Mantra adalah semacam doa yang banyak dipakai pada masa Jawa Klasik. Pengaruhnya masih ada dalam tradisi spiritualitas orang Jawa hingga masa modern ini.
Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc., guru besar di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan hal tersebut dalam sesi pemaparan diskusi berjudul Mantra dan Kidung pada Masa Jawa Klasik: Bentuk dan Fungsinya. Pemaparan tersebut merupakan bagian dari Diskusi Bulanan Medang Heritage yang digelar secara daring lewat platform Zoom, Rabu (30/9/2020) pagi.
Timbul menjelaskan, mantra bisa merupakan kalimat utuh yang dapat diterjemahkan, yang bisa juga disebut kidung. Namun mantra juga bisa berbentuk (susunan) suku kata yang disebut bija aksara yang tidak dapat diterjemahkan.
Mantra bisa diucapkan dengan suara (kanthika), atau dengan diam (japa). Bila bersuara, berbentuk vachika (ucapan keras), bhramara (berdengung), janantika (bisikan), dan karnika (lirih sekali).
Timbul menjelaskan, mantra biasanya diawali dengan bija aksara Om (Aum) yang dijumpai baik dalam mantra Hindu maupun Buddhis. Dalam perkembangannya, di masyarakat Jawa aksara suci ini berubah menjadi Hong, yang masih banyak dipakai dalang-dalang di saat ini.
“Aum bermakna Yang Maha Tunggal yang mencakup ruang, waktu, dan bentuk,” jelasnya.
Terkait peninggalan sejarah, menurut Timbul, mantra hampir selalu ditemukan dalam semua prasasti batu peninggalan masa Jawa kuna/klasik. Misalnya dalam prasasti penetapan Sima (daerah perdikan) biasanya selalu diawali dengan mantra.
“Dimulai Om Nama Siwaya,” ungkap Timbul.
Mantra lain yang juga lazim dipakai untuk pembuka menurutnya adalah Om Awignam Astu yang dalam dunia pedalangan sekarang masih dipakai meski bergeser menjadi Om Mawigna Astu.
Timbul juga menjelaskan, mantra banyak juga ditemukan di prasasti singkat berbentuk lempengan emas atau perak. Yang terkenal adalah mantra ye dharmma hetuprabawa tesam tathagato hy awadat tesan ca yo nirodha ewamwamwadi mahasramanah. Mantra ini ditemukan di lempengan emas dari Dewa Kuti Ponorogo, dan beberapa tempat lain di Nusantara.
“Adanya kata tatagatho ini berarti untuk agama Buddha,” kata Timbul.
Yang menarik lagi, menurut Timbul adalah peninggalan lempengan emas berlukiskan Wiswawajra, bunga padma tiga kelopak. Lempengan ini bagian atasnya menyebutkan mantra hum amoghasiddhi/ om om om om om phat/om phat. Bagian tengahnya terdapat mantra hum aksobhya om om om phat. Sementara di bagian bawah terukir mantra hum ratnasambhawa/om.
“Ini tentu pujaan kepada dewa-dewa dalam agama Buddha, karena menyebut Amogasiddhi, menyebut Aksobya, menyebut Ratnasambhawa, ini adalah Panca Tatagatha,” katanya.
Mantra lain yang menurutnya unik adalah susunan silabel dalam bahasa Sansekerta maupun Kawi yang berupa 33 suku kata. Ini meliputi ka kha ga gha nga, ca cha ja jha nya dan seterusnya.
“Ini kalau sekarang seperti Hanacaraka itu,” katanya.
Di masa berikutnya, menurut Timbul muncul mantra penolak bala atau pemusnah malapetaka di Jawa yang kerap dipakai untuk keselamatan manusia. Sering disebut rajah Kalacakra. Ini adalah susunan mantra empat suku kata yang pada pembacaan berikutnya dibaca dibalik.
YA MA RA JA -JA RA MA YA
YA MA RA NI – NI RA MA YA
YA MI DO SA – SA DO MI YA
YA MI DO RA – RA DO MI YA
YA SI LA PA – PA LA SI YA
YA SI YA SA – SA YA SI YA
YA DA YU DA – DA YU DA YA
YA SI HA MA – MA HA SI YA
Mantra yang dibalik seperti ini menurut Timbul kini dijumpai dalam aksara Ha Na Ca Ra Ka yang lalu dibaca terbalik menjadi KA RA CA NA HA (dan seterusnya).
“Percaya atau tidak, [mantra hanacaraka dan kebalikannya] ini masih bermanfaat. Buktikan nanti kalau ada hewan yang menyerang [diucapkan], tetapi harus tahan nafas,” kata Timbul.
Sebagai tambahan informasi,berdasarkan riset yang dilakukan redaksi BuddhaZine, diketahui bahwa yang sering disebut rajah Kalacakra versi Jawa itu sebenarnya bentuk terdistorsi dari mantra Istadewata Yamantaka dalam tradisi Buddhisme Vajrayana, yang dulu juga sempat berkembang di Nusantara. Mulamantra (mantra akar) dari Yamantaka adalah: Yamaraja Sadomeya Yamedoru Nayodaya Yadayoni Rayaksheya Yaksheyaccha Niramaya Hum Hum Phat Phat Svaha.
Deny Hermawan
Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara