• Monday, 24 August 2020
  • Ngasiran
  • 0

Lambatnya penanganan temuan benda cagar budaya bisa berakibat fatal. Ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya nilai benda cagar budaya terkadang bisa bertindak seenaknya. Mengambil, memindah, bahkan tak jarang melakukan tindakan yang bisa mengakibatkan kerusakan pada benda cagar budaya.

Kalau saja Yosi Ancah Cahyono (29) datang terlambat, sebuah temuan benda cagar budaya mungkin sudah tertimbun pondasi pagar. Siang itu Sabtu (23/08/2020), Yosi bersama tim ekspedisi membaca prasasti BuddhaZine sedang melakukan blusukan mengunjungi beberapa temuan stupa di Desa Nepen, Kec. Teras, Kab. Boyolali, Jawa Tengah.

“Tanggal 4 Agustus lalu, Bu Ika dan Bapak Yopie dari Semarang blusukan di Nepen. Mereka memberi informasi kalau di sini (desa Nepen) terdapat beberapa temuan stupa yang tersebar di beberapa titik. Setelah tadi kita muter-muter dan menemukan lapik stupa yang di kebun singkong tadi, saya ingat masih ada stupa lain,” kata Yosi.

Saat anggota tim ekspedisi yang lain sedang memotret dan melakukan pendataan beberapa bagian stupa yang tersebar, Yosi melakukan pencarian sendiri. Ia berjalan menelusuri rumah, pekarangan, perkebunan, bahkan makam desa. Setelah beberapa saat ia mendengar kerumunan warga yang sedang membangun pondasi rumah.

“Saya tanya ke mereka kemudian ditunjukkan sebuah batu yang ternyata bagian stupa yang terbalik,” lanjut Yosi. Sebagai orang yang berpengalaman dalam penanganan benda cagar budaya, Yosi langsung bergerak cepat. Ia melakukan negosiasi dengan si pemilik lahan supaya benda itu tidak terpondasi. Ia menjelaskan sejarah kemungkinan batu kuna itu berasal, dan juga beberapa resiko bila sampai benda diduga cagar budaya itu rusak.

“Awalnya mereka memang keberatan karena pesan dari orang tuanya tidak boleh mengotak-atik benda itu. Mereka takut kualat. Namun setelah dijelaskan mereka terima, asalkan tidak dipindah dan hanya digeser ke pekarangan mereka,” jelas laki-laki yang kini bekerja sebagai juru pugar Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah itu.

Batu yang diduga benda cagar budaya itu adalah prasadha, bagian tengah stupa. Menurut Yosi, biasanya stupa memiliki beberapa bagian, pertama lapik segi empat, prasadha, yasti, dan chattra. Prasadha memiliki beberapa bagian yaitu, lapik segi delapan, anda/gatha, dan hamika. Setelah dilakukan pengukuran, lapik segi delapan memiliki diameter 124 cm, panjang keseluruhan benda 63 cm.

Tindakan darurat

Benda cagar budaya merupakan benda yang memiliki nilai kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arekeologi, tetapi penting juga sebagai analisis antropologi, yaitu melihat kaitan antara benda cagar budaya dengan kebudayaan saat ini. Karena itu, untuk melakukan tindakan atas temuan benda yang diduga sebagai benda cagar budaya tidak bisa sembarangan. Ada beberapa prosedur yang harus dilalui.

Dalam situasi normal, seseorang atau kelompok yang menemukan benda cagar budaya harus membuat laporan kepada pemerintah setempat (desa), kemudian desa melaporkan ke dinas kebudayaan (kabupaten), selanjutnya dinas kabupaten lapor ke BPCB setempat. Mendapat laporan itu, baik BPCB maupun dinas kebudayaan kabupaten menurunkan tim untuk mengkaji temuan benda cagar budaya. Hasil kajian itu baru menjadi sebuah kajian.

“Dalam keadaan darurat seperti kemarin (pagar tembok akan segera dipasang), dan kondisi benda relatif tidak in situ setelah koodirnasi dengan bagian perlindungan BPCB, maka diadakan penggeseran letak benda obyek diduga cagar budaya sehingga tidak mengenai pondasi pagar. Ini tahap administrasi,” jelas Goenawan A. Sambodo, arkeolog dan ahli aksara Jawa Kuna, pembimbing BuddhaZine dalam melakukan ekspedisi.

Tahap kedua adalah mengukur dalam kondisi asli (sebelum dipindah, membuat gambar sketsa benda, pemotretan benda sebelum digeser, proses penggeseran dimulai, selama proses penggeseran harus didokumentasikan dengan foto dan video. “Posisi terakhir benda kemudian difoto dan diukur sebagai bahan laporan. Laporan itu kemudian diberikan kepada BPCB dengan tembusan kepala dinas setempat,” jelas Goenawan A. Sambodo memberikan prosedur selama penggeseran.

Setelah melalui tahap administrasi, tim ekspedisi yang berjumlah 7 orang melakukan tindakan penggeseran. Dengan alat seadanya, para tim bahu membahu menggali tanah yang menimbun prasadha itu. Besaran batu dan kondisi tanah yang keras membuat pekerjaan itu berjalan lambat. Bahkan hingga malam tiba, prasadha itu belum bisa digeser sempurna.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara