• Monday, 7 February 2022
  • Shri Caraka Dharma
  • 0

Dalam tiga puluh syair Vasubandhu kita belajar tentang lima faktor kondisi batin yang membentuk pemikiran manusia. Faktor-faktor ini adalah: kontak, perhatian, persepsi, sensasi, dan kehendak, serta didefinisikan sebagai berikut:

• Kontak: Salah satu organ indra kita – mata, telinga, hidung, mulut, tubuh, pikiran – melakukan kontak dengan objek.
• Perhatian: Fokus perhatian kita tertuju pada objek.
• Persepsi: Kita menetapkan objek dengan nada menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral.
• Sensasi: Persepsi kita berkembang menjadi pikiran atau emosi yang koheren.
• Kehendak: Kita bertindak berdasarkan pikiran/emosi kita dengan membawa lebih banyak perhatian mental ke objek atau melakukan sesuatu dengan tubuh fisik kita.

Perlu dicatat bahwa faktor mental universal tidak linier; faktor mental universal adalah siklus. Dan faktor mental universal berjalan dalam lingkaran di dalam batin kita setiap detik setiap hari.

Misalnya, jika kita melihat foto anggota keluarga (kontak), itu dapat mengalihkan perhatian kita dari apa yang kita lakukan (perhatian). Jika kita baru saja bertengkar dengan orang tersebut, foto tersebut dapat menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan (persepsi), yang mengakibatkan kita merasa marah dan mengulang kembali pertengkaran tersebut dalam pikiran kita (sensasi). Akibat perasaan negatif tersebut, kita mungkin akan menelepon teman untuk mengadukan apa yang terjadi (kehendak).

Lingkaran tak berujung ini tidak buruk, pada hakikatnya. Namun, itu dapat menciptakan masalah bagi kita dan merampas kedamaian batin kita karena pikiran dan emosi kita bergantung pada hal-hal yang terjadi di sekitar kita.

Untuk mengendalikan lima faktor mental universal, kita harus menyadari apa yang terjadi di kepala kita, dan kita harus memiliki objek yang aman untuk memusatkan perhatian kita.

Pengembangan

Dalam agama Buddha, kita mengembangkan penyadaran di sekitar pikiran kita melalui praktik Sadar-penuh Benar, prinsip ketujuh dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketika kita berlatih Sadar-penuh, kita memperhatikan apa yang terjadi dalam pikiran kita alih-alih membiarkan pikiran kita berjalan dengan autopilot.

Untuk lebih jelasnya, kita tidak mencoba mengendalikan pikiran kita—itu tidak mungkin—kita hanya melacak apa adanya. Cara sederhana untuk melakukannya adalah dengan melabeli mereka sebagai menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral. Kita dapat melakukan latihan ini kapan saja, di mana saja, dan saat kita terbiasa dengan kebiasaan melabeli pikiran kita, Sadar-penuh Benar akan menjadi keadaan bawaan kita.

Selanjutnya, kita perlu memiliki objek untuk fokus ketika pikiran kita tidak baik. Siklus lima faktor mental universal memperjelas bahwa apa yang kita perhatikan memiliki efek besar pada pikiran dan emosi kita. Jadi, jika pikiran kita mengarah ke arah negatif, akan sangat membantu jika kita fokus pada sesuatu yang positif.

Satu objek yang sangat baik untuk perhatian kita adalah Amitabha, Buddha Cahaya Tanpa Batas. Amitabha adalah personifikasi dari sifat-dasar tercerahkan kita sendiri dan pengingat kearifan tak terbatas, kasih sayang tak terbatas, dan belas kasih tak terbatas yang membentuk Dharmakaya. Menurut kosmologi buddhis, Amitabha juga merupakan makhluk tercerahkan yang, setelah melihat sifat-dasar dunia yang tercemar, menciptakan tanah kebahagiaan tertinggi, menjanjikan bahwa setiap orang yang berlindung pada-Nya akan terlahir kembali di sana.

Jadi, merenungkan Amitabha dan kualitas-kualitas-Nya menuntun kita untuk memiliki pikiran yang dipenuhi dengan kebaikan dan kemurahan hati. Untuk terlibat dalam refleksi ini, kita hanya perlu merapalkan Sadar-penuh pada Buddha. Ketika kita melakukan ini, pikiran negatif kita terputus dalam waktu yang singkat, dan batin kita menjadi lebih selaras dengan sifat-dasar Buddha kita. Dengan kata lain, kita tidak lagi berpikir seperti makhluk yang tercemar dan lebih seperti Buddha.

Perapalan

Perapalan Sadar-penuh pada Buddha adalah “Namo Amitabha Buddhaya”, yang bermakna “Saya berlindung pada Buddha Amitabha”. Dengan berulang kali merapalkan mantra ini, “Namo Amitabha Buddhaya”, kita membuat keputusan sadar berulang kali untuk membawa perhatian kita pada kualitas positif dari sifat-dasar tercerahkan kita sendiri. Dan kita berpaling dari objek perhatian yang menyebabkan pikiran dan perasaan negatif muncul dalam batin kita.

Dengan cara ini, kita menjadi peserta aktif dalam kebiasaan mental kita, sebagai lawan dari membiarkan lingkungan kita dan kesempatan acak menentukan apa yang terjadi dalam pikiran kita.

Pada contoh sebelumnya, di mana seseorang melihat foto anggota keluarga dan menjadi marah, ia lalu merapalkan “Namo Amitabha Buddhaya,” dan merenungkan kualitas Amitabha selama beberapa menit untuk menenangkan kondisi batinnya.

Jika kemarahan muncul lagi, individu tersebut akan mulai merapalkan mantra lagi. Ia melakukan ini berulang-ulang sampai energi-kebiasaan kemarahan hilang, dan ia mampu melihat foto kerabatnya tanpa timbul pikiran negatif.

Tentu saja, ini tidak hanya berfungsi untuk foto. Setiap kali kita menemukan batin kita dipenuhi dengan pikiran negatif, kita dapat menggunakan praktik Sadar-penuh Benar dan perapalan Sadar-penuh pada Buddha dari Namo Amitabha Buddhaya, untuk membersihkan batin kita dan menyelamatkan diri dari penderitaan.

Sumber: Buddhistdoor/Sensei Alex Kakuyo

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara