• Wednesday, 19 December 2018
  • Ngasiran
  • 0

Menurut data PT. Taman Wisata Candi (TWC) pada bulan Agustus 2018 setidaknya Candi Borobudur dikunjungi oleh 600 – 700 wisatawan setiap hari. Pertanyaannya, apakah para wisatawan mendapat manfaat dari kunjungannya ke Candi Borobudur? Apakah mereka memahami nilai dan ajaran yang terkandung pada setiap relief yang terukir di dinding-dinding candi? Atau hanya sekadar plesir untuk foto selfi?

Tanpa mengerti nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya, berkunjung ke Candi Borobudur tidak memiliki banyak arti, hanya melihat batu-batuan terukir. Padahal lebih dari itu, Candi Borobudur adalah monumen Buddhis sarat makna yang berisi nilai-nilai ajaran, bukan sekadar batu berhias tinggalan arkeologis.

Dalam makalah Candi Borobudur, Gandawyuha Kawedhar, Salim Lee, yang telah meneliti dan menerjemahkan teks Sutra-sutra terukir Candi Borobudur secara lengkap memaparkan dengan utuh maksud dan tujuan nenek moyang Nusantara membangun Candi Borobudur.

“Dibangunnya Borobudur bertujuan untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan, memberi harga untuk hidup yang bermakna dan mewujudkan masyarakat yang bertoleransi, damai, dan sejahtera,” tulis Salim Lee.

Upaya memahami nilai

Candi Borobudur merupakan warisan tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Karena itu wajib untuk dilestarikan, meskipun begitu Candi Borobudur adalah bangunan fisik yang pasti akan mengalami kelapukan, sesuai hukum alam. Sekeras apa pun manusia berusaha untuk melestarikan candinya, sedikit demi sedikit candi itu akan aus, lama-lama kita akan kehilangan candi itu.

“Karena itu, kita harus melestarikan nilai-nilai dan ajaran dari Borobudur itu. Jadi nanti ketika candinya sudah tidak ada, cerita, nilai dan ajarannya masih ada,” tutur Salim Lee, saat menjelaskan suntingan sutra-sutra Candi Borobudur dalam acara Borobudur Writers & Culture Festival 2018.

Tak hanya menjelaskan melalui ceramah umum, Om Salim juga mengajak para peserta Borobudur Writers & Culture Festival membaca Relief Borobudur In Situ. Jumat (23/11) sejak pukul 05.00, Om Salim mengajak lebih dari 50’an orang menelusuri dan membaca panel-panel relief Borobudur.

“Hampir semua monumen Buddhis kalau ada arahnya selalu dimulai dari pintu timur. Begitu juga dengan Candi Borobudur, semua ukiran dimulai dari pintu timur ini, kemudian jalan dengan bahu kanan mendekati obyek, ini hanya kebiasaan saat pradaksina saja. Begitu kita masuk nanti ukir-ukirannya selalu dimulai dari pintu timur, lalu belok ke kiri,” terang Om Salim sebelum naik ke candi.

“Paling bawah Candi Borobudur berbicara mengenai jangan sia-siakan hidup ini, sadar setiap saat, hadir saat ini. Karmavibhangga ini mengatakan kita masih punya pilihan, meskipun yang kita alami sekarang, situasi kita kini dipengaruhi oleh masa lalu, dipengaruhi oleh tindakan-tindakan kita, lingkungan dan sebagainya. Tetapi Karmavibhangga selalu mengingatkan kita ‘masih punya kesempatan merubah walaupun kecil. Kecil ini karena kita selalu diliputi oleh kebiasaan-kebiasaan kita, misalnya kebiasaan iri hati, ini kan aneh kan melihat orang senang kok kita nggak senang.

“Contoh lain kita punya kebiasaan yang tidak pernah merasa berkecukupan. Dalam Buddhadharma disebut tanha atau kilesa. Marah misalnya, meskipun kita tau bahwa marah itu merugikan orang, kita tetap melakukannya, nggak peduli siapa yang kita semprot, kita hanya ingin meluapkan kemarahan tetapi setelah itu timbul penyesalan,” jelasnya.

Baca juga: Bahasa Apa yang Digunakan Buddha untuk Membabarkan Dharma?

Naik ke lantai atas, Om Salim menunjuk tiga panel relief Sasa Jataka. “3 panel ini saya senang sekali. Ini cerita Jataka Kelinci. Diceritakan saat itu di hutan ada 4 sekawan; kelinci, berang-berang, rubah dan kera. Diceritakan di hutan ini siklus kehidupan berjalan sesuai alam, hujan tepat pada waktunya, karena ada 4 sekawan ini yang selalu murah hati dan saling bantu membantu.

“Mendengar itu, Bhatara Indra pengen ngetes seberapa murah hati sih binatang-binatang ini. Kemudian Bhatara Indra ini menyamar menjadi seorang brahmana. Dikatakan di sana kalau ada brahmana harus dikasih sesuatu. Brahmana ini ngomong ‘saya lapar’ mendengar itu, berang-berang yang mempunyai 7 ikan langsung dipersembahkan kepada brahmana, kera memberi mangga, rubah memberi semangkok yogurt. Tetapi kelinci karena makan rumput, tidak mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan kepada Brahmana.

“Jadi dia minta brahmana tersebut untuk membuat api unggun, setelah api menyala, si kelinci melompat. Dia bilang kamu makan saya saja, karena saya tidak punya apa-apa. Melihat kejadian itu, Bhatara Indra kaget dan dikatakan seketika itu saja apinya padam tetapi kelinci tetap meninggal. Kemudian Dewa mengambil tubuh kelinci yang sudah terbakar, dan dibawa ke atas, diabadikan di bulan. Jadi ini cerita kelinci yang ada di bulan,” canda Om Salim.

“Tetapi luar biasa kan,” lanjut Om Salim, “ketika saya mengatakan kelinci meloncat ke api unggun kalian bilang ‘ahhh’. Tetapi kamu coba bayangkan bagaimana ya kalau hidup ini punya sikap seperti itu. Saya rasa kok hidup ini akan daimai dan serba kecukupan. Inilah tujuannya dibangun Borobudur, untuk memberi contoh kepada kita,” Pungkas Om Salim.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara