Deny Hermawan | Tuesday, 10 March 2020 18.00 PM News
Kekayaan budaya Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya di masa kejayaan Hindu-Buddha. Berbagai motif tekstil banyak berkembang di era itu, yang bisa dilacak dari keberadaan arca dan candi yang masih eksis hingga saat ini.
Hal itu disampaikan Sandra Sardjono Ph.D saat menjadi pembicara dalam Simposium Internasional Budaya Jawa: Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta, yang digelar 9 Maret 2020 di Royal Ambarrukmo Yogyakarta. Sandra adalah peneliti dan kurator independen, dan Presiden Tracing Pattern Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang mempromosikan studi tekstil. Ia juga merupakan anggota Dewan Seni Tekstil di Museum Seni Rupa San Francisco, Amerika Serikat.
Alumni Universitas California ini berbicara tentang gambaran tekstil di Jawa Kuna (abad ke 8-15). Ia mengaku, tak banyak bukti mengenai bukti tekstil (batik maupun tenun) pada masa itu, selain dari peninggalan sejarah berbahan batu dan logam.
Menurut Sandra, Jawa menjadi pusat konvergensi budaya antara India dan Tiongkok, di masa Jawa Kuna. Hingga tahun 900-an, tekstil motif bunga banyak berkembang. Ini banyak dijumpai dari motif bawahan yang dipakai dalam arca dewa atau bodhisattwa peninggalan zaman tersebut.
“Motif bunga ini juga banyak dipakai dalam tekstil Dinasti Tang di China,” terangnya.
Ia meneruskan, motif ini juga banyak berkembang di kawasan Jalur Sutera. Dan di India sendiri, arca dengan motif bunga baru berkembang sekitar abad ke-11. “Kemungkinan ini meniru yang di China,” sambung Sandra.
Selanjutnya, motif tekstil yang berkembang juga di Jawa era itu adalah motif titik dan lingkaran. Arca Shiwa, Durga, hingga Bodhisattwa Avalokitesvara di abad ke-10 banyak yang diukir memakai motif ini.
“Motif ini juga ditemukan dalam tekstil di China sejak tahun 300 hingga 600-an,” jelas dia.
Sandra meneruskan, motif tekstil juga banyak ditemukan di candi, salah satunya di Candi Sewu. Di sini ada 16 panel relief dengan motif tekstil. Di beberapa panel dijumpai motif bunga, rusa, dan singa, masing-masing dalam lingkaran.
“Pola binatang dalam lingkaran juga banyak dipakai di area Jalur Sutera. Sementara pola bunga dalam lingkaran terkenal di masa Dinasti Tang,” paparnya.
Selanjutnya, memasuki era Kerajaan Singasari dan Majapahit banyak ditemukan motif bunga yang lalu saat ini dikenal sebagai motif batik Jlamprang. Motif ini salah satunya ditemukan dalam arca Buddhis Prajna Paramita yang terkenal karena kecantikannya itu.
Sementara, di era Majapahit, pola yang paling populer menurut Sandra adalah era lingkaran bersinggungan yang kini dikenal sebagai motif batik Kawung. Motif ini masih banyak dipakai hingga era kerajaan Mataram Islam.
“Karena berhubungan dengan simbol status, motif-motif yang banyak dipakai zaman dahulu banyak terinspirasi dari China dan India, bukan motif Austronesia. Tapi ada juga patung kecil yang memakai pola mirip dengan pola tapis dari Sumatera,” ungkapnya.
Sementara itu, Siti Maziyah, pembicara lain dalam simposium ini menjelaskan, penduduk Nusantara sudah berhubungan dengan bangsa asing sejak awal masehi. Arkeolog dari Universitas Diponegoro ini menjelaskan, Itulah yang membuat tekstil bangsa kita menjadi beraneka ragam.
“Masyarakat Jawa sangat kreatif menerima budaya asing menjadi milik sendiri. Saya dulu mengira motif Kawung itu asli Jawa, tetapi kalau ditelusuri itu dari luar juga,” jelasnya.
Deny Hermawan
Editor BuddhaZine, penyuka musik, film, dan spiritualitas tanpa batas.
Setelah melalui proses selama 9 tahun, BuddhaZine kini telah berpayung hukum dengan naungan Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara. Kami berkantor di Dusun Krecek, Temanggung. Dengan yayasan ini kami berharap bisa mengembangkan Buddhadharma bersama Anda dan segenap masyarakat dusun.
Kami meyakini bahwa salah satu pondasi Buddhadharma terletak di masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ajaran Buddha dan kearifan budaya sebagai elemen kehidupan.
Anda dapat bergabung bersama kami dengan berdana di:
Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara
Bank Mandiri
185-00-0160-236-3
KCP Temanggung