• Monday, 22 June 2020
  • Deny Hermawan
  • 0

Di atas bukit yang dipenuhi tanaman tomat, ubi, dan kol itu terdapat cungkup yang sederhana. Di dalamnya, tiga buah nisan dengan sisa-sisa pembakaran dupa, sedikit kelopak mawar layu, dan beberapa puntung rokok. Tiap hari Jumat Pahing atau pada bulan Suro, bulan pertama penanggalan Jawa, banyak peziarah berdatangan ke sini. Tak hanya warga setempat yang datang berziarah, namun juga dari luar daerah.

“Ini makam punden kami, Mbah Windusono, Mbah Doko, dan Mbah Gemplo,” kata Muhamad Rasidi, warga Dusun Windusabrang, Wonolelo, Magelang, Jawa Tengah, juru kunci makam tersebut kepada BuddhaZine, Minggu 14 Juni 2020.

Menurutnya, mereka yang datang biasanya punya suatu permintaan. Pasalnya, Mbah atau Ki Ajar Windusono adalah sosok yang dikenal memiliki pengaruh besar di wilayah itu.

Sang tokoh diyakini hidup pada sekitar abad ke-18 dan tinggal di Dusun Windusabrang, yang terletak di lereng barat daya Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Namun ia mengaku tak terlalu paham akan riwayat Ki Ajar. Rasidi sendiri baru 11 tahun menjabat sebagai juru kunci, menggantikan ayahnya yang sudah meninggal.

“Yang datang ke sini boleh berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Bisa berdoa sendiri atau lewat saya. Syarat utamanya kalau ada keinginan ya membawa rokok kretek,” jelas Rasidi yang bekerja sebagai petani di sekitar makam, sambil menyebut beberapa merk rokok kretek ndeso.

Rupanya memang ada narasi lain terkait Ki Ajar Windusono, tokoh yang dikenal sebagai pemilik perpustakaan pribadi naskah-naskah kuno Merapi-Merbabu, koleksi naskah yang sebagian besar berisi ajaran spiritual sebelum Islam menjadi kepercayaan mayoritas di Jawa.

Saat Islam ekspansi mulai masuk Jawa Tengah, Windusono menyingkir ke lereng barat Gunung Merbabu bersama seribu naskah, yang lambat lain menyusut menjadi 400 naskah. Tahun 1822, keberadaan koleksi naskah ini ditemukan Belanda, dan sekitar tahun 1852 sudah diboyong ke Batavia.

Menurut warga Dusun Windusabrang, Ki Ajar Windusono dimakamkan di sini. Makam Windusono, atau yang lebih familiar disebut sebagai Makam Ki Ajar berada di atas bukit di barat laut dusun.

Kisah ini berbeda dengan narasi warga Desa Kedakan, Kecamatan Pakis, Magelang, yang meyakini Windusono dimakamkan di sana. Begitu juga dengan perpustakaan pribadinya tempat menyimpan lontar, warga Windusabrang meyakini itu dahulu ada di wilayahnya. Dua wilayah di lereng Merbabu yang terpaut jarak sekitar 21 kilometer memiliki narasi dan situs sejarahnya masing-masing terkait Windusono.

Sayang, hingga kini belum ditemukan catatan sejarah yang akurat dan lengkap tentang sosok Panembahan Ki Ajar Windusono. Naskah Darma-Patanjala koleksi pribadi Schoemann [seorang Jerman yang tinggal di Hindia Belanda dari 1845 sampai 1851] menyebut, bahwa Windusono memang mengungsi ke lereng Merbabu dengan membawa 1000 kitab, karena Islam sudah mendesak agama Brahma dan Buddha di Jawa Tengah. Pada tahun 1851, diperkirakan naskah Budo koleksi Windusono sudah berusia sekitar 400 tahun.

Menurut analisis direksi Bataviaasch Genootschap, disebutkan bahwa penulis naskah-naskah lontar Budo tersebut bukan muslim, karena berisi pengertian-pengertian agama India, hampir sama dengan di Bali.

Bahasanya sangat dekat dengan bahasa karya sastra Kawi di Bali. Semua naskah disusun dalam prosa, dan isinya kebanyakan bersifat keagamaan, terutama agama Brahmana. Namun konsep-konsep Buddhis juga ada di dalamnya.

Mendiang Romo Dr. Ignatius Kuntara Wiryamartana SJ yang pernah melakukan penelitian menyebut bahwa Windusono itu adalah seorang Ki Ajar. Patut diketahui, Ki Ajar adalah cendekiawan dan guru spiritual di Jawa jaman dahulu, yang mampu menularkan ilmunya lewat institusi pendidikan yang ia bentuk sendiri.

Ki Ajar Windusono diyakini Romo Kuntara sebagai seorang spiritualis yang mahir bertani, mengolah tanahnya, dan memelihara lingkungannya. Jadi, bisa dikatakan ia petani sekaligus penulis serat kuno di daun lontar.

Kisah menurut warga Windusabrang

Terkait tokoh ini, masyarakat Dusun Windusabrang memiliki kepercayaan sendiri, meski hanya orang-orang tertentu saja yang paham. Diyakini, Windusono adalah seorang pengembara.

Bersama empat rekan lainnya yakni Doko, Gemplo, Mriyem Saribenik, dan seorang lelaki yang tak dikenal namanya, mereka berkumpul dan menetap di sekitar lereng Merapi-Merbabu, di daerah yang kemudian dikenal sebagai Dusun Windusabrang.

Menurut cerita, empat pengembara laki-laki dan seorang perempuan itu berasal dari daerah berbeda-beda. Windusono berasal dari Nglangonharjo, Klaten, Jawa Tengah. Doko dan Gemplo dari Solo, Jawa Tengah, dan lereng Gunung Kawi, Jawa Timur.

Sementara Mriyem Saribenik datang dari lereng Gunung Tidar, dan laki-laki yang tak diketahui namanya berasal dari lereng Merbabu. Menurut tradisi tutur setempat, dipercayai Windusono, Doko, dan Gemplo memilih hidup melajang.

Mriyem Saribenik akhirnya menikah dengan lelaki yang tak dikenal namanya itu. Makam Mriyem Saribenik dan suaminya berada di makam dusun. Terpisah beberapa ratus meter dari makam Windusono, Doko dan Gemplo, yang lebih sukar dijangkau dan hanya berisi tiga nisan saja.

Harus diakui, sosok Windusono ini menyimpan banyak misteri. Salah satunya terkait dari mana ia memperoleh/mengumpulkan lontar itu. Kolofon-kolofon naskah itu menyebutkan banyak nama desa di wilayah Merapi-Merbabu sebagai tempat penyalinan naskah tersebut. Angka tahun penulisan disebut dalam kolofon yang meliputi rentang tiga abad yakni dari awal abad ke-16 sampai akhir abad ke-18.

Menurut Romo Kuntara, koleksi manuskrip Windusono sangat lengkap. Ada kakawin, primbon, tutur, kretabasa, sampai kidung. Cukup banyak mantra-mantra ruwatnya. Juga ada berbagai rajah atau lambang aneh dan khas yang tidak ada dalam khazanah naskah Jawa lain. Contohnya ikon atau bentuk wayang yang tak bisa diidentifikasi tokohnya.

Tema-tema kidung bervariasi, mulai dari uraian asal-usul manusia, penciptaan jagat raya, sampai perjalanan mencari kesempurnaan hidup seperti Kidung Subrata. Koleksi primbonnya pun lengkap, dari primbon penyakit sampai primbon gempa.

“Ada lontar yang mengisahkan perjalanan roh seperti Tibetan Book of the Dead,” kata Kuntara seperti dilansir Majalah Tempo edisi 23 Mei 2005.

Kaitan dengan Sastra Kraton Surakarta

Pelacakan Romo Kuntara terhadap teks Arjunawiwaha menghasilkan kesimpulan bahwa teks-teks lereng Merapi-Merbabu ini juga diserap oleh kalangan pujangga istana Surakarta. Pada abad ke-18 sampai ke-19 terdapat banyak terjemahan, saduran, dan gubahan Arjunawiwaha di lingkungan Kraton Surakarta.

Kuntara berkesimpulan bahwa serat terkenal Wiwoho Jarwo karya Pakubuwono III yang ditulis tahun 1778 bertolak dari naskah Arjunawiwaha versi Merapi-Merbabu. Romo Kuntara menduga terdapat koneksi antara para ajar di pegunungan di lereng Merapi-Merbabu dengan istana Kartasura, sebelum bergeser ke Surakarta.

“Punika haksara buda hingkang kahangge para hajar-ajar hing redi..” Ini aksara buda yang digunakan oleh para ajar di pegunungan, begitu tulis Ronggowarsito [pujangga Kasunanan Surakarta], seperti pernah dikutip ahli sastra Indonesia kuno, Poerbatjaraka.

Dijadikannya karya-karya lereng Merapi-Merbabu sebagai rujukan istana menandakan bahwa karya “wong ndeso nggunung” itu bukanlah karya sembarangan. “Mayoritas bertema olah batin, perihal tapa brata,” tegas Romo Kuntara.

Naskah yang tersebar

Dalam penelitiannya, Romo Kuntara Wiryamartana menyebutkan berbagai lokasi di lereng Merapi-Merbabu tempat ditemukannya sejumlah salinan naskah.

Di antaranya Ngadoman, Kopeng, Sumogawe, Sokowolu, Suroteleng, Rogobelah, Cangkol, dan Wonoganggu. Bijdragen, sebuah jurnal linguistik dan antropologi berbahasa Belanda, pernah menerbitkan tulisan tentang peta lokasi sebaran naskah kuno lereng Merapi-Merbabu.

Misalnya, dalam jurnal itu disebutkan Dusun Temulor dan Temukidul. Di kedua dusun di lereng utara Gunung Merbabu itu ditemukan salinan naskah yang memuat teks Kakawin Arjunawiwaha. Naskah serupa juga ditemukan di daerah Rabut Pekik, sebuah lokasi di lereng barat Gunung Merbabu.

Namun nama tempat Rabut Pekik dalam kolofon naskah itu belum dapat diidentifikasi. Lantas ada juga salinan naskah berisi teks Wiwaha Kawi. Salinan naskah itu ditemukan di Ketep, sebuah desa di antara Merapi dan Merbabu, yang kini menjadi kawasan wisata kondang.

Jadi, naskah-naskah itu ternyata tak hanya terkumpul di satu tempat saja. Berbagai naskah kuno daun lontar itu juga menyebar di sejumlah tempat di lereng Merapi-Merbabu. Kini, bila kita bertandang ke Dusun Windusabrang, tak tersimpan informasi di mana dahulu koleksi naskah itu berada.

Catatan Belanda menyebut Panembahan Windusono meninggal sebelum tahun 1759. Dan setelah ia tutup usia, tidak ada lagi penambahan naskah lontar Merapi-Merbabu.

Tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai rumah sekaligus perpustakaan Ki Windusono di Windusabrang juga dibiarkan menjadi tegalan atau lahan kering yang ditanami singkong. Hingga kini tak ada yang berani menempati lahan itu, karena diyakini bakal mendapat musibah kematian.

Selubung misteri Ki Ajar Windusono memang tampaknya sukar untuk disibak. Namun kita semua bisa terus menghidupkan semangatnya dengan mencintai dan membaca teks-teks peninggalan Jawa Kuno.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara