Alkisah, ada dua rumah yang berdampingan menghadap utara di wilayah Padukuhan Bintaran Kulon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar tahun 1970-an hingga 1990-an, kedua rumah itu ditempati masing-masing seorang janda. Rumah di sebelah barat ditempat Mbok Ponco Martono dengan tiga orang cucunya. Sementara rumah di sebelah timur ditinggali Mbok Joyo Minten.
Mbok Ponco Martono dan Mbok Joyo Minten memiliki sifat yang jauh berbeda, Mbok Ponco bertubuh tinggi dengan warna kulit kuning, sifatnya tegas, keras, dan galak, sedangkan Mbok Joyo berbadan kecil, warna kulitnya cokelat gelap, tutur katanya lembut dan ramah pada anak-anak sekitar.
Meskipun sifat sangat berbeda, kedua perempuan itu bertetangga dengan rukun. Tapi, seperti umumnya bertetangga, kedua perempuan itu juga pernah berselisih karena satu hal. Dan selama tiga tahun keduanya sempat tidak saling bertegur sapa.
Namun meski keduanya diam-diaman, saat cucu-cucu Mbok Ponco bermain di rumah Mbok Joyo dan menikmati buah-buahan dari kebunnya, Mbok Joyo tidak sekalipun menunjukkan sifat permusuhan kepada cucu-cucu Mbok Ponco. Di halaman rumah Mbok Joyo dulu memang tumbuh banyak tanaman buah, seperti sawo, mangga, dan berbagai jambu.
Setelah tiga tahun saling tutup mulut, Mbok Joyo Minten mendatangi Mbok Ponco Martono dan berkata, ”Yu, awakke dhewe wis telung taun jothakan, mbok ayo, saiki wawuh lan srawung apik maneh.” (“Yu, kita sudah tiga tahun diam-diaman, ayo kita akrab dan berbaikan lagi.”)
Demikianlah, sejak saat itu keduanya menjadi tetangga yang rukun kembali, bukan tetangga yang “masa gitu”.
Kisah di atas cuma pengantar agak panjang yang disampaikan oleh Joko Widiyanto, seorang warga setempat. Yang menarik adalah, di antara halaman rumah Mbok Joyo Minten dan Mbok Ponco terdapat sebuah arca dari batu gunung yang bagian-bagian tubuhnya sudah tidak lengkap. Bagian kepala dan kedua lengan bagian atas dari arca itu telah hilang / rusak.
Cerita mengenai arca
Menurut cerita, bagian kepala dan lengan bagian atas itu hancur karena ditembak tentara Belanda pada saat Agresi Militer Kedua tahun 1948, di saat pasukan Belanda mengadakan patroli di wilayah Bintaran.
Pasukan Belanda menyisir wilayah dengan berulang kali menembakkan senapannya. Peluru menyasar ke banyak titik. Selain mengenai arca itu, timah panas Belanda juga mengenai hidung salah satu pemuda saat itu, yang bernama Witono Redjo.
“Saya lihat itu lubang di hidungnya Pak Witono ketika beliau masih hidup,” ujar Joko Widiyanto kepada BuddhaZine pada medio Januari 2021.
Konon wilayah Bintaran disisir karena Belanda mengetahui kiprah beberapa pemuda Bintaran (Hardjo Kayat, Ratno, dll) yang turut serta tentara pejuang RI menghancurkan jembatan Sungai Opak yang tak terlalu jauh dari kawasan Bintaran, Bantul. Runtuhnya jembatan sempat mengganggu lalu lintas armada Belanda dari Kota Jogja menuju Wonosari, Gunung Kidul.
Saksi bisu dan pelindung
Arca di batas rumah kedua warga tersebut menjadi saksi bisu peristiwa heroik, sekaligus menjadi “pelindung” bagi warga pejuang yang diburu Belanda. Sebab bisa jadi kalau peluru tidak mengenai arca tersebut, akan mengenai para pejuang RI.
Namun terkait arca itu sendiri, hingga kini masih menyimpan banyak misteri. Bagaimana sejarahnya, dari mana, dan bagaimana arca itu bisa ada di sana, tidak ada seorang wargapun yang tahu. Dan menurut Joko, belum pernah ada cerita satupun yang menegaskan pemujaan masyarakat sekitar terhadap arca tersebut.
“Sejak saya kecil, saya dan teman-teman sering bermain di sekitar arca itu. Sebagai anak-anak tentu kami menganggap arca itu hanyalah batu biasa,” kata Joko yang lahir tahun 1971 itu.
“Nggo delikan (untuk petak umpet), dirangkul-rangkul, nggo tumpakan (untuk dinaik-naiki),” sambungnya.
Terlepas dari simbol-simbol dan makna religius, keadaan arca yang kepala dan kedua lengan atasnya hancur oleh peluru pasukan Belanda itu menurutnya adalah bukti sejarah bahwa pemuda-pemuda Bintaran dengan gagah berani telah membantu tentara pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Berbekal informasi yang diperoleh di internet, Joko mengaku cukup paham, bahwa arca itu adalah arca Buddha Amitabha. Itu jelas bisa dilihat dari dhyānamudra atau sikap meditasi kedua tangan yang ada di atas pangkuan. Ia juga mempunyai informasi bahwa kepala Buddha dari arca tersebut akhirnya “dibuang” oleh warga ke wilayah lereng perbukitan seluas dua hektar di selatan Bintaran, guna “menjaga” kawasan di sana.
“Mau dicari lagi ya susah,” kata pria yang berprofesi sebagai guru SD tersebut.
Ia mengakui, selama ini tidak ada yang merawat secara khusus peninggalan sejarah itu. Sehingga arca pun kini tampak berlumut. Joko menuturkan, keturunan maupun kerabat dari Mbok Ponco Martono dan Mbok Joyo Minten tidak lagi menganggap spesial arca itu.
Bedanya, keturunan Mbok Joyo Minten yang mendirikan toko kelontong persis di sebelah timur arca, menganggap arca itu “didiami” oleh semacam jin berwujud kakek-kakek, namun bersifat baik, dan melindungi anak keturunan Mbok Joyo. Sementara, kerabat Mbok Ponco sama sekali tidak peduli, karena menganut aliran Islam yang kerap dianggap fundamentalis.
“Ikut LDII,” ungkap Joko dengan nada bicara yang agak berbeda.
Keberadaan patung ini sebenarnya ada di pinggir jalan aspal. Dan dahulu, waktu ia masih kecil, keberadaan arca ini relatif bisa dilihat dari penjuru mata angin manapun. Namun keadaan kini telah berubah. Bekas halaman rumah Mbok Joyo Minten dan Mbok Ponco Martono kini di atasnya telah dibangun toko kelontong dan bangunan rumah, yang membuat arca itu nyaris terhimpit. Alhasil, orang yang berkendara, apabila tidak pelan-pelan tidak akan menyadari ada arca atau patung di situ.
“Tidak ada umat Buddha maupun Hindu di sekitar sini,” kata Joko, yang menurutnya turut menjadi penyebab arca itu tidak terurus.
Meski demikian, di setiap bulan Juli arca itu masih disambangi dan dicek oleh petugas dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta. Kepada penghuni dua rumah yang mengapit arca, menurut Joko petugas BP3 selalu berpesan agar arca tersebut tidak dirusak apalagi dijual.
Melacak sejarah mengenai arca Buddha tersebut memang relatif susah. Terlebih, banyak tokoh warga di kawasan itu dahulu “dilenyapkan” oleh Orde Baru, karena dicap PKI, selepas tragedi September 65. Namun kiranya sepenggal kisah di atas bisa menjadi bukti bahwa peradaban bangsa kita dibangun di atas fondasi nilai-nilai Dharma yang sempat mengakar kuat di masyarakat.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara