• Friday, 3 July 2015
  • Mariani Dewi
  • 0

Tak jarang saat para wanita berkumpul, dianggap mereka berkumpul untuk arisan atau ngerumpi. Tapi bukan itu yang terjadi di Konferensi Sakyadhita ke-14 di Sambi Resort, Yogyakarta baru-baru ini (23-30 Juni 2015).

Selama tujuh hari, hampir 1000 orang peserta (yang mayoritas adalah wanita) dari 40 negara bertemu untuk membagi ilmu –ilmu otak dan ilmu hati– kepada yang lainnya. Saat diskusi panel, pembicara yang terdiri dari anggota monastik dan umat awam, wanita dan pria, memaparkan hasil riset dan studi mereka. Selain pembahasan panel, ada pula lokakarya-lokakarya dalam suasana yang lebih santai dan grup yang lebih kecil.

Hari pertama diawali dengan sejarah wanita-wanita yang sudah berjasa mengembangkan Buddhisme di Indonesia. Siapa sangka di akhir masa penjajahan ada seorang tokoh bernama Tjoa Hin Hoeij yang aktif sebagai penulis dan penyelenggara aktivitas Buddhis di Indonesia. Ada pula kisah tentang bhiksuni pertama di Indonesia yang bernama Jinakumari, yang menjadi pembuka jalan bagi para wanita lainnya yang berinspirasi menjalankan kehidupan pertapaan. Tak luput dari sorotan adalah peran srikandi-srikandi lain yang luar biasa berjasa dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Di hari-hari selanjutnya, dibahas pula isu dari berbagai negara, mulai dari tentang globalisasi Buddhisme, tentang keberagaman dan multikulturisme, penerapan welas asih dan keadilan sosial, dan manfaat dari penahbisan bhikkhuni bagi masyarakat, hubungan antara anggota monastik dan umat, sejarah Borobudur, hingga sejarah masuknya Buddhisme ke Asia daratan dan Asia Tenggara.

Semua peserta mendapatkan update tentang apa yang terjadi di tradisi lain dan di negara lain, yang tadinya mereka belum tahu. Tak jarang, mata para peserta berkaca-kaca mendengar cerita betapa sulitnya para anggota monastik —serta umat awam— di beberapa negara dalam menapaki jalan Dhamma yang ternyata terjadi bukan hanya lintas negara, tetapi juga lintas aliran.

“Saya menemukan kesamaan dalam kondisi yang kita hadapi,“ kata seorang bhiksuni aliran Tibet setelah mendengar paparan bhikkhuni Theravada. “Kami pun harus bertanya pada wanita yang ingin ditahbiskan, bagaimanakah kamu akan hidup setelah memakai jubah? Saya merasa malu harus bertanya seperti itu, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Kita harus memastikan mereka bisa hidup dan mendapatkan pelatihan Dhamma yang memadai. Tapi itu sulit dilakukan tanpa dukungan dari guru mereka dan umat di sana.”

Di tengah kompleksnya topik-topik yang diangkat, peserta bukannya merasa patah arang, tetapi malahan memutar otak mencari cara apa yang harus dilakukan selanjutnya. Terdengar peserta mengatakan, “Riset saya yang akan saya paparkan di konferensi akan datang akan berupa solusi dari masalah yang kita hadapi ini.”

Mereka menyemangati dan berjanji akan memberikan bantuan-bantuan.

“Ayo datang ke Korea! Ada banyak vihara dan tempat retret di Korea yang masih bisa dimaksimalkan penggunaannya. Kami mengundang teman-teman yang kesulitan tempat pelatihan untuk datang ke tempat kami,” kata seorang bhiksuni Korea, setelah mendengar betapa sulitnya bagi saudari-saudarinya di negara-negara lain untuk mengakses pelatihan.

“Saya trenyuh mendengar kisah teman-teman yang masih kesulitan mendapatkan penahbisan. Ayo datang ke Australia dan kami bisa atur penahbisan untuk anda,” kata bhikkhuni dari Australia.

20150703 Mempraktekkan Welas Asih di Konferensi Sakyadhita_2  20150703 Mempraktekkan Welas Asih di Konferensi Sakyadhita_3

Saling mendukung bukannya berarti tidak jeli dan berani mengangkat isu sensitif, namun dilakukan dengan semangat untuk saling mengerti, bukan mengkritik. Misalnya, seorang peserta dengan penuh ingin tahu, bukannya mengkritik, menanyakan tentang praktek para Buddhis Ambedkar. Niat baik ini juga direspon positif, baik oleh panelis maupun peserta yang mengerti kondisi di sana. Alhasil, dari beberapa komentar dan tanya-jawab, terbentuklah suatu pemahaman tentang mengapa mereka berpraktek seperti saat ini, bagaimana kondisi mereka saat ini, dan ke mana mereka ingin menuju.

Berbagai permasalahan dibahas dan ditelaah agar dimengerti dan didiskusikan jalan keluarnya. Bahkan saat belum ada jalan keluarnya, para peserta tetap merasa tersemangati.

“Setelah Konferensi Sakyadhita ini kami akan kembali ke negara kami dan kami akan kembali menghadapi tantangan berat. Tapi bedanya, sekarang kami tahu bahwa ada begitu banyak sahabat-sahabat yang mendukung dan menyemangati kami. Sekarang kami tahu kami tidak berjalan sendirian,” ujar seorang bhikkhuni dari India.

Ayo datang ke Konferensi Sakyadhita yang akan datang dan buktikan sendiri energi positif ini. Sampai jumpa di Konferensi Sakyadhita ke-15 di Hongkong tahun 2017 ya!

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara