang hadir malam itu.
Suasana kebersamaan, kemeriahan, dan makna nilai-nilai kehidupan dalam pesta lampion malam itu juga menjadi hal yang berkesan, utamanya bagi peserta yang ikut melepas. Hal ini yang dirasakan salah satu peserta asal Semarang, Dina Eva Arianti.
“Ada yang bilang sama saya untuk ikut acara festival lampion, dan akhirnya saya ikut sekarang ini. Dan bener, saya sama sekali tidak nyesel ikut acara ini, keren banget. Sampai merinding melihat ribuan lampion diterbangkan bersama di depan Candi Borobudur,” ungkap Dina.
Ia juga mengaku merasa tenang dan damai saat mengikuti pelepasan lampion malam itu. “Walaupun saya Muslim, tapi Agama Buddha membebaskan siapa pun yang ingin ikut, tidak wajib harus beragama Buddha. Dan acaranya juga khidmat sekali, tenang, dan damai,” imbuh Dina.
Bagi Dina, selain kesan kedamaian, momentum ini juga menjadi sarana untuk mengungkapkan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Penerbangan lampion ini membuat hati terasa tentram dan senang, dimana kita juga bisa menuliskan wish kita di lampion yang akan kita terbangkan. Dan semoga harapan yang kita inginkan dikabulkan oleh yang Maha Kuasa,” Dina menambahkan. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara