• Tuesday, 30 September 2014
  • 0

Semua orang tahu bahwa Indonesia adalah negara plural, beragam, banyak memiliki perbedaan. Dan perbedaan yang paling rawan terjadi konflik adalah perbedaan agama. Lalu bagaimana caranya agar antar pemeluk agama yang berbeda bisa hidup rukun?

Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang giat mengkampanyekan pluralisme memiliki sejumlah program untuk itu. Salah satunya adalah secara berkala melakukan program kunjungan ke berbagai tempat ibadah dengan peserta pemuda berbagai latar belakang agama yang berbeda. Program tersebut bernama ‘Peace in Diversity (PID)’ yang kali ini diadakan bekerjasama dengan Pemuda PGI dan Wahid Institute. BuddhaZine sendiri ikut terlibat sebagai media partner. Tema program kali ini adalah “Merayakan Perbedaan, Merajut Perdamaian”.

Program tersebut diikuti oleh 43 mahasiswa yang berasal dari Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Universitas Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, penghayat Kapribaden, hingga Pemuda Gereja.

 

20140930 Merayakan Perbedaan (Agama), Merajut Perdamaian_2  20140930 Merayakan Perbedaan (Agama), Merajut Perdamaian_3

Keliling Tempat Ibadah

Dalam program yang diadakan selama dua hari, 27-28 September 2014 tersebut, para peserta diajak mengunjungi Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, dan Vihara Mahavira Graha pada hari pertama. Sedangkan pada hari kedua mengunjungi Gereja GPIB Tugu (Semper) dan Kelenteng di Taman Mini Indonesia Indah. Sebenarnya direncanakan juga mengunjungi pura di daerah Rawamangun, tapi urung dilaksanakan karena sedang ada perayaan.

Di tempat ibadah yang dikunjungi tersebut, para peserta mendapat penjelasan tentang tempat ibadah tersebut dan juga berbagai hal tentang agama tersebut. Misalnya ketika mereka mengunjungi Gereja Katedral, juru bicara gereja tersebut Susyana Suwadi menjelaskan, “Katedral berhadapan dengan Istiqlal selain dekat secara fisik juga dekat secara hubungan.” Ia memberi contoh, kedua tempat ibadah saling meminjamkan tempat parkir di area masing-masing ketika sedang ada perayaan keagamaan.

“Keberadaan Katedral dan Istiqlal adalah simbol toleransi beragama,” ia melanjutkan.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh juru bicara Masjid Isitiqlal, Abu Huroiroh, “Masjid Istiqlal bukan hanya simbol kemerdekaan, tapi juga simbol toleransi.”

Sementara itu Bhiksu Garbha Virya sebagai tuan rumah Vihara Mahavira Graha menekankan bahwa manusia sejak lahir memang telah berbeda, unik. Namun banyak orang justru melihat perbedaan itu sebagai sumber konflik. Karenanya berusaha untuk saling mengenal seperti yang dilakukan dalam program PID ini bisa mengurangi benih-benih konflik dan kecurigaan antar agama karena akan menjadi lebih saling kenal.

Bhiksu Garbha Virya mengutip kata-kata dari Buddha dalam Kalama Sutra, “Janganlah percaya begitu saja apa yang kau dengar, apa yang diyakini oleh orang banyak, apa yang telah diwariskan turun-temurun, atau karena diucapkan oleh tokoh; tetapi seandainya telah membuktikan dan merealisasi sendiri, maka barulah Anda percaya.”

Hari kedua kunjungan dilanjutkan ke Gereja GPIB Tugu, Semper, Jakarta Timur. Pendeta Alfons yang merupakan wakil ketua Gereja Tugu menjelaskan bahwa Gereja Tugu dibangun oleh orang-orang Portugis yang dibuang ke daerah Tugu oleh VOC sehinggi gereja ini pada awalnya adalah Gereja Katolik. “Gereja Tugu dulunya adalah Gereja katolik, namun karena pengaruh dari Belanda yang mengajarkan Kristen, gereja ini sekarang menjadi Gereja Protestan,” ujar Pendeta Alfons.

Gereja GPIB Tugu merupakan salah satu ikon toleransi umat beragama. Gereja Tugu memiliki nilai sejarah yang tinggi, oleh sebab itu pemerintah Indonesia melalui SK. Gubernur tahun 1970 yang ditandatangani oleh Ali Sadikin menetapkan Gereja Tugu sebagai bangunan cagar budaya.

Kunjungan kemudian dilanjutkan ke Litang (Kelenteng) Kong Miao yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kelenteng Kong Miao merupakan salah satu tempat ibadah umat Konghucu. “Setelah Konghucu diakui sebagai agama oleh presiden Gus Dur, umat Konghucu di Indonesia sekarang bisa beribadah dengan tenang. Hari Imlek yang merupakan hari raya agama Konghucu juga sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional,” ujar Rini, pengurus Kelenteng Kong Miao.

 

20140930 Merayakan Perbedaan (Agama), Merajut Perdamaian_4  20140930 Merayakan Perbedaan (Agama), Merajut Perdamaian_5

Mengenal Agama Lain Tak Mengurangi Iman Kepada Agama Sendiri

Fatma Utami Jaoharoh salah satu peserta dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah merasa takut pada awal mengikuti kunjungan ke rumah ibadah agama lain karena beranggapan dapat menimbulkan pendangkalan akidah, namun ternyata hal itu tidak benar. “Sudah sering saya mengikuti acara kunjungan ke rumah ibadah agama lain, keyakinan saya tetap kuat,” ujar Fatma.

Lain halnya dengan Fajar Intan, mahasiswa STAB Nalanda yang mengaku menikmati dan mendapatkan ilmu yang sangat banyak dalam program ini. Sementara Eryarni Kusuma Ningrum, salah seorang penganut aliran kepercayaan Kapribaden berharap agar acara ini tidak berhenti sampai di sini, “Semoga acara ini dapat berlanjut, dan kita semua dapat menyebarkan benih-benih perbedaan.”

Acara Peace In Diversity ini juga diisi dengan pelatihan singkat menulis, lomba menulis, lomba membuat video, dan akan diakhiri dengan program ‘Live In’ dan ‘Malam Budaya’ pada tanggal 24-25 Oktober 2014 di Pesantren Nurul Mukhlisin Bekasi.

Menurut Ahmad Nurcholish sebagai fasilitator program dari ICRP, “Tujuan program ini sebenarnya sederhana, yaitu bagaimana mengajak pemuda dan mahasiswa mengenal perbedaan. Selama ini kan mereka cenderung hidup di basis masing-masing. Yang Muslim gaulnya dengan yang Muslim, yang Kristen gaulnya dengan yang Kristen, yang Buddha gaulnya dengan yang Buddha, sehingga begitu ada persoalan atau isu mudah tersulut.”

Menurut Nurcholish, hal itu terjadi karena selama ini antar agama tidak saling mengenal. “Kegiatan ini merupakan upaya agar pemuda dari berbagai latar belakang agama berbeda bisa saling berinteraksi, saling komunikasi, bisa saling mengenal lebih mendalam karakteristik atau perbedaan masing-masing agama,” lanjut Nurcholish.

Dari beberapa kali melaksanakan program kunjungan rumah ibadah seperti ini, Nurcholish melihat para peserta menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. “Setelah mereka memiliki pikiran yang terbuka, yang moderat, mereka bisa menjadi inisiator di basis masing-masing. Mereka bisa menjadi duta perdamaian atau duta toleransi di komunitas masing-masing, lalu di wilayah yang lebih luas,” ujar Nurcholish.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara