• Friday, 1 June 2018
  • Maharani K
  • 0

Malam itu, sekitar pukul sebelas malam di pelataran zona 1 Candi Borobudur, Selasa (29/5) dibanjiri oleh ribuan umat, simpatisan dan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, serta berbagai negara. Mereka datang dan menghadiri perayaan Waisak di salah satu bangunan candi termegah di dunia ini. Barisan paduan suara menyanyikan lagu ’Malam Suci Waisak’ dengan busana serba putih.

Di belakang panggung utama perayaan Hari Waisak, persis di depan altar Candi Borobudur, berjajar ratusan lilin-lilin kecil yang diletakkan di gelas-gelas bening membentuk tulisan ‘Happy Vesak Day 2562BE/2018’ menjadi salah satu objek foto terfavorit para umat dan simpatisan di sana.

Lampu minyak atau lilin di perayaan hari Waisak merupakan pemandangan yang umum yang menjadi perlambang pengusir kegelapan batin dan penerangan bagi kehidupan seseorang.

Selain lilin-lilin kecil, terdapat sejumlah bendera Buddha dikibarkan di depan altar Candi Bodobudur malam itu. Bendera-bendera ini dibawa oleh muda-mudi dalam melakukan Pradaksina mengelilingi Candi Borobudur.

Setelah pujabhakti dan doa bersama yang dipimpin oleh lima pemuka agama Buddha dari masing-masing aliran agama Buddha, serta selesainya grup paduan suara menyanyikan tiga lagu Buddhis di pelataran Candi Borobudur, pembawa acara kemudian mempersilakan semua umat dan hadirin untuk melakukan pradaksina mengelilingi candi, pradaksina sendiri diartikan sebagai sebuah ritual mengelilingi suatu objek yang dipandang suci, misalnya candi, gambar orang suci, patung orang suci, makam orang suci, dsb.

Ribuan umat Buddha berjalan di belakang barisan utama para bhikkhu dan Sangha dari berbagai aliran dalam agama Buddha diiringi lagu Buddhis ‘Buddhang saranang Gacchami’.

Sebelum memulai, semua umat dan simpatisan dibagikan bunga teratai dari kertas yang di dalamnya terdapat lampu kecil berbentuk menyerupai lilin sebagai lambang penerangan dalam kehidupan. Bunga teratai sendiri dalam sejarah kelahiran Pangeran Siddharta di Taman Lumbini ketika itu, tujuh kuntum bunga teratai mekar dari bumi untuk menyambut kelahiran seorang bayi suci yang berjalan tujuh langkah di atasnya.

Bunga teratai berakar dalam lumpur, muncul di atas air, tumbuh di atas permukaan air dan mekar dalam kecantikan dan kemurnian untuk menyambut sinar matahari yang pertama. Begitu pula umat manusia, berakar dalam lumpur kegelapan dan ketidaktahuan dan menjadi murni suatu saat nanti. Bunga teratai juga melambangkan kesucian pikiran Buddha sendiri.

Baca juga: Waisak Borobudur Jadi Ajang Wisata, Upacara Keagamaan Hilang Kesakralan

Kegiatan mengelilingi Candi Borobudur ini dilaksanakan dengan sangat rapi, tenang dan sakral oleh para peserta, Suasana sangat padat dan ramai sehingga peserta pradaksina harus berjalan secara perlahan dan mengantre demi kelancaran kegiatan. Meskipun suasana cukup gelap pada malam itu, umat dan simpatisan tetap menjalankan pradaksina dengan lancar dengan beranjali dan membawa teratai kertas di tangan.

Setiap kali menemui pintu menuju Candi Borobudur, banyak umat berhenti dan melakukan namaskara dan kemudian melanjutkan pradaksina kembali dari arah timur searah jarum jam. Selain bunga dan lilin, juga terdapat banyak dupa dan air kembang yang diletakkan di titik-titik tertentu mengelilingi Candi Borobudur.

Setelah selesai melakukan pradaksina sebanyak tiga kali, para umat dan simpatisan meletakkan bunga teratai di sepanjang pinggiran Candi Borobudur dan kemudian membasuh wajah serta tangan mereka dengan air kembang yang dianggap suci dan dipercaya bisa membawa berkah kebaikan. Setelah itu umat dan simpatisan kembali melakukan namaskara sebanyak tiga kali di altar timur Candi Borobudur untuk mengakhiri prosesi pradaksina.

Dalam momen pradaksina ini, sebanyak 2000 lampion secara bersamaan diterbangkan ke langit di area Bukit Dagi Candi Borobudur malam itu sesuai dengan aba-aba dari panitia penyelenggara. Semua umat, peserta dan pengunjung yang telah membeli tiket, dapat menerbangkan lampion yang telah mereka beli secara bersama-sama dalam grup yang terdiri dari 4-5 orang.

Baca juga: Jangkauan Hujan Abu Gunung Merapi Mencapai Candi Borobudur

Lampion sendiri melambangkan terbangnya harapan umat manusia ke langit beserta doa suci tulus di hari Waisak. Momen penerbangan lampion ini selalu ditunggu-tunggu dan menjadi salah satu momen terfavorit di acara perayaan Waisak Borobudur. Langit pada malam itu terlihat begitu terang dan terasa magis dengan adanya lampion-lampion beterbangan ke arah atas seperti kisah film Disney ‘Rapunzel’.

Sebelum melepaskannya ke langit, peserta menuliskan harapan dan doa mereka di sebuah kertas, kemudian diselipkan di dalam lampion tersebut tepat sebelum diterbangkan, dan banyak juga yang menuliskannya di lampion yang terbuat dari kertas tersebut.

Langit yang berwarna terang dengan titik-titik kuning yang berasal dari lampion-lampion ini diharapkan dapat menjadi daya tarik khusus untuk menarik semakin banyak wisatawan domestik maupun wisatawan asing untuk ikut menghadiri acara perayaan Waisak di Candi Borobudur di tahun-tahun ke depan.

Keseluruhan rangkaian acara Waisak tahun ini di Borobudur berlangsung cukup lancar, dengan ramainya pengunjung yang memadati pelataran Candi Borobudur.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara