Aparat kepolisian bergerak cepat mengatasi kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara yang meletus pada Jumat malam (29/7). Polisi menetapkan 12 tersangka untuk dua kasus berbeda pada Senin (1/8). Mereka adalah 4 orang sebagai tersangka perusakan tempat ibadah dan 8 orang tersangka kasus penjarahan. Sedangkan 39 orang diperiksa sebagai saksi.
“Ada enam vihara dan kelenteng yang diserang beberapa ratus warga,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Kombes Rina Sari Ginting seperti dilansir BBC Indonesia. Massa juga membakar 3 mobil, 3 sepeda motor, dan 1 becak motor.
Laporan Beritagar menyebutkan, kini suasana di Tanjung Balai telah kondusif. Garis polisi yang dipasang di lokasi kerusuhan sudah dibuka. Bekas kerusuhan pun telah dibersihkan secara bersama-sama. Meski begitu, aparat gabungan Polri-TNI masih terus berjaga di sekitar lokasi dan sejumlah titik.
“Kami mengapresiasi upaya cepat dan tegas dari Kepolisian RI dalam menangani insiden ini,” ujar Ketua Dewan Pembina Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sudhamek AWS kepada BuddhaZine.
Di tempat terpisah, Kepala Wihara Dharma Bhakti Jakarta, Bhikkhu Saddhanyano mengajak umat Buddha untuk menghadapi masalah ini dengan hati tetap damai.
“Semoga kita semua, umat Buddha senantiasa memiliki kebijaksanaan dan kesabaran yang kuat agar bisa melewati segala masalah dengan damai. Bisa menyikapi masalah dengan hati yang damai,” ajak Bhante Saddhanyano.
“Kita semua adalah pengikut Buddha, bukan penyembah berhala. Artinya kita siap untuk menjadi orang yang sadar, yang bisa membawa kebenaran dan kasih sayang di segala situasi. Tidak mudah terbakar emosi dan tidak terpancing balas dendam,” tambah Bhante.
Ajakan serupa juga dilontarkan oleh Sudhamek. “Ajaran Buddha mengajarkan welas asih kepada umatnya, sehingga peristiwa tragis di Tanjung Balai ini tidak akan menyebabkan umat kami untuk mendendam apalagi ingin balas dendam. Kami percaya akan bekerjanya hukum karma,” tambah Sudhamek.
Namun Sudhamek mengingatkan, tindakan yang terindikasi melanggar hukum harus tetap diproses.
“Dalam konteks hidup bernegara, kita juga diatur dengan berbagai norma yang lain; utamanya norma hukum. Sebagai negara hukum, suatu negara tidak boleh melakukan pembiaran, apalagi kalau itu berupa kejahatan besar,” Sudhamek mengingatkan.
“Semoga kejadian yang memalukan ini tidak terulang lagi di masa depan. Bangsa Indonesia harus bersatu menuju ‘Indonesia Baru yang Maju dan Beradab’. Oleh karena itu kita tidak boleh mudah diadu dan dipecah belah,” tutup Sudhamek.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara