• Tuesday, 11 July 2023
  • Surahman Ana
  • 0

Foto : Dok. Panitia (Bodhi Anto dan Santo)

Merayakan Waisak tahun 2023, umat Buddha Kulon Progo kembali gelar Upacara Tribuana Manggala Bhakti. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan kali ini dihelat di Gunung Tumpeng Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Kec. Girimulyo, Kab. Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (2/7/2023). Acara juga didukung oleh pemerintah desa dan umat lintas iman Desa Jatimulyo.

Turut hadir dalam upacara pejabat Kantor Bupati Kulon Progo, Kepala Dinas Kebudayaan Kab. Kulon Progo, Ketua Dewan Kebudayaan Kab. Kulon Progo, Kepala Dinas Pariwisata Kab. Kulon Progo, Ketua FKUB Kab. Kulon Progo, Panewu Giri Mulyo beserta unsur Forkopimda, Perangkat Desa Jatimulyo, dan beberapa tamu undangan lainnya. 

Surahman, ketua panitia acara ini menyampaikan, upacara Tribuana Manggala Bhakti merupakan kolaborasi budaya Jawa dengan ajaran Buddha.

“Tribuana Manggala Bhakti mencerminkan keharmonisan sosial. Kegiatan yang bersifat religio kultural ini digali dari racikan budaya Jawa dengan ajaran Buddha. Tahun 2023 adalah tahun kelima pelaksanaan Tribuana. Masyarakat, baik Buddhis maupun non Buddhis bahu membahu menyiapkan upacara adat yang memiliki substansi dasar kepedulian lingkungan hidup tersebut,” kata Surahman.

Surahman menambahkan, Tribuana Manggala Bhakti adalah salah satu upaya membangun peradaban walaupun masih dalam skala yang sangat kecil. Peradaban untuk peduli dengan kelestarian lingkungan alam adalah peradaban induk Nusantara yang sudah mulai ditinggalkan. 

“Tribuana dirancang untuk membangkitkan kembali watak agung Nusantara yang sangat ramah, peduli terhadap semesta. Walaupun sayup-sayup kecil, Tribuana semoga menjadi semacam “wake up call” dentang pengingat pentingnya cinta alam sebagai tempat bernaung bersama,” imbuh Surahman.

Tiga matra utama alam yang dibidik Tribuana untuk dirawat adalah matra bumi, matra air dan matra cahaya ataupun udara. Matra bumi terwujud dalam upacara penanaman pohon penyangga air di berbagai mata air yang ada di perbukitan Menoreh Kulon Progo berupa pohon Bodhi, Mahoni, Jati, Sengon serta tanaman produktif seperti Manggis dan Matoa. 

Matra air melalui pengambilan air suci dengan menggunakan adat Jawa di sumber mata air Sepanggal perbukitan Menoreh. Sementara pelepasan satwa burung endemik Kulon Progo seperti perkutut, kutilang dan trotokan sebagai ekspresi kepedulian terhadap matra udara dan cahaya. 

Rangkaian upacara dimulai dengan tabur bunga untuk mendoakan dan berbakti pada leluhur, pengambilan tirta suci dan sebulan pendalaman dan pengamalan ajaran Buddha. Sementara di hari H, ratusan umat Buddha melaksanakan prosesi menuju titik puja di Gunung Tumpeng. Serempak berseragam busana Jawa, para umat dengan khidmat berjalan menuju lokasi puja dengan mengusung berbagai sarana puja.

Tiba di lokasi, umat melaksanakan persembahan amisa puja dilanjutkan prosesi pengambilan air diiringi lantunan lagu Tribuana Manggala Yekti. Selanjutnya dilaksanakan puja bakti yang dipimpin oleh Rama Totok Tejavano. Usai puja bakti, diisi dengan sesi sambutan dari para tamu undangan. Di akhir acara, dilaksanakan upacara simbolik penanaman pohon, pelepasan ikan, pelepasan burung, kemudian ditutup dengan ramah tamah.

Niken Probo Laras, Kepala Dinas Kebudayaan Kulon Progo mengapresiasi perayaan Waisak yang terwujud dalam upacara Tribuana Manggala Bhakti. Ia menilai kegiatan ini menjadi sarana untuk mewujudkan kehidupan toleransi masyarakat Kulon Progo. Niken berharap kegiatan ini akan berpengaruh dalam bidang pariwisata Kab. Kulon Progo. 

“Memang di sini toleransinya luar biasa, setiap Waisak ibadahnya selalu khidmat, tetapi yang membantu kepanitiaan dan membantu bekerja justru umat non Buddha, makanya dikenal dengan Kampung Pancasila atau Kampung Toleransi. Melalui kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu produk seni budaya yang ikonik di Jatimulyo dan Kulon Progo pada umumnya, dalam rangka pengembangan daya tarik wisata di Kulon Progo,” ujar Niken. 

Plh. Bupati Kulon Progo melalui Staf ahli Kab. Kulon Progo Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Eka Pranyata, menilai kegiatan ini adalah wujud umat Buddha dalam turut menjaga kelestarian alam, kebudayaan, serta nilai-nilai toleransi yang ada di Kab. Kulon Progo. Ia berpesan agar umat Buddha tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan yang telah tercipta khususnya di Desa Jatimulyo.

“Tujuan acara ini untuk berperan aktif dalam menjaga bumi tetap lestari, termasuk menjaga satwa dan sauna. Melestarikan kebudayaan Jawa, menjaga aspek religi dengan tidak meninggalkan unsur-unsur kebudayaan yang ada. Umat Buddha telah hidup rukun, damai, harmoni berdampingan dengan penganut agama lain di Kulon Progo, dan kondisi tersebut harus  terus dirajut sehingga menjadi watak bersama. Hingga karakter harmonis akan mewarnai setiap denyut nadi perjalanan hidup masyarakat kita,” pesan Bupati.  

Kegiatan ini dianggap sebagai upacara konservasi alam yang mendukung kegiatan Pemda Kulon Progo. Oleh karenanya, Pemda Kulon Progo memberikan dukungan dengan memfasilitasi menjadi sendratari Tribuana Manggala Bhakti yang dilaksanakan di Pasar Rakyat Jatimulyo, Girimulyo. Sendratari digarap oleh Kelurahan Jatimulyo bersama dengan segenap umat Buddha menjadi sendratari Tribuana Manggala Bhakti seri/babag Pratama Krida.

Pratama Krida mengisahkan awal mula dilaksanakannya upacara adat religi Manggala Bhakti. Secara umum, sendratari ini menceritakan tentang latar belakang perlunya acara adat Tribuana Manggala Bhakti guna menjaga kelestarian alam sekitar di wilayah Desa Jati Mulyo, Kec. Girimulyo, Kab. Kulon Progo yang terletak di jajaran Pegunungan Menoreh.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara