• Thursday, 27 December 2018
  • Junarsih
  • 0

Dhamma Camp Sekoteng 5 yang diadakan pada (21-23/12) bukan hanya sekadar temu akrab maupun bersenang-senang bagi Pemuda Theravada Indonesia (Patria) dari Temanggung, Semarang, dan sekitarnya.

Pembicara pertama Tedy Wijaya yang merupakan Ketua Umum Patria periode 2018-2022 memaparkan materi dengan tema ‘Menjadi Generasi Buddhis yang Tangguh dalam Era Milenial’ dan kedua adalah Hastho Bramantyo seorang Dosen Filsafat di STAB Syailendra memaparkan materi dengan tema ‘Kepemimpinan dan Kesiapan Pemuda Buddhis dalam Menghadapi Perubahan’.

Tedy menyampaikan tentang lahirnya generasi milenial, “Generasi milenial mulai lahir pada angkatan 80-an, generasi terakhir milenial adalah tahun 90-an sampai 2000-an. Generasi yang lahir saat teknologi mulai canggih. Sekarang udah jarang kirim surat lewat pos, sekarang sudah pakai e-mail. Tidak ada yang kirim sms, tapi sudah pakai whatsapp.”

Ketua Umum Patria menjelaskan masalah awal bangsa ini di era kecanggihan teknologi, “Persepsi anak zaman now (sekarang) adalah kontroversi, berlabel negatif, yang merupakan korban perubahan zaman. Dengan teknologi yang super cepat, mau beli bisa online, cepet, nggak bertele-tele, jadi nggak sabar, nggak bisa memaklumi. Kita mendapatkan sesuatu itu butuh proses. Inilah problem yang ada. Karena ketergantungan pada sinyal internet, jadi gelisah. Dengan teknologi jangan sampai kita antisosial dengan lingkungan kita.”

Untuk menjadikan generasi Buddhis yang tangguh di era milenial, Tedy menuturkan kiat-kiat, “Ada tiga resep buat generasi Buddhis”. Pertama, sebagai generasi Buddhis perlu saring sebelum sharing. “Dengan pengertian baik dalam diri kita, kita ngomong harus ada dasarnya, jangan asal ceplas-ceplos yang mengakibatkan permusuhan. Seperti container, bungkusnya boleh sesuai zaman, tapi isinya harus sesuai Buddhadhamma, kalau isinya buruk buat apa dibawa kemana-mana. Harus hati-hati dengan jari kita, Kita main gadget, menyaring berita sebelum share bisa mengurangi adanya hoax. Jangan buru-buru share sesuatu yang membuat resah orang.”

Kedua, memiliki kepedulian. “Biasanya seseorang memenuhi kebutuhan pribadi, lalu keluarga, kita pernah nggak berpikir tentang sekeliling. Kita juga harus menyisihkan waktu untuk berkontribusi dalam suatu komunitas dan memikirkan kepentingan orang banyak di sekitar kita. Seperti saat kemah sekarang, pasang tenda sendiri sudah selesai. Lalu bantu teman pasang tenda. Kita perlu punya kepedulian untuk persatuan.”

Ketiga, belajar dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah-ubah. “Menerima perubahan sebagai realita. Seperti kata Buddha, hidup adalah tidak kekal. Punya kepedulian, etika, moral baik pastinya kita menjadi orang yang unggul dan tangguh.”

Dilanjutkan pemateri kedua, Hastho Bramantyo. Pemaparannya diawali dengan sebuah cerita yang cukup menarik.
Dahulu di Nepal ada Wihara Buddha yang besar sekali, ketua vihara yang senior meninggal dunia. Lalu digantikan oleh yang junior.

Di sana yang paling ditakutkan adalah cuaca buruk. Lalu bhikkhu yang muda ini dites, bagaimana musim kali ini. Tahun ini musim dingin akan parah (jawab bhikkhu muda itu). Lalu bhikkhu muda itu menelpon BMKG untuk bertanya perihal musim, katanya musim dingin parah. Hingga akhirnya bhikkhu muda ini menyuruh para bhikkhu yang ada di vihara untuk mengumpulkan kayu bakar yang banyak.

Baca juga: Kaderisasi Generasi Muda Penggerak Perdamaian

Sampai dua kali bhikkhu muda menghubungi BMKG untuk mengetahui cuaca musim dingin, dan jawabannya adalah sangat parah. Diketahui bahwa BMKG mengira kalau musim dingin akan parah dilihat dari banyaknya kayu bakar yang dicari para bhikkhu. Jadi, cerita ini seperti kisah orang buta menuntun orang buta.

Ada pesan tersirat dari kisah tersebut, pertama, ada baiknya mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan apabila sewaktu-waktu hal tak terduga terjadi. Kedua, jangan terburu-buru percaya dengan hal yang belum terpercaya padahal awalnya adalah ulah kita.

Pembicaraannya dilanjutkan perihal revolusi industri pertama hingga kini, “Revolusi industri 4.0 antara cyber dan realitis, dunia maya dan dunia kenyataan menjadi menyatu. Menjadi aktif di dunia maya tetapi zonk di dunia nyata. Disebut era disruption atau membuat yang usang semakin usang.”

Inti dari kepemimpinan adalah penyesuaian diri, “Kita harus paham dan menyesuaikan diri dengan zaman kita. Moral tetap harus dibawa. Kepemimpinan di era milenial adalah mampu menyesuaikan diri. Semangat memimpin diri sendiri.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara