• Tuesday, 14 July 2020
  • Karina Chandra
  • 0

Para ilmuwan dan tenaga medis masih berjuang menciptakan obat dan vaksin untuk mengatasi pandemi COVID-19. Sementara itu, pandemi masih terus memberikan dampak pada segala aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, perekonomian, bahkan kondisi mental dan hubungan antarmanusia.

Lantas apa yang bisa dilakukan masyarakat awam sembari menunggu hasil kerja keras para ilmuwan? Ternyata leluhur bangsa kita telah mewariskan “bekal” yang dapat membantu kita melalui situasi sulit ini dengan pendekatan yang berbeda. “Bekal” inilah yang dibahas dalam acara Pabligbagan Virtual #4 yang diselenggarakan Puri Kauhan Ubud dengan tema “Mantra, Tantra, Yantra, dan Karma pada Masa Pandemi”.

Tiga orang “guru loka”–biksu, pandita, agamawan, atau praktisi spiritual yang diandalkan masyarakat untuk memberi bimbingan–telah hadir untuk membagikan pandangan dan panduan menghadapi pandemi dengan sudut pandang holistik yang berangkat dari ilmu filologi, sejarah, arkeologi, antropologi, dan sosio-politik serta merujuk pada sistem keagamaan Nusantara, khususnya Bali.

Ketiga guru loka ini adalah Biksu Bhadra Ruci Sthavira dari Sangha Vajrayana Indonesia (SAGIN), Ida Pendanda Gede Nyoman Talikup dari Grya Koulubyawu, Muncan Karangasem, dan Ida Shri Bhagawan Natha Nawa Wangsa Pemayun dari Kedhatuan Kawista, Blatungan, Tabanan. Acara ini berlangsung pada tanggal 5 Juli 2020 dan dihadiri oleh peserta dari berbagai agama dan kalangan, termasuk duta besar Indonesia untuk Zimbabwe, Sri Lanka, dan Singapura.

Biksu Bhadra Ruci selaku pembicara pertama mengawali pemaparan dengan menyatakan bahwa persoalan pandemi COVID-19 tidaklah rumit jika ditilik dari perspektif Hindu-Buddha. Baik Buddha Dharma maupun Hindu Dharma mengenal praktik pengendalian diri atau “sila”. Sehari-hari kita sudah menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan buruk seperti membunuh, mencuri, dan sebagainya.

Ada aturan yang harus ditaati oleh biksu, ida pedanda, maupun umat awam yang menjadi “pagar” untuk membantu kita menahan diri dari klesha (kotoran batin). Sama halnya dengan menghadapi pandemi, kita perlu menahan diri untuk tidak berkumpul ramai-ramai, memakai masker, mengikuti protokol kesehatan. Buktinya masyarakat Bali bisa disiplin menahan diri selama pandemi.

Kemudian, Biksu Bhadra Ruci juga menjelaskan peran karma dan tantra dari sudut pandang Buddhis. Misalnya jika pesawat jatuh, semua penumpang meninggal kecuali dua orang. Dua orang ini selamat bukan karena “disayang Tuhan”, melainkan karena mereka tidak memiliki karma untuk meninggal di kecelakaan itu.

Begitu pula dengan COVID-19, jika kita memang pernah melakukan sesuatu di masa lampau yang membuat kita bisa mengalami akibat karma berupa sakit, kita akan sakit. Sebaliknya, jika kita tidak memiliki karma itu, kita tidak akan jatuh sakit. Tantra, yoga, dan mantra merupakan contoh teknik untuk mempurifikasi karma seseorang. Kita membawa potensi buah karma yang dapat kita “bersihkan” agar tidak berbuah menjadi penyakit.

Masyarakat awam harus menghadapi banyak permasalahan akibat pandemi dan sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak sempat melakukan yoga dan sebagainya, karena itu mereka mengandalkan para rsi wiku dan ida begawan untuk membantu mereka.

Lebih jauh lagi, Biksu Bhadra Ruci memberi nasihat untuk berjuang memurnikan karma dengan tujuan bebas dari penderitaan samsara. Kita perlu memahami hukum karma dengan serius, melatih disiplin sila, dan melakukan yoga atau praktik apapun sedikit demi sedikit sehingga kita terbebas dari nafsu keinginan yang membuat kita menderita di samsara ini.

Pandemi ini menjadi kesempatan kita untuk menambah keseriusan kita dengan menyelami diri dan memperbaiki batin sehingga pola pikir kita berubah. Penderitaan pun bisa kita atasi, termasuk COVID-19. Pembatasan sosial ibarat Nyepi yang tidak hanya satu atau dua hari. Biksu Bhadra Ruci pun berkelakar dengan mengatakan bahwa jika Nyepi berlangsung selama 14 hari atau sebulan, masyarakat Bali tidak hanya akan bebas COVID-19, tapi bahkan banyak yang bisa mencapai moksa.

Setelah Biksu Bhadra Ruci memberikan penjelasan dari perspektif Buddhis, Ida Pedanda Gede Nyoman Talikup melanjutkan dengan perspektif Hindu. Beliau menjelaskan bahwa segala yang terjadi di dunia ini merupakan bagian dari suatu siklus keseimbangan yang dinamis dan saling melengkapi, termasuk pandemi.

Terjadinya pandemi merupakan bagian dari siklus karma yang tidak bisa dihindari, sebuah kekuatan semesta untuk mewujudkan keseimbangan baru yang harus diterima dengan hati yang lapang. Tantra adalah kekuatan yang dapat membantu kita melalui masa sulit ini, tapi kekuatan ini sendiri bersumber dari ketulusan.

Tanpa ketulusan, tidak ada kekuatan. Untuk meraihnya, kita perlu melatih pengendalian diri dan berupaya memerdekakan diri dari klesha (kotoran batin). Kita juga perlu senantiasa menyadari bagaimana tindakan kita berpengaruh pada orang lain dan terus bekerja sesuai dengan kewajiban masing-masing.

Terakhir, Ida Shri Bhagawan Natha Nawa Wangsa Pemayun memberikan penjelasan tentang filosofi di balik tantra, yantra, mudra, dan mandala. Ini semua merupakan bentuk koneksi dengan semesta yang kita warisi dari leluhur Hindu dan Buddha.

Mantra dan berbagai upacara menghasilkan getaran-getaran untuk menghalau segala mala, menenangkan kecemasan, ketakutan, iri dengki, kebencian, dan emosi negatif lainnya yang mungkin muncul karena pandemi atau sebab-sebab lain. Secara khusus, para wiku atau agamawan harus semakin giat melakukan praktik-praktik dan ritual doa untuk memurnikan diri dari kotoran batin sekaligus mendoakan semua orang.

Mereka memiliki peran untuk menentramkan segala kecemasan, menyampaikan kebenaran, dan terus-menerus mendoakan karena tidak semua orang mampu melakukannya.

Setelah ketiga narasumber memberikan pemaparan, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Pada kesempatan ini, Biksu Bhadra Ruci menjawab pertanyaan tentang cara purifikasi karma dari sudut pandang Buddhis. Beliau menjelaskan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan, salah satu cara yang paling sederhana adalah berbuat banyak kebajikan dan menolong sesama.

Ibarat menambahkan banyak air ke air garam bisa membuat rasa asinnya memudar, menambah banyak karma baik bisa melemahkan akibat karma buruk yang kita miliki. Kita bisa melihat secara langsung maupun di media sosial bagimana permasalahan pandemi membuat orang-orang makin egois dan bersikap seolah paling menderita dan butuh ditolong.

Sikap ini harus dihindari karena akan menambah karma buruk. Sebaliknya, memikirkan orang lain dan memperhatikan tetangga atau siapapun di sekitar kita akan menambah karma baik. Penderitaan kita pun akan berkurang.

Beberapa peserta acara juga turut berkontribusi dalam diskusi. Salah satunya adalah Maria Hartiningsih, mantan wartawan senior Kompas peraih penghargaan yang pernah mewawancarai tokoh agama terkemuka. Beliau berbagi tentang praktik tirakat dalam budaya Jawa, yaitu bangun di malam hari untuk berkontemplasi.

Dengan diam dan merenung, kita bisa benar-benar memahami apa yang terjadi pada diri kita dan sekitar kita. Kita pun lebih bisa menerima keadaan dan mengatasi segala ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkan oleh pandemi.

Dari situ, kita bisa membangun optimisme untuk melampaui masa sulit ini. Adapun peserta lain mengingatkan kita dengan konsep Tri Hita Karana dalam keyakinan masyarakat Bali, bahwa kita perlu menjaga keseimbangan agar kehidupan dapat terus berlanjut. Manusia perlu memperbaiki perilaku agar alam dapat pulih kembali.

Ida Ratu Shri Bhagawan juga mendukung pernyataan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan tentang kapan pandemi akan berakhir dengan mengatakan bahwa ketika manusia bisa menenangkan diri dan mengatasi ketamakan, ego, dan kebencian, alam pun akan memberi ketenangan.

Menanggapi pernyataan tersebut, Biksu Bhadra Ruci juga menambahkan bahwa penderitaan yang dialami semua orang saat ini terjadi karena pandemi menyerang ego kita semua.Ketika kita sudah bisa lebih legowo, saling menolong, dan saling peduli, maka keadaan akan membaik dan karma baik akan melindungi kita.

Sebagai penutup, AAGN Ari Dwipayana dan Sugi Lanus selaku host acara menyimpulkan bahwa meski COVID-19 membuat kita berada dalam kondisi avidya–gelap, penuh ketidaktahuan–sehingga merasa cemas dan ketakutan, leluhur kita telah mewariskan metode untuk mengatasinya melalui berbagai tradisi seperti tirakat, tantra, mantra, hukum karma, dan sebagainya.

Dengan berbagai metode tersebut, kita bisa mengubah kewajiban stay at home menjadi praktik spiritual untuk menenangkan batin dan menyucikan diri dari kotoran batin, didukung dengan praktik sila atau disiplin moral, menaati prosedur pencegahan penyakit, serta saling menolong antar sesama. Dengan demikian, COVID-19 ini tak hanya menjadi bencana, tapi juga berkah yang memandu kita untuk belajar dan mewujudkan era baru yang lebih baik.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara