• Friday, 18 May 2018
  • Junarsih
  • 0

Diane Butler, seorang penari dan merupakan orang asing pertama yang memperoleh gelar Ph.D dalam kajian budaya di Universitas Udayana, Bali menjadi pembicara pertama di Borobudur International Conference III pada Jumat (4/5).

Penari yang juga mendalami meditasi vipasana ini dipanel dengan Bram Hastho dalam sebuah sesi diskusi, Bram Hastho seorang dosen di salah satu perguruan tinggi Buddhis di Indonesia.

Mengawali pemaparan materinya, Diane Butler menjelaskan arti pentingnya warisan budaya sebagai pembelajaran masa lampau. “Warisan budaya merupakan perkembangan dari masyarakat sebagai kendaraan untuk mempelajari masa lampau dan menyampaikan pengetahuan dan moral untuk umat manusia saat ini dan yang akan datang.

Baca juga: Membudayakan Agama

“Sejarah memperlihatkan sisi warisan yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan dialog antarbudaya dan keselarasan sosial. Salah satu warisan budaya di Indonesia adalah Borobudur, yang juga menjadi tempat pertemuan dan merupakan warisan yang harus dijaga,” tuturnya.

Dalam presentasinya, ia menunjukkan beberapa foto tentang kegiatan dialog antarbudaya baik lokal maupun internasional, di antaranya untuk menyambut Hari Warisan Dunia (18/4/2012) ruwatan di pohon Beringin Candi Borobudur. Kemudian Hari Bumi, (22/5/2012) di Candi Pawon, Weaving Bamboo di Candi Borobudur untuk Kemanusiaan, Vipassana Warna – Red Batik, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Bram Hastho, sebagai pembicara kedua menyampaikan bahwa budaya bukan sesuatu yang statis, selalu berubah berdasarkan pertemuan yang dialektikal dengan manusia lainnya.

Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra yang telah menyelesaikan program Doktor Filsafat di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini mengatakan “Keberagaman itu dapat dilihat dalam perbedaan kepercayaan, budaya, bahasa, ras, adat, dan sebagainya. Keberagaman adalah kenyataan dalam hidup ini.

Dari keberagaman ini Bram Hastho menyatakan bahwa, “We accept others as we are, not we accept others to be mine, dengan kata lain bahwa kita menerima orang lain secara apa adanya, bukan menjadikan orang lain seperti diri kita.”

Bram Hastho juga menyatakan bahwa, “Local versus global, kita harus memelihara budaya lokal dan mempelajari perkembangan yang baru. Seperti di Borobudur terdapat relief yang sangat menakjubkan dari Gandawyuha yang mewakili pandangan keberagaman.

Baca juga: Tanpa Budaya dan Tradisi, Agama Buddha Hanya Tempelan

“Mengutip buku yang ditulis Lombart (2000:25), bahwa ada tiga keadaan bangsa Indonesia dalam karakter wayang yang masih ada hubungannya dengan India, namun masih kuat mengandung kearifan lokal Indonesia seperti Bima, yang mencari air kehidupan dalam drama Dewaruci, Sadewa, dari Pandawa yang termuda,” jelasnya.

Selain karakter wayang, tari dan pentas kesenian lain juga menjad pemeliharaan ekologi dalam kearifan lokal, seperti Ruwat Rawat Borobudur, Srawung Seni Segara Gunung, Tribuana Manggala Bhakti di Kulonprogo, dan juga yang termasuk dalam pemeliharaan ekologi adalah dengan menanam pohon, melepas burung, dan memelihara hasil alam.

Bram Hastho menyimpulkan bahwa budaya lokal selalu berkaitan dengan kebudayaan global. Memperbanyak dialog untuk menyelesaikan permasalahan regional atau global merupakan bentuk dari budaya lokal. Serta, dengan memanfaatkan teknologi modern dalam kehidupan sosial yang beragam untuk menyebarkan kebudayaan lokal dan menyelamatkannya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara