• Tuesday, 7 August 2018
  • Ngasiran
  • 0

“Kalau kamu ingin menemukan jawaban atas kegelisahanmu, kalau kamu ingin menemukan laku spiritual, hanya seorang biksu yang bisa menjawab,” tutur Zaim. Lelaki kelahiran Kediri, 11 Oktober 1983 ini bercerita bahwa kalimat itu seperti muncul dalam batin di tengah kegelisahan hidupnya dalam pencarian spiritual.

Mohammad Zaim atau yang lebih akrab disapa Kang Zaim hadir sebagai narasumber dalam bedah buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat dalam rangka peringatan hari Asadha Wihara Dharmakirti, Kota Palembang. Acara ini digelar hari Minggu (29/7) di ruang Dhammasala Wihara Dharmakirti dan diikuti oleh lebih dari 500 umat Buddha Kota Palembang.


Dok Penerbit Mizan

Buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat merupakan karya Kang Zaim sendiri. “Buku ini saya tulis ketika saya merawat guru saya Master Zen, Thich Nhat Hanh. Beberapa tahun lalu Thich Nhat Hanh terkena stroke dan tidak bisa ngapa-ngapain, jadi saya terpilih menjadi salah satu monastik yang merawat beliau selama dua bulan.

Baca juga: Bertani Sembari Meditasi

“Di tengah-tengah merawat beliau, saat istirahat saya membuka laptop kemudian menulis seperti orang kesurupan. Jadi ketika saya mengetik itu enargi yang mendorong sangat kuat dalam waktu 2-3 minggu saya selesaikan buku ini yang tebalnya sekitar 200-an halaman. Saya melihat itu sebagai semangat yang diwariskan oleh Master Thich Nhat Hanh, sehingga saya bisa menulis dan menerbitkan buku ini,” tutur Kang Zaim.

Dalam buku tersebut Kang Zaim menceritakan seluruh riwayat hidupnya dalam pencarian spiritual untuk menemukan jawaban bagaimana bisa hidup selaras dengan alam. Pencarian spiritual Kang Zaim telah dimulai sejak kecil, berbagai pertanyaan tentang hidup dan kehidupan selalu muncul dalam pikirannya. “Pertanyaan saya adalah bagaimana supaya saya bisa khusyuk? Kalau dalam bahasa meditasi sekarang bagaimana saya benar-benar bisa tenang?” tuturnya.

Namun setiap jawaban yang ia dapat tidak pernah memuaskan batinnya. Kegelisahannya semakin memuncak pada saat orangtua Kang Zaim meninggal. Pada saat itulah suara batin Kang Zaim muncul, “Kalau kamu ingin menemukan laku spiritual sejati, hanya seorang biksu yang bisa menjawabnya,” katanya.

Mengikuti suara batinnya Kang Zaim mulai mencari mencari vihara untuk belajar meditasi. Guru meditasi pertamanya adalah Bhikkhu Uttamo, di Pondok Meditasi Balerejo, Blitar.

Pada usia 27 tahun Kang Zaim menempuh Pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. Pertemuanya dengan Master Thich Nhat Hanh dalam retret di Caringin tahun 2010 membawanya mendalami Buddhis di Plum Village, Perancis.

Di Plum Village, Zaim menjadi samanera selama lima tahun dengan nama Dai Dinh yang artinya Maha Samadhi karena Thay (panggilan untuk Thich Nhat Hanh) melihatnya sebagai murid yang khusyuk dalam meditasi. “Setelah belajar di Plum Village saya bisa merasakan apa yang dikatakan hidup selaras dengan alam,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara