• Saturday, 21 May 2016
  • Ngasiran
  • 0

Menyambut Waisak 2560 BE/2016, PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menyelenggarakan Borobudur International Buddhist Conference. Acara yang dihelat di Concuerse Borobudur Park kali ini dilaksanakan pada Kamis (19/5). (Baca Jelang Waisak, Borobudur Gelar Konferensi Buddhis Internasional)

Dengan mendatangkan empat pembicara dari dalam dan luar negeri, masing-masing pembicara memaparkan materi dari berbagai sudut pandang. Bhiksu Bhadraruci, yang menjadi pembicara pertama menyampaikan materi “Borobudur and People Enlightenment”.

Menurut Bhiksu Bhadraruci, Candi Borobudur merupakan simbol pencerahan. “Dalam filsafat Tantra, melihat Borobudur sebagai tanah suci. Ketika kita tinggal di tanah suci, maka kita bisa menghilangkan penderitaan,” jelas bhiksu yang juga Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) ini.

Lebih lanjut, Bhante Bhadraruci menyampaikan bahwa, Borobudur adalah Dasa Bumi Bodhisattva, yang menerangkan sepuluh tingkatan pencerahan. “Stupa induk itu bukan stupa biasa, tetapi diri kita. Ketika kita menapaki tingkat demi tingkat Borobudur dan sampai ke tingkatan yang kesepuluh, maka kita mencapai ke-Buddha-an. Dulu orang Jawa mengatakan ‘manunggaleng kawula Gusti’, itulah Buddha. Saya menyatu dengan Buddha di alam ke-Buddha-an kita sendiri,” jelasnya.

Menurut Bhante Bhadraruci, selama ini orang salah mempersepsikan bahwa Borobudur hanya mempunyai tiga tingkatan, yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. “Kalau kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu itu adalah tingkatan alam kehidupan, ini jelas kekeliruan yang fatal. Borobudur adalah mandala pencapaian spiritual manusia yang merupakan satu kesatuan 10 level tertinggi yang tidak bisa dibagi,” jelas Bhante.

Sementara itu, Prof. Dr. Noerhadi Magetsari, arkeolog Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa Borobudur adalah kesatuan dari Tantrayana, Mahayana, dan Hinayana. “Dengan kajian arkeologi, Borobudur merupakan satu kesatuan dari Tantrayana, Mahayana, dan Hinayana. Dan saya juga menyetujui apa yang disampaikan oleh Bhiksu Bhadraruci, bahwa Candi Borobudur adalah 10 tingkatan pencapaian Bodhisattva,” jelas Prof. Noerhadi.

“Bodhisattva bagian atas adalah bodhisattva yang sudah bebas dari karma. Artinya ada dua bodhisattva yang telah mencapai ke-Buddha-an, tetapi tidak langsung masuk ke Nirvana, tetapi kembali ke bumi lagi untuk menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan,” tambahnya.

Bhikkhu Sri Pannyavaro yang menjadi pembicara ketiga bersama Bhiksu Tenzin Zopa membawakan materi yang agak berbeda. Menurut Bhante Pannyavaro, Candi Borobudur adalah obyek yang sangat baik untuk dijadikan tempat puja bakti.

“Dalam pandangan Buddhis ada tiga obyek pemujaan: (1) Obyek pemujaan yang berupa sisa jasmani, atau sisa-sisa jasad, atau yang sering dikatakan sebagai relik guru Agung Buddha Gotama atau orang-orang suci; (2) Obyek pemujaan untuk melakukan puja bakti berupa benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha Gotama sendiri, seperti pecahan mangkok Beliau, potongan jubah Beliau, tongkat yang Beliau pakai, dan lain-lain. Tetapi benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha saat masih hidup susah didapat maka yang paling mudah adalah pohon Bodhi, karena pohon Bodhi adalah tempat Siddharta mencapai pencerahan sempurna; (3) Obyek pemujaan berupa benda-benda, termasuk foto, gambar, candi, arca yang bisa mengingatkan kita pada Buddha Gotama atau kepada Tri Ratna.

“Candi Borobudur adalah obyek pemujaan yang terdapat ketiga-tiganya ini. Kalau Bhiksu Bhadraruci tadi mengatakan, bahwa setelah dipugar tidak ada relik di dalamnya, tetapi dari literatur-literatur yang saya baca di negara-negara yang agama Buddhanya pernah berkembang, baik Indonesia, Thailand dan Burma, relik tidak selalu disimpan di andhar garbha, di dhatu garbha, dan lain-lain. Tetapi kadang-kadang relik juga disimpan ditempat yang kita tidak bisa menduga sebelumnya. Sering ditemukan di Thailand, di Burma, relik itu disimpan dan ditemukan di tempat-tempat yang tidak kita duga. Pada waktu pemugaran terakhir, memang tidak dijumpai relik, tetapi siapa tahu di bagian-bagian tertentu masih tersimpan relik.

“Pada tahun 1935, ada cangkokan pohon Bodhi dari Buddhagaya yang dibawa ke Borobudur dan ditanam oleh Bhante Narada. Pada waktu pemugaran kembali, karena pohon itu mengganggu jalannya pemugaran, maka dicangkok sebanyak 15 buah dan ditanam di sekitar Borobudur. Itu adalah keturunan langsung pohon Bodhi dari Buddhagaya. Tetapi pohon Bodhi yang original di Buddhagaya sudah mati, tetapi ditanam kembali di Srilanka oleh putra-putrinya Raja Asoka. Pemerintah Srilanka menghadiahkan cangkokan pohon Bodhi dari Aragapura dan ditanam di Candi Borobudur oleh Gubernur Jawa Tengah waktu itu, itu adalah pohon Bodhi keturunan kedua dari Buddhagaya.

“Yang ketiga, jelas ada perwujudan yang mengingatkan kita pada Buddha Gotama. Patung-patung dan arca-arca yang berada di Candi Borobudur ada 505 arca Buddha. Patung-patung itulah yang bisa digunakan sebagai obyek puja bakti umat Buddha,” jelas Bhante Pannyavaro.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara