Candi Borobudur seolah tidak ada habisnya kita kupas. Nilai ajaran, kemegahan arsitektur serta pahatan bangunan candi yang sarat nilai filosofis mengundang tafsir banyak kalangan tentang kecanggihan dan kehebatan nenek moyang Nusantara pada masa lalu. Wajar apabila monumen Buddhis terbesar dan terlengkap di dunia ini masih menjadi andalan pariwisata Indonesia.
Menurut data Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (disparpora) Kabupaten Magelang, pada tahun 2018 saja, Candi Borobudur dikunjungi oleh 3.663.054 wisatawan dalam dan luar negeri. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya, apalagi saat ini pemerintah Indonesia sedang gencar melakukan promosi, memperbaiki akses, penyediaan jalur khusus untuk wisatawan mancanegara, termasuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Meningkatnya wisatawan ke Candi Borobudur tentu menjadi kabar baik, terutama bagi warga sekitar, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hanya mengandalkan Candi Borobudur tanpa memperhatikan kapasitas dan kelestariannya juga dinilai kurang bijak. Karena itu, menurut Salim Lee.
“Coba dihitung, jam bukanya Borobudur dibagi jumlah orang pengunjung, enggak akan cukup. Mas Yudi (salah satu pejabat Borobudur) bilang hari kedua Idul Fitri Borobudur itu paling ramai. Tahun lalu hampir 40 ribu, enggak bisa gerak, enggak bisa naik, nggak bisa turun. Menakutkan malah. Semua teras Borobudur penuh manusia, dari atas sampai bawah, bayangin,” katanya kepada BuddhaZine, disela acara Borobudur Kawedar, Sabtu (30/3).
“Saya kira kok mbok diatur, pakai karcis, karcismu dari jam 8-10 hanya mengeluarkan berapa karcis. ‘tapi kan Om Salim, semua turis kan datangnya pagi’. Biarkan kalau perlu pagi hari karcisnya dijual 3 kali lipat dari harga biasa. Kalau sekolah mungkin ada konsesi, dan saya kepinginnya grup-grup semacam itu ada pemandu. Pemandunya di atas tidak hanya menjelaskan, tetapi juga ikut njagani candi,” imbuhnya.
Ajaran Borobudur
Candi Borobudur adalah salah satu bukti nyata kebesaran peradaban agama Buddha Nusantara. Peradaban agama Buddha memang sudah lama runtuh, tetapi nilai ajaran Buddhadharma masih lestari, terukir dalam relief-relief Candi Borobudur, menyatu dengan tradisi, budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar. Salah satunya yang terlihat di Dusun Krecek.
“Yang Anda sebut sebagai Nyadran, ini juga berasal dari kebudayaan Buddhis yang telah menyatu dengan kearifan lokal. Ini kan indah sekali, karena sudah menjadi kebudayaan lokal yang masih dilakukan bahkan tidak hanya umat Buddha. Tetapi Nyadran yang berasal dari kata Sraddha memang benar-benar dari ajaran Buddha,” jelas Om Salim menunjukkan foto-foto Nyadran warga Dusun Krecek.
“Juga gendurian limolasan (gendurian purnama atau uposatta) yang kemarin baru anda laksanakan. Ternyata uposatta ini juga dijalankan pada abad ke-7 dan hampir sama dengan yang Anda lakukan di sini, seperti yang tertulis dalam catatan I-Tsing. Ini luar biasa sekali kan, ternyata apa yang kalian anda disini sudah dilakukan pada abad ke tujuh. Jadi budaya-budaya seperti ini kalau kita jaga dan teruskan dari generasi ke generasi ini berharga sekali. Dusun atau desa yang punya budaya, pasti langgeng, orang-orangnya lebih teteg, karena ada pegangan, karena ada landasan,” imbuhnya.
Sedangkan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair, wartawan, dan penulis buku asal Perancis merasa terkesan setelah tinggal di Dusun Krecek selama empat hari. Ia berpendapat suasana perdesaan, tumbuh-tumbuhan, keramahan warga dengan segala aktivitasnya seperti yang ia jumpai dalam ukiran relief-relief di Borobudur. “Melihat tanaman, sawah, sayur, dan pohon-pohon ini saya merasa seperti melihat relief di Borobudur.”
Dusun Buddhis
Krecek, merupakan salah satu dari sembilan dusun di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Dusun Krecek berada di daerah pegunungan Temanggung Timur, berjarak sekitar 4 km. dari kantor kecamatan atau 8 km dari kantor kabupaten. Berdasarkan data kependudukan, dusun Krecek dihuni sekitar 70 kepala keluarga. Mereka rata-rata berpenghidupan sebagai petani dengan komoditas utama kopi.
Hingga saat ini, 99% masyarakat Dusun Krecek memeluk agama Buddha sebagai pedoman hidup sehari-hari. Karena itu, Dusun Krecek kerap menjadi pusat kegiatan umat Buddha Kabupaten Temanggung Timur dan Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Selain itu, keramahan masyarakat, kentalnya tradisi, adat, dan budaya memberi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa, anak-anak SMA, berbagai komunitas dan orang-orang kota datang dan menghabiskan waktu di dusun ini.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara