Hama, rupanya masih menjadi persoalan serius bagi petani perdesaan. Tidak sedikit petani mengeluhkan jenis hama makin tak karuan. Di sisi lain pestisida pabrikan, selain harganya mahal, kadang juga tak seampuh iklannya. Alhasil, ongkos produksi dan hasil panen kadang tidak cucok, kata orang Jawa.
Meskipun tak semengerikan hari ini, binatang perusak tanaman (hama) juga sudah dihadapi petani zaman dulu. Namun ada yang membedakan, masyarakat zaman dulu belum mengenal pestisida, dan pupuk (kima) juga belum berkembang seperti hari ini. Lalu, bagaimana petani zaman dulu mengatasi persoalan binatang perusak tanaman?
Masyarakat zaman dulu, khususnya di Jawa Tengah percaya bahwa hama: baik itu berupa belalang, tikus, ulat, dan binatang-binatang lainya sama-sama makhluk hidup di alam semesta. Keberadaannya sama berharga dengan manusia. Karena itu, untuk mengatasi binatang-binatang itu tak harus di bunuh.
“Petani zaman dulu tidak mengenal emes (pupuk urea/kimia). Sesudah selesai selamatan ngentas-entasake (ritual sebelum tandur) selanjutnya padi dibiarkan saja. Kalaupun ada hama paling juga ulat, seganas-ganasnya hama dulu itu ada pangan menthek namanya. Tapi menthek ini dulu ditolak menggunakan gubuk kecil yang didirikan di pematang (galengan) sawah, itu bisa reda,” tutur Mbah Mariyono, salah satu petani sepuh Kampung Mranggen, Kec. Kaloran, Temanggung.
Seperti dikisahkan Mbah Maryono, Menthek merupakan mahkul perusak tanaman. Beberapa orang dipercaya pernah melihat wujud mahkul ini.
“Menthek ini ada dua, pria dan wanita yang suka mengutuk padi dengan kata-kata ‘jodangjowet, jodangjowet’ yang artinya ‘aja adang aja ngliwet pak tanine’ (jangan menanak nasi) kemudian para petani tirakat tiga hari tiga malam kemudian menthek-nya ini takut dan berpesan ‘Saya dibuatkan gubuk saja untuk berteduh, saya tidak akan merusak tanaman padinya lagi’ kemudian tanaman padinya bagus-bagus semua karena tidak dirusak,” cerita Mbah Maryono.
Baca juga: Bertani Sejak Zaman Dulu
Ilmu tanam berdasarkan ilmu perhitungan Jawa menurut Mbah Maryono juga berpengaruh besar agar tanaman tidak diserang hama. Ilmu perhitungan Jawa itu berbunyi oyot uwit godhong woh (akar pohon daun buah) kemudian dirangkap dengan hitungan cocot wadhuk buntut (mulut perut ekor) kalau pas hitungan buntut tidak terserang hama, kemudian pas hitungan woh itu baik, meskipun tidak lebat daunnya tapi buahnya bagus.
Tapi kalau pas hitungan cocot biasanya berbuah saja biasanya sudah diserang hama tikus, dicocot tikus. Setidaknya kalau pas hitungan wadhuk sehingga hama yang mau mendekat sudah enggan karena sudah kenyang perutnya, kalaupun ada hama sekedar makan secukupnya kalau sudah kenyang ya pergi sendiri tidak sampai merusak tanaman yang lain. Itu hitungan petani yang menggunakan hitungan kejawaannya.
Mbah Maryono memberikan contoh, “Misalnya untuk tanaman, pertama pada awal mulai bertani ada hama uret, jangan dibunuh. Biarkan saja, jangan kuatir ngamuk atau merusak kalaupun makan ya sekiranya saja. Itu benar. Tikus, jangan diobat karena itu juga makhluk hidup, caranya kalau pas sore pergilah ke ladang sambil disangeni.”
“Sangeni itu sama dengan diajak komunikasi dengan baik-baik, misalnya begini “tikus-tikus, makan ya makan karena memang kamu bisanya numpang tapi jangan sampai merusak, saya tidak memasang obat. Sesudah itu tinggal diusir dengan satu dua kata biasanya akan lari jauh tikusnya. Kalaupun tikus itu makan, ya sewajarnya saja. Tidak sampai merusak.”
“Zaman hama walang sangit misalnya. Cukup mengucapkan doa, waktu padi menjelang menjadi tua kok tiba-tiba banyak yang tidak adak bijinya apus namanya. Nah kalau saya pas mau menjelang tua saya tirakat tiga hari tiga malam kemudian mengucapkan doa,” pungkas Mbah Mariyono.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara