• Friday, 2 October 2020
  • Hartini
  • 0

Berbicara dalam pertemuan dengan para pemimpin Buddhis pada minggu lalu, Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in meminta dukungan yang berkelanjutan dari komunitas Buddhis Korea Selatan dalam upaya untuk membuka jalan bagi pembicaraan dan dialog lebih lanjut dengan Korea Utara untuk meningkatkan jalan menuju perdamaian di Semenanjung Korea dan kemungkinan penyatuan kembali.

Moon menekankan bahwa agama Buddha telah sejak lama menjadi pendukung kunci yang membantu Korea Selatan dalam mengatasi kesulitan yang tak terhitung banyaknya, dan beliau menyatakan keyakinan bahwa jalan menuju perdamaian dan penyatuan kembali tetap terbuka selama masih ada harapan bagi dialog lanjutan dengan Pyongyang.

“Agama Buddha telah menjadi sumber kekuatan yang membantu Korea menanggung semua cobaan (kehidupannya) selama lebih dari 1,700 tahun,” ujar Moon. “Agama Buddha selalu ada untuk mendampingi mereka yang berjuang demi pertahanan, kemerdekaan, demokrasi, serta perdamaian, negara kami. Saya harap komunitas Buddhis akan tetap terus menggabungkan kekuatan untuk bersama-sama membuka sebuah jalan menuju perundingan antar-sesama-Korea (inter-Korea) dan meningkatkan perdamaian di Semenanjung Korea.”

Moon berbicara pada para pemimpin Buddhis pada tanggal 18 September di kediaman resmi Beliau, Cheong Wa Dae – yang secara tidak resmi dikenal sebagai Rumah Biru – pada malam peringatan dua tahunan Persetujuan Puncak Pyongyang (antara) Moon dengan Korea Utara.

“Pada tahun 2018, Pemimpin Kim Jong-Un dan saya telah mendeklarasikan pada 80 juta rakyat Korea dan dunia bahwa kita akan bergerak maju menuju perdamaian Semenanjung Korea,” kenang Moon. “Komunitas Buddhis menyelenggarakan sebuah kebaktian istimewa untuk berdoa demi perdamaian dan kestabilan Semenanjung yang selanjutnya mengantar pada Puncak Pertemuan inter-Korea. Sebagaimana yang anda lakukan pada tahun 2019, tahun ini komunitas anda sekali lagi kembali berdoa demi penyatuan yang damai.”

Tiga pertemuan tingkat tinggi inter-Korea yang bersejarah diselenggarakan pada tahun 2018, yang puncaknya adalah pertemuan-tiga-hari di Pyongyang, antara Presiden Moon dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada tanggal 18 – 20 September 2018.

Agenda utama pertemuan tersebut adalah untuk mencari sebuah terobosan bagi pembicaraan yang mandeg dengan Amerika Serikat serta sebuah strategi untuk membersihkan nuklir (denuclearization) dari Semenanjung Korea. Sebuah Persetujuan, yang disebut Pernyataan Bersama Pyongyang (Pyongyang Joint Declaration) pada September 2018, telah ditandatangani bersama oleh Moon dan Kim pada tanggal 19 September.

Dalam pertemuan yang pertama dari ketiga pertemuan tersebut, yang diselenggarakan di Wilayah Keamanan Bersama Panmunjom, pada tanggal 27 April 2018, Moon dan Kim mengadopsi Pernyataan Bersama Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran, dan Penyatuan Semenanjung Korea, dalam mana kedua pemimpin mengukuhkan komitmen mereka untuk membersihkan nuklir dan menyatakan sebuah harapan untuk membawa suatu penghentian secara resmi, atas kekerasan yang telah berlangsung lama.

Semenjak penandatanganan Persetujuan Gencatan Senjata Korea di Panmunjom pada tangggal 27 Juli 1953, kedua Korea secara resmi masih tetap dalam kondisi berperang, tetapi Moon dan Kim setuju untuk selanjutnya merubah Persetujuan Gencatan Senjata menjadi sebuah traktat perdamaian penuh pada 2018, untuk secara resmi mengakhiri Perang Korea setelah 65 tahun.

Pembicaraan lebih lanjut tentang masalah ini belakangan dibatalkan oleh Kim, dengan menyalahkan latihan militer Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Pada pertemuan puncak yang kedua, yang digelar pada tanggal 26 Mei 2018 di Panmunjom, Moon dan Kim bertemu selama dua jam, dalammana kedua pemimpin setuju untuk mempercepat penerapan Deklarasi Panmunjom.

“Jika (kita) tidak putus asa untuk mengadakan pertemuan dan dialog, kita pasti akan bergerak maju dalam jalan menuju perdamaian dan penyatuan,” Moon memberitahu para pemimpin Buddhis yang berkumpul minggu lalu.

Sumber : president.go.kr

Presiden Korea Selatan juga menyatakan penghargaan terhadap komunitas Buddhis atas kerja samanya mendukung kampanye pemerintah melawan wabah pandemik SARS-CoV-2 novel virus corona.

Moon mencatat bahwa komunitas Buddhis Korea telah menghentikan kebaktian agama reguler dan sebelumnya bahkan membatalkan Festival Lentera Teratai tahunan yang termasyhur pada tahun ini, untuk yang pertama kalinya dalam 40 tahun, dengan mengabaikan kesinambungan arus dalam melaksanakan festival bersejarah, yang memiliki sejarah yang bisa ditarik kilas balik hingga lebih dari 1,200 tahun yang lalu pada periode Silla (kerajaan) kuno Korea (신라) (57 SM – 935 M), yang oleh UNESCO secara resmi dituliskan sebagai Warisan Budaya Bersejarah yang Sangat Luhur.

“Semangat welas asih dan saling menguntungkan sebagaimana dipraktekkan oleh agama Buddha telah lama merasuki hati rakyat kami,” tegas Moon. “Saat memerangi COVID-19, kami sampai pada kesadaran lebih mendalam tentang kenyataan bahwa kita semua saling terhubung satu sama lain. Kami juga telah mendasarkan tanggapan Korea terhadap COVID-19 pada niat baik untuk peduli dan merangkul (negara) tetangga kita. Hal ini tidak berbeda dengan ajaran agama Buddha: ‘Karena semua makhluk hidup sakit, maka saya sakit.”

Pada saat penulisan (artikel) pada tanggal 25 September, pemerintah Korea Selatan, yang merupakan salah satu dari yang tercepat dalam bereaksi untuk menahan laju pembludakan (penularan) lokal, telah melaporkan 23,455 kasus positif COVID-!9 dan 395 kematian, dengan 20,978 orang dilaporkan telah pulih.

Moon meminta kesinambungan dukungan komunitas Buddhis terhadap upaya nasional untuk mengeliminir COVID-19, yang digambarkannya sebagai, telah berubah menjadi “pertarungan berkepanjangan” yang tanpa akhir yang bisa dilihat.

Menurut data sensus pada tahun 2015, mayoritas populasi Korea Selatan – 56,1 persen – tidak menganut keyakinan agama tertentu. Agama Kristiani membentuk segmen beragama yang terbesar pada 27,6 % dari populasi, sementara agama Buddha pada kisaran 15,5%.

Sementara statistik resmi untuk Korea Utara tidak diketahui, Pusat Riset Pew yang berpusat di Washington, DC, memperkirakan bahwa 71% masyarakat Korea Utara tidak menganut keyakinan agama tertentu, sementara agama “Lain-lain” terhitung 12,9%, kepercayaan rakyat 12,3%, Kristiani 2%, dan Buddhis 1,5%.

Sumber: Craig Lewis/Buddhistdoor.net

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara