• Thursday, 27 August 2020
  • Ngasiran
  • 0

Kepedulian masyarakat Dusun Manggis, Desa Sukorejo, Kecamatan Pohpelem, Kabupaten Wonogiri terhadap warisan benda cagar budaya harus diapresiasi bersama. Sikap protektif mereka terhadap siapa saja yang berpotensi mengancam kerusakan, hingga menghilangkan benda yang memiliki nilai sejarah itu perlu dijadikan contoh dalam melindungi benda cagar budaya.

Kamis (20/8), siang itu Goenawan A. Sambodo, arkeolog yang juga ahli aksara Jawa Kuna khusyuk mengamati tulisan pada batu prasasti. Matanya menyelidik tajam, memperhatikan pada setiap detail guratan-guratan pada batu bertulis itu. “Angka tahunnya kok belum kelihatan ya,” gumam mahasiswa pasca sarjana Institut Teknologi Sepuluh  Nopember (ITS) Surabaya itu. Menurut Mbah Gun – sapaan akrab Goenawan A. Sambodo – tulisan pada prasasti relatif masih bagus. Namun karena pori-pori batu yang besar huruf agak sulit dibaca langsung.

Mendata termuan benda diduga benda cagar budaya adalah prosedur standar sebelum melakukan tindakan atas temuan itu. Itu juga yang dilakukan oleh Mbah Gun setelah beberapa saat melakukan pengamatan terhadap batu bertulis itu. Membuat catatan dan dokumentasi foto ukuran benda, kondisi benda, jumlah baris pada setiap sisi prasasti, hingga detail-detail kondisi temuan itu masuk dalam catatan.

Di tengah aktifitas pendataan, seorang warga menghampiri. Kendatangan kami yang belum berkoordinasi dengan penduduk setempat nampaknya membuat warga merasa tidak nyaman. Mereka curiga kedatangan kami membawa maksud tidak baik, apalagi belum lama ini beberapa artefak di tempat itu dicongkel orang yang tak mereka kenal.

“Njenengan bukan orang sini, mbok kalau datang ke tempat orang itu permisi dulu,” kata warga itu. Seketika itu juga Mbah Gun menyanggupi permintaan warga tersebut. Ia bergegas ke rumah kepala dusun yang tak jauh dari tempat keberadaan prasasti. Namun warga yang datang bertambah banyak, beberapa perangkat desa setempat juga ikut hadir. Keresahan warga atas kedatangan orang tak mereka kenal nampaknya cukup mengganggu. Bahkan mereka mencurigai kami adalah rombangan yang mencongkel artefak di sana.

Ketegangan sedikit memuncak, beruntung tak lama setelah itu Mbah Gun datang bersama kepala dusun sehingga dapat mencairkan suasana. “Begini bapak-bapak, tadi saya sudah komunikasi dengan Bapak Kepala Dusun, kedatangan kami hanya untuk mendata prasasti ini. Syukur-syukur nanti bisa kami baca, mungkin ada hubungannya dengan sejarah dusun ini,” kata Mbah Gun.

Sebagai orang yang menaruh perhatian besar terhadap benda cagar budaya, Mbah Gun juga memberi apresiasi atas kepedulian masyarakat Desa Puhpelem dalam menjaga tinggalan purbakala di desanya. “Secara pribadi maupun institusi sebagai tim ahli cagar budaya, saya berterima kasih kepada masyarakat sini yang tidak abai terhadap tinggalan sejarah. Terkait kedatangan kami, karena kami sudah janjian dengan teman-teman yang mengantar kami sudah satu minggu yang lalu, jadi kami berfikir teman-teman yang mengantar kami sudah koordinasi dengan warga. Karena itu atas nama teman-teman kami minta maaf,” kata Mbah Gun.

Prasasti Abad 10 Masehi

Berdasarkan catatan laporan hasil pendataan Mbah Gun, prasasti itu terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 103cm, lebar tengah 75 cm lebar bawah 66 cm, tebal atas 8 cm, tebal tengah 17 cm, tebal bawah 20 cm. Berdiri pada sebuah alas dengan Panjang 75 cm, lebar 24 cm dan tinggi 8 cm. Bagian sisi kanan atas dari batu telah hilang. Terdapat 41 baris pada sisi depan, 39 baris sisi belakang, 27 baris sisi kanan dan 38 baris sisi kiri.

Batu andesit abu abu kehitaman dengan pori pori yang besar. Bentuk “stele” dengan bagian atas berbentuk lengkung kurawal (akolade). Berdasarkan pengamatan pada bentuk huruf, prasasti itu diperkirakan dari abad X Masehi.

Prasasti ini telah diberikan penutup bangunan beratap genting dengan tembok di sekelilingnya. Bagian penyangga atap (reng dan usuk) telah banyak yang mengalami pelapukan. Berdasarkan keterangan warga, prasasti itu akan segera dibuatkan rumah yang layak dengan alokasi dana desa. “Dulu rumahnya terbuat dari kayu, tapi karena kayu-kayunya sudah lapuk untuk sementara dibuatkan gubuk ini,” kata mantan Kepala Desa Puhpelem.

Warga setempat sangat peduli dengan keberadaan prasasti ini sehingga mereka menjadi agak protektif atas siapapun yang datang ke prasasti tersebut. Hal ini dikarenakan pernah ada benda yang hilang dari sekitar prasasti ini berupa kendi batu.Kendi batu kemungkinan besar adalah bentuk lingga dan yoni dalam ukuran yang kecil sekitar 50 cm dengan cerat yang sudah hilang, karena Ketika diperlihatkan foto Yoni dan Lingga mereka meyakinkan bentuk yang sama dengan bagian cerat yang sudah hilang.

Di tempat itu juga ditemukan sebuah batu berbentuk rumah dengan tinggi 46 cm, panjang atap 48 cm, panjang tubuh 28 cm, dan lebar tubuh 18 cm. Terdapat bekas ukiran yang sudah aus di kanan kiri atap miniature rumah tersebut. Kondisi batu sudah sangat aus.

Terdapat pula temuan berupa batu kotak dengan lubang di tengahnya. Temuan itu sudah pecah akibat dicongkel linggis oleh seseorang yang ingin tahu bentuk benda tersebut yang tertanam di dalam tanah. Miniatur rumah dan batu kotak berlubang itu kini disimpan di rumah warga yang berada tidak jauh dari lokasi prasasti.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara