Dahulu kala, masyarakat Korea pada umumnya meyakini agama tradisional mereka (shamanisme). Sejak diperkenalkannya agama Buddha dari Kerajaan Qin awal pada 372 M, masyarakat Korea mulai menerima pengaruh buddhis dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kala itu, semenanjung Korea terbagi menjadi tiga kerajaan besar: Goguryeo di utara, Baekje di barat daya, dan Silla di tenggara. Agama Buddha masuk ke Silla pada abad ke-5 M dan dalam waktu singkat berhasil menjadi agama resmi kerajaan pada 552 M. Sedangkan Goguryeo yang lebih dulu menerima pengaruh buddhis masih tetap didominasi oleh agama tradisional Korea.
Seiring dengan unifikasi Korea oleh kerajaan Goryeo (918-1392), agama Buddha berkembang menjadi sebuah kekuatan besar dan berpengaruh secara politik. Pada periode yang bersamaan, pengaruh paham Kong Hu Cu juga masuk ke Korea dan menjadi ideologi kerajaan selanjutnya – Joseon (1392-1910).
Kerajaan Joseon menganut paham Neo-Kong Hu Cu yang secara keras menekan agama Buddha dan agama tradisional Korea. Kuil-kuil buddhis banyak yang dihancurkan dan jumlahnya menyusut signifikan dari beberapa ratus hingga hanya menjadi 36 kuil.
Pelarangan agama Buddha ini berlangsung hingga abad 19 M. Pada masa ini agama Kristen menjadi berkembang sejak diperkenalkan pada abad 18 M. Pada akhir abad ke-19, wilayah barat laut dan Pyongyang di Korea Utara menjadi basis terkuat agama Kristen. Pyongyang bahkan mendapat julukan sebagai Yerusalem Timur.
Dengan demikian, agama Buddha hampir punah hingga hanya menyisakan sejumlah kecil kelompok biksu. Meskipun memiliki sejarah panjang dalam perkembangan budaya masyarakat Korea, namun akibat tekanan selama 500 tahun dibawah pemerintahan Kerajaan Joseon dan pengaruh Kristenisasi, agama Buddha menjadi sulit bertahan.
Di sisi lain, terbentuknya negara Korea Utara yang menganut paham komunis dan menekan ideologi agama-agama membawa perubahan tak terduga. Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Il-sung mengkritisi agama dalam banyak tulisannya dan akibat propaganda media-media di Korea Utara, peran agama semakin diintimidasi. Banyaknya tekanan ini membuat umat Kristen di Korea Utara lari ke Selatan.
Sedangkan agama Buddha yang telah menjadi minoritas disana mulai mencoba berkembang perlahan-lahan sejak abad 20. Akibat pemisahan kedua Korea, agama Buddha Korea menjadi berbeda antara Utara dan Selatan.
Agama Buddha di Korea Utara dapat beroperasi dibawah pengawasan Federasi Buddhis Korea yang merupakan bagian dari aparat negara Korea Utara. Para biksu secara langsung bergantung pada pemerintah untuk pencaharian dan otorisasi dalam menjalankan hidup sebagai seorang biarawan.
Kini, umat Buddha di Korea Utara yang mencapai 4,5% dari total populasi hanya dilayani oleh 60 kuil buddhis di seluruh Korea Utara. Jumlah ini terbilang kecil, terlebih mengingat mereka umumnya hanya difungsikan sebagai aset budaya pemerintah daripada menjadi tempat ibadah yang aktif bagi umat Buddha.
Sejumlah usaha terus dilakukan oleh umat Buddha di sana termasuk upaya menerbitkan 25 volume terjemahan Tipitaka Korea yang disimpan di kuil di Myohyangsan. Akhir-akhir ini, kedua negara memanfaatkan agama Buddha dalam kaitan sejarah dan budaya yang erat sebagai penghubung kedua negara dalam upaya unifikasi Korea.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara