• Saturday, 4 July 2020
  • Ngasiran
  • 0

Umat Buddha Desa Traji, Kecamatan Parakan, Temanggung diperkirakan telah bersemi sejak tahun 1962, namun tahun 1995 baru mempunyai bangunan vihara. Sebelum itu mereka melakukan aktivitas puja bakti di rumah Mbah Kromo, sesepuh umat Buddha setempat. Setelah hampir 35 tahun rumah Mbah Kromo digunakan sebagai cetiya, akhirnya umat berfikir untuk mendirikan bangunan vihara permanen.

“Sudah terlalu lama menumpang di rumah Mbah Kromo, dan rumah itu juga mau digunakan oleh cucu beliau. Jadi kami berfikir sudah saatnya untuk membangun vihara sendiri,” kata Suryanto, perancang vihara yang kemudian dikasih nama Metta Lokha itu.

Saat itu Suryanto baru diangkat menjadi salah satu perangkat Desa Traji. Ia adalah satu-satunya umat Buddha yang menjadi perangkat desa. Kedekatannya dengan kepala desa membuat rencana pembangunan vihara berjalan mulus. Berkat lobinya, umat Buddha diberi sepetak tanah bengkok kepala dusun yang kemudian dijadikan sebagai tempat membangun vihara.

Tahun 1994 Vihara Metta Lokha mulai dibangun. Suryanto yang saat itu menjadi salah satu pengurus vihara menjadi perancang bentuk bangunan vihara. Sebagai orang bangunan yang telah ikut membangun beberapa vihara di desa-desa lain membuatnya dengan mudah membangun viharanya. Alhasil tak sampai satu tahun Vihara Metta Lokha sudah jadi, dan diresmikan pada tahun 1995.

“Mulai membangun tahun 1994, tahun 1995 vihara ini diresmikan. Vihara ini yang menjadi tempat aktivitas umat Buddha Desa Traji dan beberapa dusun sekitar hingga kini,” terangnya.

Sejak diresmikan hingga sekarang Vihara Metta Lokha telah berusia 25 tahun. Bentuk bangunan vihara masih terlihat sama, namun banyak bagian sudah lapuk dimakan usia. Plafon ruang dhammasala yang terbuat dari anyaman bambu sudah mulai berlubang akibat tetesan air dari genteng yang bocor ketika turun hujan. Cat pada plafon yang semula berwarna putih juga sudah mulai kusam dimakan usia. Begitu juga cat tembok-tembok vihara.

Pada bagian lantai vihara masih berupa plesteran semen. Beruntung vihara ini memiliki karpet cukup tebal, sehingga masih bisa nyaman untuk digunakan sebagai tempat duduk melakukan puja bakti. Karpet terlihat terawat bersih meskipun penampakannya juga sudah mulai berubah warna.

Di sebelah kanan ruang dharmasala terdapat bangunan kuti. Namun, berdasarkan pengamatan BuddhaZine saat kunjungan kedua Selasa (16/6/2020) lalu, kondisi kuti sudah mulai rapuh. Tidak ada plafon, usuk, reng berbahan bambu, dan kayu yang dibiarkan telanjang sudah terlihat rapuh. Dinding-dinding bangunan itu masih berupa bata merah, pagar depan kuti yang terbuat dari bambu juga sudah mulai rapuh.

Vihara ini nampaknya juga dilengkapi dengan kamar mandi, dan ruang bersantai. Namun 2 kamar mandi yang berada di belakang kuti tidak berfungsi. Begitu juga dengan ruang bersantai, hanya terdapat sebuah ranjang yang tampaknya sudah lama tidak digunakan.

Karena itu, Suryanto dan pengurus vihara mempunyai keinginan untuk merenovasi vihara Metta Lokha bila ada dukungan dana. “Ya ada keinginan untuk renovasi. Seperti mas lihat, kondisinya seperti ini,” katanya. Jika direnovasi Suryanto ingin meninggikan dinding-dinding vihara supaya lebih nyaman. Stupa yang sekarang tergambar di dinding bagian depan vihara ingin dibuatkan tempat khusus supaya identitas viharanya tampak.

“Stupa dan cakra itu saya yang buat 25 tahun lalu. Kalau memang direnovasi mau dibuatkan di pagar vihara. Kalau orang tidak memperhatikan dengan seksama pasti tidak tau kalau ini bangunan vihara,” pungkas Suryanto penuh harap.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara