• Friday, 19 October 2018
  • Surahman Ana
  • 0

Kamis (11/10/2018), Pedopo Paud Saddhapala Jaya untuk kesekian kalinya kembali dipadati oleh manusia. Menurut penanggalan Jawa, pada malam Jumat, merupakan tanggal 30 bulan Suro. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan yang dianggap sakral, pada bulan tersebut biasanya masyarakat Jawa melakukan laku spiritual seperti; tirakatan (puasa), kendurian, merawat pusaka, mewedar ilmu Jawa, dan lain-lain.

Upacara tutup bulan Suro inilah yang dilakukan umat Buddha 18 vihara dari tiga kecamatan; Sumowono, Kabupaten Semarang, Kaloran dan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Umat Buddha yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera ini melakukan pujabhakti pelimpahan jasa kepada leluhur (pattidana), kendurian bersama, dan mendengar wejangan Dharma dari Bhante Dhammasubho.

“Rencana awal akan dilakukan pada malam satu Suro, tetapi katanya masih banyak yang melakukan tirakat puasa jadi kita laksanakan pada penutupan saja,” tutur Bhante Dhammakaro, saat berbincang dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair yang menafsir ulang Serat Centhini.

Acara ini diawali dengan pembacaan parita-parita. Setelah memberikan tisarana dan Pancasila, para bhante membacakan parita-parita pelimpahan jasa. Parita aradana dewata yang dibacakan oleh Bhante Cattamano mengawali pembacaan parita pelimpahan jasa menuntun umat yang hadir larut dalam keheningan.

Dalam wejangan Dharma, Bhante Dhammasubho menjelaskan makna pelimpahan jasa bagi masyarakat Buddha Jawa. “Saat ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan Pattidana. Pattidana adalah bahasa Buddha yang artinya pelimpahan jasa, dalam istilah Jawa andum lelabet, di sini disebut nyadran. Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Sradha atau Saddha dalam bahasa Pali, artinya keyakinan,” terang Bhante Dhammasubho mulai menjelaskan.

Sejarah asal-usul budaya Patidana atau nyadran pun dijelaskan Bhante pada pertengahan Dhammadesananya. “Dahulu kala pada zaman Buddha, masih banyak orang punya vihara dan punya banyak pohon Bodhi. Namun seiring perubahan zaman agama Buddha mulai tidak lagi dikenal, namun kebiasaan dan kebudayaannya masih diteruskan secara turun temurun. Oleh karena itu ketika tidak menemukan pohon Bodhi, masyarakat mencari pohon-pohon besar yang akhirnya dibuat atau dinamakan Punden.”

“Di Punden inilah biasanya terdapat sumber mata air sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan. Sebagaimana kita tahu bahwa tubuh ini 2/3 adalah unsur air, begitu juga dengan bumi ini. Untuk menjaga supaya pohon-pohon besar tetap subur dan mengasilkan sumber mata air harus dijaga, yaitu dengan cara dibuatkan tempat sembahyang atau altar di punden, supaya orang-orang bisa berkumpul dan merawat punden atau pohon-pohon besar tersebut. Dari situlah terbentuk budaya puja, yang mana puja sendiri adalah bahasa Buddha, dalam bahasa jawa Doyo yang maknanya upaya menjaga dan memelihara,” jelas Bhante.

Selepas Dhammadesana acara diteruskan dengan makan bersama yang dilakukan oleh semua umat yang hadir, nampak umat dari berbagai vihara baik laki-laki, perempuan, tua, muda sangat menikmati santapan yang dihidangkan oleh panitia penyelenggara.

Mereka terbagi menjadi kurang lebih lima banjar yang saling berhadap-hadapan dan di tengah-tengah setiap banjar disediakan makanan berupa nasi lengkap dengan lauk dan sayur untuk kenduri atau makan bersama. Acara kenduri sekaligus menjadi acara penutup pada penyelenggaraan Pattidana dan penutupan bulan Suro.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *