
Konflik Rohingya di wilayah Rakkhine, Myanmar kembali menjadi perhatian dunia. Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, meminta kepada masyarakat Indonesia untuk objektif dalam melihat masalah ini. “Tentu kita harus jernih dan objektif dalam hal ini,” kata Ito Sumardi.
Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi nasional pada Senin (21/11), Ito menjelaskan kronologi kembali mencuatnya isu Rohingya. Pada 9 Oktober 2016 lalu, sekelompok orang dari kelompok militan Rohingya (RSO) melakukan serangan terhadap beberapa pos penjagaan polisi dan militer perbatasan di utara Myanmar yang menyebabkan sejumlah anggota polisi dan militer tewas. Serangan tersebut direspon otoritas Myanmar dengan sebuah operasi pemulihan keamanan yang berekses terhadap etnis Rohingya.
Ito menjelaskan, ia bersama sejumlah duta besar dan rombongan PBB sudah melihat langsung 15 desa yang menjadi sasaran operasi pemulihan keamanan. Ia sempat mewawancarai beberapa orang yang tak bisa dipungkiri sebagian mereka mengaku mendapatkan kekerasan akibat operasi pemulihan keamanan. Namun Ito mengatakan informasi itu masih perlu dibuktikan.
Dan yang mengalami dampak operasi pemulihan keamanan tersebut tidak hanya etnis Rohingya, namun juga masyarakat Rakkhine lainnya yang beragama Buddha. “Ada beberapa kampung Buddha juga yang mengalami ancaman. Ada 1,7 juta orang dan mereka ini juga merasa terancam dan mengosongkan desa,” katanya.
Ito menegaskan umat Islam di sana termasuk WNI aman terlindungi. Ia mencontohkan, “Warga negara Indonesia yang di sana bebas melaksanakan ibadah agama dan di wilayah sana pun ada orang-orang Muslim yang penduduk asli Myanmar sama sekali tidak terganggu.”
Ia menghimbau publik harus hati-hati menyebarkan dan menerima informasi terkait konflik Rohingya. Apalagi menurutnya, dalam kasus Rohingya, ada peran kelompok militan Rohingya yang diketahui berhubungan dengan kelompok radikal dari Timur Tengah dan Taliban.
“Berita yang dimunculkan mungkin ada propaganda dari kelompok tertentu yang bermain di Rohingya,” kata Ito.
Himbauan serupa juga disampaikan oleh cendekiawan Muslim Azyumardi Azra, “Kita di Indonesia harus hati-hati menyikapi kasus di Myanmar ini, jangan kemudian kita mengeneralisasi seolah-olah semua orang Buddhis begitu. Ini penting sekali. Karena di masyarakat kita juga ada orang-orang beragama Buddha. Kaum Buddhis di Indonesia juga tidak setuju dengan penindasan yang terjadi di sana.”
“Orang Buddhis di sini ya orang Buddhis Indonesia, bukan orang Buddhis Myanmar, dan tidak seluruh orang Buddhis Myanmar itu radikal. Buktinya orang-orang Muslim di sana, katakanlah di Yangon, mereka aman-aman saja.”
Pemerintah Myanmar memang memberikan perlakuan yang tidak membeda-bedakan, mereka menetapkan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur nasional. Di Yangon juga tidak sulit mencari masjid dan warung makan halal.
“Memang di Rakkhine ini riwayat kekerasannya sudah lama, yang merupakan bagian dari masalah yang ditinggalkan oleh penjajah Inggris yang sulit untuk diselesaikan oleh pemerintah Myanmar,” tambah Azyumardi Azra.
Karenanya, Azyumardi Azra menghimbau, “Kita harus berpikir yang jernih, jangan bereaksi yang merugikan diri kita sendiri, merugikan Indonesia, khususnya kepada saudara-saudara kita warga Buddha di Indonesia.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara