• Tuesday, 21 December 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Sebuah buku baru karya Thich Nhat Hanh baru saja dirilis Oktober 2021. Zen and Art of Saving the Planet judulnya, memiliki topik tentang upaya “kebangkitan kolektif” untuk menyelamatkan bumi.

“Kita membutuhkan kebangkitan sejati, pencerahan sejati. Undang-undang dan kebijakan baru tidak cukup. Kita perlu mengubah cara berpikir dan melihat sesuatu,” tulis Thich Nhat Hanh sebagai pengantar bukunya itu.

Senin (6/12/2021) lalu, telah diadakan webinar yang membahas isi buku tersebut. Pembahasnya adalah Sister True Dedication, seorang monastik dari tradisi Plum Village, yang juga merupakan editor dari buku tersebut.

“Buat saya, saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Tapi berkesempatan mengedit ajaran Thay, itu adalah pekerjaan penuh cinta, dan memberikan banyak sukacita dan nutrisi [batin],” terang Sister True Dedication.

Mantan jurnalis BBC ini meneruskan, ada dua hal pokok yang ditawarkan Thay lewat buku tersebut. Yang pertama, dan yang menurutnya wawasan terdalam adalah bagaimana ajaran Buddha bisa membantu kita untuk melihat akar berbagai masalah yang ada di dunia ini. Dan itu bisa diatasi dengan perubahan cara pandang terhadap dunia, yang disertai kesadaran.

“Kita harus mengubah cara pandang kita dalam melihat segala sesuatu,” ujarnya mengutip kata-kata Thay.

Dan dari itu, menurutnya “Sang Jalan” akan terbuka dengan sendirinya. Ini berarti cara kita memandang berbagai masalah di dunia harus didasari fakta akan keberuntungan semua hal yang ada di dunia.

Hal pokok kedua menurut dia adalah bahwa sebagian buku itu mengajarkan cara hidup sehari-hari untuk bisa selaras dengan alam, disertai dengan pemahaman yang utuh.

“[Cara hidup] untuk memupuk kebahagian dengan energi perhatian penuh,” katanya.

Hal penting lain menurut dia terkait dengan Sutra Intan (Vajracchedikā Prajñāpāramitā Sūtra) yang banyak dibahas dalam buku ini, yang menurut Thay adalah teks tertua di dunia yang membahas tentang ekologi secara mendalam.

“Dan sebenarnya, faktanya itu juga dokumen tercetak tertua di dunia,” ungkap Sister.

Ia meneruskan, kitab tersebut mengungkapkan keseluruhan silsilah kebijaksanaan yang berpangkal pada Tri Ratna. Dan lewat usaha para guru Dharma dan leluhur kita di masa lampau, kebijaksanaan untuk menghadapi kerumitan masalah di era modern sudah tersedia.

“Dan tantangan dari Sutra Intan bagi kita adalah untuk mengatasi empat rintangan,” katanya.

Rintangan yang pertama menurut dia adalah kita yakin bahwa kita adalah orang yang terpisah dari yang lain. Ketika kita merasa sedih dan putus asa, seolah itu hanya perasaan seseorang saja. Padahal semua orang dipeluk oleh Ibu Bumi yang sama, merasakan tekanan gravitasi yang sama.

“Kamu bukan diri yang terpisah,” terang dia.

Yang kedua adalah bahwa sebenarnya tidak ada yang bisa dikategorikan sebagai jenis manusia dan makhluk non-manusia. Tapi kita selalu menganggapnya demikan. Maka lahirlah eksploitasi terhadap satwa. Padahal manusia itu sendiri sebenarnya hanya gugusan unsur, termasuk unsur makhluk hidup lain.

“Kita memiliki banyak organisme yang koeksis [dalam tubuh kita],” jelasnya.

Ia meneruskan, rintangan yang ketiga adalah kita terbiasa membedakan benda hidup dan benda mati. Benda yang dianggap bernyawa lazimnya dianggap lebih penting dari batu atau air. Sehingga polusi dan pencemaran atau perusakan lingkungan terjadi di mana-mana.

“Semua atom itu sangat sibuk. Bahkan meja itupun tidak statis. Ketika kita melihat hal itu, kita bisa melihat kehidupan di mana itu mungkin lebih sulit dilihat, dan itu memungkinkan hati kita terbuka dengan welas asih,” tuturnya.

Rintangan keempat berdasar Sutra Intan menurutnya adalah kita terbiasa terjebak dalam konsep rentang hidup, ada seseorang yang mengalami masa dari muda menjadi tua. Ini sangat penting terkait krisis ekologi, karena membuat kita berpikir bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan masalah krisis dunia yang skalanya besar. Muncul anggapan bahwa krisis itu sudah bawaan dari nenek moyang kita, dan akan terus ada sesudah kita mati.

“Dan ini saatnya kita mendalami wilayah Dharma yang mendalam dan menarik. Sebenarnya seperti ini, dan kita menjelajahi ide ini di buku: Kita akan berpartisipasi di masa depan di planet kita. Dan kita telah berpartisipasi di masa lampau, karena kita masing-masing adalah keberlanjutan dari leluhur kita. Kita adalah manifestasi dari saat ini, dari masa lampau, dan kita akan berpartisipasi di masa depan, dalam wujud baru. Akibat karma dari tubuh ucapan masa kini, akan dibawa ke masa depan.”

“Jadi kita tidak bisa mengatakan kita tidak berhubungan dengan masa lalu, dan kita tidak berhubungan dengan masa depan,” jelas dia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara