• Thursday, 25 April 2019
  • Deny Hermawan
  • 0

Oblok-oblok adalah makanan tradisional khas Jawa Tengah. Sayuran ini biasanya berbahan dasar daun singkong, dan diberi kuah parutan kelapa, yang menjadikannya gurih. Namun bisa saja berbahan dasar lain.

Salim Lee, seorang pakar Buddhis yang menjadi pengajar di Potowa Center menggunakan contoh sayuran itu, untuk menjelaskan Keshunyataan, atau yang dikenal dalam bahasa Jawa sebagai Kasunyatan, kebenaran yang tak terjelaskan.

Om Salim, begitu biasa ia disapa, menerangkannya pada puluhan warga desa di hari terakhir rangkaian acara Belajar; Borobudur Kawedar, yang digelar di Dusun Krecek, Desa Getas, Kaloran, Temanggung, Minggu (31/3).

Ia berdialog dengan Pak Koyo? [aku dengere koyo, bener gak?] salah seorang warga desa, bertanya tentang oblok-oblok apa yang paling enak. Menurut Pak Koyo, yang paling enak adalah oblok-oblok daun singkong. Sementara, menurut Om Salim, yang paling enak adalah oblok-oblok daun mbayung (lembayung).

Salim menjelaskan, bahwa semua orang bisa mengklaim kebenarannya masing-masing, termasuk mengklaim bahwa oblok-oblok singkong atau mbayung-lah yang paling enak. Namun pandangan seperti itu menurutnya sebenarnya keliru. Disebut paling enak karena ada si “aku’ di situ yang merasa bahwa oblok-oblok tertentu yang paling enak.

“Selama masih ada sosok ‘saya’ di latar belakang, masih ada subjeknya, akan selalu timbul saya senang itu, ndak senang ini,” terang Salim.

Ia menerangkan, konsep yang lebih pas adalah misalnya, “Oblok-oblok singkong adalah yang paling enak, menurut saya.” Jadi meskipun secara teori, kedua pihak bisa saling menghargai pendapat masing-masing, toh di hati kecil tiap-tiap orang masih ada pendapat oblok-oblok tertentulah yang paling enak. “Masih tetap ada aku-nya,” sambung Salim.

Baca juga: Belajar dari Guru Atisha, Bagaimana Melawan Arus Kemerosotan Buddhis

Salim lalu melanjutkan penjelasan, berpijak pada relief Gandawyuha di Borobudur. Relief ini hingga ke atas menuju stupa puncak menurutnya menjelaskan tentang realitas tertinggi.

Ia kembali mengajukan pertanyaan pada Pak Koyo. Kali ini dua pertanyaan. Yang pertama, dua tambah dua hasilnya berapa. Pertanyaan kedua, di Desa Getas, ada berapa dusun. Setelah kedua pertanyaan dijawab dengan benar, Om Salim kembali mengajukan pertanyaan, “Kebisaan untuk ngerti dua tambah dua sama dengan empat, dan di Desa Getas ada sembilan dusun, kebisaannya lho, ini sama atau tidak?”

Warga pun terdiam sesaat memikirkan pertanyaan ini. Beberapa mencoba menjawab dengan jawaban yang berbeda dan alasan yang berbeda pula.

Sampai akhirnya Salim memberikan petunjuk bahwa sebenarnya, menurut ajaran Buddha, kemampuan untuk bisa berpikir, kebisaan untuk mengetahui dan mengingat, adalah sama antara seorang manusia dengan manusia lain. Begitu pula misalnya kebisaan untuk masak oblok-oblok atau masakan lain, tetap sama, meski hasil masakannya bisa berbeda-beda rasanya antara seorang dengan yang lain.

“Tapi kita selalu menganggap ini beda, karena ini kebisaan saya, itu kebisaan kamu. Ternyata lho kebisaannya, kebisaannya ini sama,” tegas Salim.

Salim lantas meminta Pak Koyo membayangkan hadirnya gajah merah jambu yang berkaki enam, dengan kebisaan mental yang sudah dibahas itu. “Bisa,” kata Pak Koyo. Salim meminta semua warga membayangkan ada hujan durian yang buahnya tanpa duri. “Bisa,” kata Pak Koyo lagi. “Ini yang diajarkan di Gandawyuha Sutra,” ungkap Salim.

Ia memaparkan, kebisaan untuk tahu itu tidak terbatas. Apa saja bisa dibayangkan melalui pikiran. Pertanyaan selanjutnya dari Salim adalah, apakah kebisaan berpikir ini muncul terus? Bisakah kita melihat dan mendengar tanpa ada kebisaan itu?

Warga pun terdiam dengan pertanyaan yang mendalam ini. Salim pun mengubah pertanyaannya, “Pernah nggak kita merasakan sesuatu, mikir sesuatu, merasa iri hati, mau masak segala macam, tanpa kebisaan ini?”

“Iya bisa,” jawab Pak Koyo. “Bisanya di mana? Kalau nggak ada kebisaannya, bisa apa?” tanya balik Salim. “Ya menurut pola pikiran hati,” timpal Pak Koyo. “Ya tapi dari pola pikiran hati pun harus punya kebisaan tadi,” sanggah Salim.

Kebisaan yang tidak bisa disebut satu atau banyak inilah yang lalu disebut Salim sebagai Dharmakaya. Kebisaan ini tidak memiliki jenis kelamin, tidak terikat konsep saya dan kamu, tidak terbatas ruang dan waktu, selalu ajeg, tak berubah dan terus ada.

“Coba dipikir, kita semua dilandasi dengan kebisaan seperti ini sebenarnya, yang memungkinkan kita hidup. Di luar itu, mulai pakai kerangka, saya, kamu, perempuan, laki, dan sebagainya,” urai Salim.

Salim menjelaskan pula, semua Dharma (pengalaman) terkait kebisaan berpikir dan merasakan itu terjadi di Dharmadhatu. Menurutnya, Dharmadhatu tidak bisa ditunjuk, karena memang tidak ada tempatnya. Tapi tidak bisa juga dikatakan tidak ada, karena pengalaman batin itu ada.

“Ini yang disimbolkan dengan stupa-stupa [berjumlah] 32, 24, dan 16 di teras-teras Borobudur. Ini Dharmadhatu, di mana Dharmadhatu ini semuanya kemungkinan kejadian ada di situ bisa. Dua tambah dua sama dengan empat, gajah merah jambu, semua kejadiannya di Dharmadhatu,” paparnya.

Ia lantas mengajak hadirin untuk berlatih mengembangkan kualitas batin sehari-hari sesering mungkin di level Dharmakaya, dimana tidak ada aku-kamu, tidak ada kemarin-besok, hanya sekedar tahu.

“Tentunya di sini lho, berakhirnya dukkha.” Intinya Gandawyuha.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara