Dengan pakaian adat khas Suku Tengger, mereka melakukan pujabhakti dalam tradisi Buddha Jawa Sunyata. Pujabhakti dimulai dengan sesembahan, yaitu mempersembahkan sarana puja; dupa, bunga, dan buah serta aneka sesaji pada Buddha.
Ada sajian menarik di Vesak Festival 2019, Tunjungan Plaza 6, Surabaya Kamis (16/5), yaitu hadirnya 63 umat Buddha Suku Tengger. Mereka hadir langsung dari Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
“Tadi kita mulai dengan melakukan sesembahan, yaitu mempersembahkan dupa, bunga, buah dan sesajian itu adalah hormat kita kepada Buddha, Para Buddha dan Sanghyang. Ini juga yang kita lakukan kalau di Ngadas, kita mempunyai hasil bumi seperti kentang dan sebagainya kita persembahkan sebagai bentuk rasa syukur,” kata Supriyasih (41) salah satu umat Buddha Ngadas kepada BuddhaZine.
Setiap tahap pujabhakti dilakukan dengan penuh makna. Bagi umat Buddha Suku Tengger, sembahyang dimaknai sebagai wujud syukur atas segala berkah yang diterima. “Tadi diawal, kita manembah 7 kali, yang artinya kita bersyukur kepada tuhan atas berkah kesehatan. Selanjutnya, kita tadi juga melakukan penghormatan ke empat arah mata angin; utara, selatan, barat, dan timur,” jelas Mistono, sesepuh umat Buddha Suku Tengger, Ngadas.
“Kita juga bersimpuh kepada bumi. Karena ibu bumi ini yang memberi segalanya, bumi tidak pernah mengeluh ketika kita kasih kotoran, kita injak dan kadang kita rusak. Tetapi lebih dari itu bumi ini yang memberi rezeki kepada kita, seperti yang kita rasakan di Ngadas sendiri.
“Kita menanam kentang, bawang, kubis, dan sebagainya. Kita tanam satu butir biji kentang mungkin bisa berlipat menjadi sepuluh biji kentang. Ini adalah berkah yang telah kita terima, kalau kita tidak merasa syukur dan sungkem kepada bumi ini seperti pepatah jawa ‘sasat kalah karo asu pangartine‘.”
Asu (anjing) kalau kita diberi makan, itu ekornya pasti kibot (bergerak), itu adalah wujud terima kasih asu kepada yang memberi. Lha kalau kita manusia sudah diberi berkah tetapi kalau tidak mau bersyukur, bersujud, sungkem kepada bumi ya seperti itu. ‘sasat kalah karo asu pangertine’,” lanjut Pak Mistono.
Baca juga: Merayakan Waisak 2561 BE/2017 Bersama Suku Tengger
Pakaian adat khas Suku Tengger, pujabhakti memakai bahasa Jawa dengan segala gerakannya menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung Mall Tunjungan Plaza 6, terutama pengunjung Vesak Festival. Wajar saja, banyak pengunjung yang minta foto bersama mereka.
Trah Majapahit
Ngadas merupakan salah satu nama desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini berada di ketinggian 2200 mdpl dengan luas wilayah sekitar 395 hektar. Desa Ngadas terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas. Di Dusun Ngadas inilah tempat bermukim umat Buddha Suku Tengger.
Menurut cerita sesepuh umat Buddha Ngadas, agama Buddha telah ada sejak berdirinya Desa Ngadas tahun 1774. “Leluhur kami, pendiri Desa Ngadas berasal dari Majapahit yang mendirikan desa di hutan rimba pegunungan Tengger. Jadi bisa dikatakan umat Buddha Ngadas telah ada secara turun-temurun sejak tahun 1774,” cerita Pak Mistono.
Saat ini, setidaknya terdapat 229 kepala keluarga dengan 700 jiwa umat Buddha desa Ngadas. Mereka menjalankan ajaran Buddha Jawa Sunyata dengan pedoman kitab Adam Makno. “Dalam kebaktian, sesembahan dan meditasi yang tadi kami lakukan semua ada di kitab ini (sembari menunjukkan kitab kuning yang dimaksud). Ini kitab yang diturunkan oleh Sanghyang Ismaya yang dipercaya sebagai perwujudan Semar,” jelas Supriasih.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara