• Saturday, 16 June 2018
  • Junarsih
  • 0

Kami tim BuddhaZine, sontak kaget saat berkunjung ke vihara dengan desain joglo yang sangat unik, tiang-tiangnya dari kayu yang berukirkan bunga di tengahnya. Bagian pintu masuknya terlihat seperti bangunan candi. Inilah Vihara Buddharatana, Ampelgading, Malang.

Siang itu para umat yang bertugas sangat kompak memainkan gendhing untuk menyambut tamu dalam perayaan Trisuci Waisak 2562 BE/ 2018 (10/6). Perayaan Waisak rupanya kurang lengkap bila tidak dihadiri oleh bhikkhu. Oleh karena itu, tiga orang bhikkhu hadir bersama empat samanera, dan tiga atthasilani.

Umumnya perayaan Waisak di vihara ini sama dengan perayaan di vihara lain. Tetapi, ada hal yang unik di sini. Setelah para umat membacakan paritta, para Bhikkhu Sangha juga turut membacakan paritta bagi umat. Seraya mendengar bhikkhu membacakan paritta, umat bersikap anjali dengan benang putih di ujung jarinya.

Selanjutnya pesan Dhamma yang disampaikan oleh Bhante Subbhapanno diawali dengan perasaan senangnya berada di Vihara Buddharatana. “Kami merasakan kebahagiaan bisa hadir di ruang Dhammasala yang indah sekali, bangunan berarsitektur Jawa yang sudah langka. Terasa sekali suasana yang sejuk dan nyaman,” tutur Bhante. Seperti yang sudah kita semua ketahui, Trisuci Waisak dirayakan untuk mengenang tiga peristiwa penting Buddha. Saat kelahiran sebagai Pangeran Siddhatta, penerangan sempurna Petapa Gotama, dan akhirnya menjadi seorang Buddha.

“Bagaimana awal dari Pangeran Siddhatta Gotama meninggalkan kesenangan, kenikmatan duniawi?” tanya Bhante kepada umat. “Pangeran Siddhatta Gotama meninggalkan itu karena punya kecintaan yang sangat besar kepada umat manusia melebihi kecintaan pada dirinya sendiri dan keluarga.”

Lebih lanjut Bhante menjelaskan bahwa Pangeran Siddhatta Gotama memilih menjalani kehidupan sebagai petapa setelah melihat empat peristiwa, yaitu orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan petapa. Padahal, dalam istana Pangeran tidak pernah melihat hal-hal semacam itu. Semua terlihat indah, tidak ada yang sakit-sakitan, dan juga tidak ada yang tua lalu meninggal.

Melihat keempat peristiwa yang menderita itu beliau merasa tergoncang. Yang akhirnya menimbulkan rasa kasih sayang untuk menyelesaikan masalah. Agar umat manusia bebas dari kelahiran, bebas dari menjadi tua, bebas dari penyakit, dan bebas dari kematian. Pangeran memutuskan diri untuk keluar dari istana dan menjadi petapa. “Bukan seperti kita yang masih mengejar kesenangan, kekayaan, kedudukan, dan pangkat. Justru Siddhatta pergi dari istana, mencukur habis rambutnya, mengenakan jubah yang tipis, dan makan seadanya.”

Menjadi petapa dan hidup di hutan dengan makanan seadanya, dan petapa Siddhatta mengurangi makannya. Apa pun kesulitan yang menimpa, petapa Siddhatta tetap konsisten demi cita-citanya, untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan. Ini tentu berbeda dengan orang-orang yang tidak setia kepada cita-citanya.

“Kalau orang tidak setia dengan cita-citanya, ada kesulitan sedikit pasti kabur, ditinggalkan,” ujar bhante. Bhante memberikan perumpamaan kesetiaan itu dalam kehidupan sehari-hari, “Seperti Ibu yang ke mal bersama anaknya, tapi malah asyik main handphone sendiri dan anaknya hilang ndak tau ke mana. Ini karena Ibu kurang loyal pada anaknya. Kemudian nggak salah kalau anak tidak setia pada orangtuanya karena dari kecil tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang,” tegas bhante.

“Anak zaman sekarang juga tidak setia pada cita-citanya. Kalau kita setia pada cita-cita kita, mau nyebrang ya basah sekalian, apa pun yang terjadi,” tambah Bhante. “Kembali lagi tentang kesetiaan, Petapa Siddhatta yang akhirnya mencapai keberhasilan menjadi Buddha. Buddha artinya yang sadar, orang yang telah sempurna tindak tanduknya dan sempurna pengetahuannya dan bisa menjawab apa saja pertanyaan mengenai Dhamma. Karena pengetahuannya inilah Buddha mengetahui alam semesta tidak hanya bumi dan melihat manusia lahir karena karmanya.”

Lebih lanjut bhante menjelaskan dua patung dengan ekor burung, tetapi badan dan kepala manusia yang ada di pintu masuk Dhammasala, “Dua patung itu simbol kecintaan dan kesetiaan yang sebanding antara Kinara dan Kinari,” Mereka adalah pasangan dalam kisah Jataka.

Dikisahkan bahwa keduanya bertekad sama-sama untuk menghormat kepada Buddha. Pada suatu kelahiran, Kinara adalah Petapa Sumeda yang bertekad menjadi Buddha, dan Kinari adalah Sumitha yang bertekad untuk menjadi pasangannya agar bisa melayani Buddha. Karena keduanya memiliki keyakinan, murah hati, kesetiaan, moral, dan kebijaksanaan yang sebanding membuat mereka terlahir selalu bersama dalam beberapa kehidupan.

Ketika pada kelahiran terakhir, Pangeran Siddhatta memutuskan untuk mengenakan jubah kuning, makan seadanya, maka Putri Yasodhara juga mengikutinya. Kesetiaannya tetap ada meskipun Siddhatta menjadi Buddha sekalipun. Kesetiaan mereka patut dicontoh oleh pasangan suami istri agar hidup bahagia dan serasi selamanya. Buddha mengatakan, “Setelah seseorang melihat bahaya dari peretengkaran dan rasa aman bebas dari pertengkaran. Hendaknya seseorang hidup dalam cinta kasih,” bhante mengakhiri ceramahnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara