• Sunday, 30 August 2020
  • Surahman Ana
  • 0

Tahun baru Jawa biasa dirayakan oleh masayarakat Jawa pada tanggal satu bulan Suro sesuai dengan penanggalan Jawa. Bulan yang dianggap sakral dan kaya akan makna, sehingga tidak heran jika sebagian besar masyarakat Jawa akan merayakannya dengan berbagai upacara dan ritual. Begitu juga dengan umat Buddha yang ada di daerah-daerah Jawa.

Salah satu contoh tradisi Lebaran Suro yang ada di Dukuh Plukisan, Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo, Boyolali yang dilaksanakan selama tiga hari (21-23/08).

Sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur juga sebagai upaya melestarikan tradisi yang sudah diturunkan dari para pendahulu, umat Buddha Vihara Purwamanggala menjadikan Lebaran Suro sebagai tradisi tahunan. Bahkan sebagian umat melaksanakan tirakat puasa tiga hingga sepuluh hari sebelum tanggal 1 Suro.

Pada malam pergantian tahun Jawa, setelah selesai tirakat, para umat akan memasang altar dan sesaji di rumah masing-masing untuk kemudian berkumpul di vihara melaksanakan pujabakti pergantian tahun. Tradisi malam satu Suro ini biasa lebih dikenal dengan tirakat “melek” atau “lek-lekan”, tidak tidur sampai pagi sebagai tanda memasuki tahun yang baru. Pagi harinya biasanya umat mengadakan syukuran dengan pujabakti dan kendurian ketupat bersama di vihara.

Yang membedakan perayaan tahun baru di Dukuh Plukisan dengan daerah-daerah yang lain adalah perayaan pasca malam pergantian tahun. Layaknya lebaran Idul Fitri bagi saudara-saudara Muslim, umat Buddha Plukisan juga merayakan dengan kunjungan ke rumah-rumah saudara dan tetangga untuk sungkeman. Sungkeman berlangsung selama tiga hari yang sebenarnya adalah acara puncak dari serangkaian tirakat yang telah dilaksanakan sebelumnya.

Untuk mempersiapkan acara sungkeman umat Buddha akan menyediakan berbagai hidangan makanan sebagai jamuan para pengunjung yang mana tidak hanya dari kalangan umat Buddha, tapi semua warga ikut berkunjung.

“Ya kalau yang berkunjung semua warga pasti berkunjung, tapi kalau yang menyediakan berbagai makanan cuma umat Buddha saja. Kalau yang warga umat lain itu istilahnya ikut partisipasi, ikut merayakan dan mempererat persaudaraan dengan berkunjung ke rumah-rumah umat Buddha,” jelas Pak Jumeno, salah satu umat Buddha Dukuh Plukisan.

Bagi umat Buddha Dukuh Plukisan, perayaan Lebaran Suro merupakan wujud rasa syukur atas segala kebaikan yang diterima selama satu tahun yang telah dilalui, di samping itu juga menjadi momen untuk evaluasi diri.

“Memang ini bukan hari besar agama Buddha, tapi ini hari kebesaran orang Jawa. Jadi bagi kita hendaknya bersyukur bahwa dalam satu tahun ini kita diberi keselamatan, diberi rejeki. Lalu kita merenung di pergantian tahun ini, hal apa saja yang telah kita laksanakan selama setahun, supaya menjadi cermin untuk tahun-tahun depannya sehingga kita bisa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” pungkasnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *