Desa Jlegong merupakan sebuah desa yang masuk dalam Kecamatan Bejen, pemekaran dari Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kendal. Di desa ini terdapat komunitas umat Buddha.
Romo Kasdi adalah orang yang pertama kali belajar agama Buddha yang kemudian membawa dan mendirikan agama Buddha di Jlegong. Menurut penuturannya, sebelum mendirikan agama Buddha di Jlegong, selamat empat tahun ia mondok (tinggal) di Desa Congkrang untuk belajar agama Buddha.
“Di Desa Congkrang –saat ini masuk kecamatan Bejen, pemekaran dari Kecamatan Candiroto– lebih dulu berkembang agama Buddha. Selamat empat tahun lebih, saya bersama beberapa teman belajar dan mengikuti segala aktivitas umat Buddha di Desa Congkrang. Saat itu kami belajar dengan Bapak Suyono sebagai pimpinan umat Buddha Kecamatan Candiroto,” kenang Kasdi.
Namun seiring perjalanan waktu, Suyono harus transmigrasi ke Kalimantan. “Sebelum Pak Suyono berangkat transmigrasi, pada tahun 1974 saya minta Pak Suyono untuk meresmikan agama Buddha di Desa Jlegong. Tidak banyak waktu itu yang menyatakan diri beragama Buddha, hanya delapan kepala keluarga dengan 12 jiwa,” cerita Kasdi.
Setelah menyatakan diri sebagai umat Buddha, 12 orang ini kemudian belajar bersama-sama ajaran Buddha secara otodidak. “Bagi kami, belajar agama Buddha seperti mencari ajaran filsafat leluhur kami yang telah lama hilang. Kedatangan Bhikkhu Narada ke Kecamatan Kaloran, di situlah untuk pertama kali kami melihat sosok seorang bhikkhu. Bombong rasa neng ati, koto deneng ketemu kari Sang Buddha (Senang sekali hati ini, seperti ketemu Sang Buddha),” tutur Kasdi.
Pada tahun 1992, umat Buddha Jlegong mendirikan cetiya yang diberi nama Cetiya Budhi Daya. Dan hingga saat itu, agama Buddha terus berkembang. Ketika banyak wilayah di Temanggung sempat terjadi gesekan antar sekte dan organisasi, umat Buddha Jlegong justru semakin berkembang karena bisa menyatu dengan berbagai sekte.
“Saya kenal umat Buddha Jlegong sejak tahun 1991. Umat Buddha di Desa Jlegong pada awal perkembangannya, mereka hanya berpikir dan mau belajar agama Buddha. Itu saja. Hingga tahun 90-an seorang romo dari kota Temanggung mulai mengenalkan sekte dan majelis. Saat itu juga muncul pembimbing dari pandita yang berasal dari Temanggung mengenalkan sekte dan majelis, tetapi saat itu tidak direspon oleh umat Buddha Jlegong karena menjaga keutuhan agama Buddha di Jlegong,” ujar Samidi, salah satu pembina umat Buddha Kabupaten Kendal, dan beberapa wilayah di Temanggung (Kecamatan Bejen, Candiroto, dan Jumo).
Setidaknya saat ini ada tiga aliran dan majelis yang hidup bersama di Vihara Budhi Daya, yaitu Theravada, Buddha Dhamma Indonesia, dan Mahayana. “Inilah istimewanya umat Buddha Jlegong, meskipun berbeda-beda bisa melaksanakan kegiatan bersama-sama, tanpa pernah terjadi pergesekan. Karena umat memahami bahwa belajar agama Buddha bisa dari mana saja,” tambah Samidi.
Begitu juga dengan Sri, pembina sekolah minggu vihara ini, harus mempelajari tiga tradisi dan aliran yang ada untuk mengajar sekolah minggu. “Pada malam hari, sebelum saya mengajar sekolah minggu, saya harus belajar bermacam-macam tradisi dalam agama Buddha. Dan kami melakukan kegiatan sekolah minggu ya secara bersamaan,” ujar Sri.
Keunikan tersebut mengundang para pemuda Buddhis dari Kabuapaten Temanggung, Semarang dan Kendal untuk melakukan safari vihara ke Jlegong pada Minggu (7/8) lalu. Di vihara ini para pemuda Buddhis belajar kehidupan rukun umat Buddha yang berbeda majelis dan tradisi.
Mereka harus menaiki mobil bak terbuka sambil berdiri selama lebih dari tiga setengah jam dari titik kumpul di Kaloran. Namun rasa lelah seakan hilang karena suguhan berbagai makanan dan senyum tulus umat Buddha Jlegong.
“Anak muda adalah generasi penerus bagi kami yang babat alas pertama kemunculan agama Buddha. Kami berharap melalui kegiatan seperti ini, pemuda Buddhis semakin memegang keyakinan terhadap Buddha Dhamma,” pesan Suwardi, Ketua Vihara Desa Jlegong.
“Ketika umat Buddha sudah sama-sama bergerak dan memegang teguh ajaran Buddha, saat itulah agama Buddha bangkit. Jangan fanatik dengan sektenya sendiri, karena apa pun organisasi dan tradisi yang kita jalankan semua adalah murid Buddha,” pesan Suwardi.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara