• Thursday, 26 September 2019
  • Deny Hermawan
  • 0

Sebuah wihara di Thailand telah berhasil mengatasi masalah botol plastik yang cukup banyak. Caranya sangat “suci”, dengan mengubahnya menjadi jubah baru untuk para bhikkhu.

“Jangan berpikir bahwa masalah sampah tidak dapat diselesaikan. Buddha mengajarkan kita bahwa selalu ada solusi untuk setiap masalah,” kata Wakil Kepala Wihara (Wat) Chak Daeng, Phra Maha Pranom Dhammalangkaro, seperti diberitakan khaosodenglish.com, belum lama ini.

Wihara itu mengelola kampanye yang meminta sumbangan botol plastik, yang lalu diproses menjadi serat sintetis dan digunakan untuk membuat jubah. Sangat efektif hasilnya. Sejak tahun lalu saja, aksi daur ulang ini telah mereduksi 40 ton sampah plastik.

Mereka yang mengunjungi wihara tersebut mungkin dapat dengan mudah keliru menganggapnya sebagai pabrik pengolahan limbah. Sebab di sana terdapat para relawan yang memilah sampah di gudang besar. Sementara di tempat lain bhikkhu menuangkan limbah makanan ke dalam mesin kompos untuk membuat pupuk organik dan biogas. Keributan pengolahan botol plastik di sana lebih dominan daripada paritta yang dilantunkan para bhikkhu.

Proyek daur ulang ini dimulai lebih dari satu dekade lalu pada tahun 2005, dipelopori oleh Phra Maha Pranom. Biarawan itu tidak pernah menerima pendidikan formal dalam sains, tetapi limbah plastik yang menumpuk di tepi sungai memicu hasratnya untuk melakukan pengelolaan limbah, dan akhirnya memunculkan gagasan untuk membuat jubah daur ulang.

Sebagai seorang guru studi Buddhis, ia juga mengaku terinspirasi oleh ajaran agama dan kitab suci, yang menggambarkan beberapa tugas wihara yang mirip dengan praktik daur ulang zaman modern.

“Buddha telah menjadi panutan untuk daur ulang. Kanon Buddha berkata bahwa dia membuat jubah dari kain yang dibuang dari tumpukan sampah dan jenazah, yang kemudian dia bersihkan dan dijahit menjadi jubah,” kata Phra Maha Pranom.

“Bahkan ketika kain itu menjadi tua, Buddha akan menggunakannya sebagai kasur. Ketika kasur menjadi tua, dia akan menggunakannya sebagai alas lantai. Dia telah memberikan contoh bagi para pengikutnya untuk melihat seberapa banyak penggunaan yang dapat mereka lakukan dari selembar kain,” tambah wakil kepala wihara itu.

Phra Maha Pranom awalnya memulai proses daur ulangnya dengan mencoba mengekstraksi minyak dari botol plastik dalam proses yang disebut pirolisis. Dalam proses ini, plastik dipanaskan dalam ruang hampa untuk mengekstraksi minyak. Namun, ia meninggalkan proses itu karena dua puluh kilogram plastik hanya untuk menghasilkan kurang dari satu liter minyak.

Akhirnya, ia berjumpa dengan Yayasan Royal Chaipattana yang sudah berhasil membuat kemeja dari botol plastik. Dari situ ia belajar menerapkan teknologi yang ada untuk membuat jubah menggunakan plastik.

Setelah tiga tahun uji coba dan kolaborasi dengan perusahaan kimia, set pertama “jubah daur ulang” diluncurkan pada tahun 2018. Bhante Phra Maha Pranom mengklaim bahwa tekstur kain yang dihasilkan tidak sekasar kantong plastik, namun lembut dan halus seperti sutra. Jubah juga memiliki sifat anti-bau karena dijahit dengan untaian seng poliester antibakteri.

Namun, prosesnya sangat teliti dan padat karya. Hanya botol yang terbuat dari polyethylene terephthalate (PET) yang dapat digunakan. Mereka dikirim ke pabrik, di mana mesin merobek-robek plastik, sementara yang lain mengeluarkan benang poliester. Benang dicampur dengan kapas dan untaian antibakteri untuk membuat kain, sebelum dicelupkan ke pewarna kunyit.

Pabrik kemudian menjual kain itu kembali ke kuil, di mana sekelompok relawan lainnya memotong dan menjahit jubah. Sepotong jubah mengkonsumsi 15 botol plastik. Satu set jubah bhikkhu lengkap membutuhkan empat potong jubah, atau 60 botol plastik.

Seperti banyak “produk hijau” lainnya, harga jubah daur ulang lebih tinggi. Satu set “jubah daur ulang” dijual seharga 5.000 baht (sekitar Rp 2,3 juta) dibandingkan dengan 3.000 baht (sekitar Rp 1,3 juta) untuk satu set jubah biasa.

Selain melestarikan lingkungan, prakarsa ini menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat dan menghasilkan pendapatan untuk wihara juga. Phra Maha Pranom juga berharap untuk bisa mendirikan pusat konservasi bersama dengan lembaga studi Buddhis.

“Plastik itu tidak jelek. Jangan biarkan bias (pikiranmu) menmbingungkanmu. Plastik itu seperti energi nuklir, yang memberi manfaat luar biasa bagi umat manusia, tetapi juga bisa melenyapkan peradaban kita. Plastik membutuhkan waktu untuk terurai, tetapi juga dapat digunakan kembali untuk banyak tujuan,” tambah Phra Maha Pranom.

Selain botol plastik, Wat Chak Daeng juga memproses jenis limbah lainnya termasuk kantong plastik, karton minuman, botol kaca, styrofoam, kertas, dan kaleng aluminium.

Apakah wihara-wihara di Indonesia ada yang mau membuat proyek daur ulang semacam ini?

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara