
Foto: Ngasiran
Cahaya mentari pagi menyinari pelataran Candi Mendut, menciptakan atmosfer sakral yang menyelimuti perayaan Trisuci Waisak 2569 BE/2025 oleh Keluarga Besar STAB Syailendra, Kamis 29 Mei 2025. Berbeda dengan perayaan Waisak pada umumnya yang ramai oleh ribuan umat, acara kali ini justru mengedepankan kesederhanaan dan kedalaman makna, dipadukan dengan kearifan lokal warisan budaya Mataram Kuno.
Acara yang digagas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAB Syailendra ini tidak hanya sekadar ritual keagamaan, melainkan juga menjadi ruang pembelajaran langsung tentang sejarah dan filosofi Buddha. Bhikkhu Dr. Jotidhammo Mahathera, Pembina Yayasan Dharma Syailendra, dalam Dhammadesana-nya menekankan pentingnya menghayati ajaran Buddha secara kontekstual.
“Waisak bukan hanya seremoni; ia adalah cermin bagi kita untuk melihat kembali apakah ajaran Sang Buddha sudah hidup dalam tindakan sehari-hari,” ujar Bhikkhu Jotidhammo dengan suara tenang.
“Seperti Candi Mendut yang berdiri kokoh selama berabad-abad, Dhamma pun harus menjadi pondasi yang tak tergoyahkan dalam diri kita.” Beliau juga menyoroti relevansi praktik Dhamma di era modern: “Banyak orang pandai berbicara tentang Dhamma, tetapi sedikit yang benar-benar berjalan di jalan itu. Belajar teori saja tidak cukup; kebijaksanaan lahir dari penerapan.”

Sebagai sentral acara, Candi Mendut—yang disebut Bhikkhu Jotidhammo sebagai “Veluvana-nya Jawa”—menjadi saksi bisu perpaduan antara ritual Buddhis dan pelestarian budaya. Usai puja bakti di pelataran, peserta diajak masuk ke dalam candi untuk menelusuri relief Jataka dan Avadana sambil mendengar penjelasan singkat dari sang bhikkhu.
“Lihatlah relief ini: bukan sekadar ukiran, tetapi gambaran nyata tentang ajaran karma dan kebajikan. Inilah cara leluhur kita mengabadikan Dhamma dalam batu,” jelas Bhikkhu Dhiracitto, salah satu pengajar STAB Syailendra, sembil menunjuk panel kisah Sangharama.
Acara ditutup dengan foto bersama dan ramah tamah, diiringi hidangan makan siang sederhana yang disiapkan oleh panitia. Nuansa kekeluargaan terasa kuat, mencerminkan semangat Sangha yang menjadi inti ajaran Buddha.
“Justru dalam kesederhanaan, kita menemukan esensi Waisak yang sesungguhnya,” tutur salah seorang mahasiswa, sambil menikmati suasana teduh di bawah pohon dekat candi.
Dengan menggabungkan spiritualitas, edukasi, dan pelestarian budaya, peringatan Waisak STAB Syailendra kali ini tidak hanya meninggalkan kesan mendalam, tetapi juga menginspirasi peserta untuk menjadikan Dhamma sebagai jalan hidup—bukan sekadar pengetahuan.


