• Thursday, 6 June 2019
  • Ngasiran
  • 0

Romo Komang Gede dikenal sebagai sosok sederhana yang gigih dalam memperjuangan umat Buddha, terutama di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Beliau adalah tokoh kebangkitan sekaligus perintis pembangunan vihara hampir di seluruh pelosok-pelosok desa di NTB.

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok pahlawan kebangkitan Buddhadharma. Romo Komang Gede Susena Dharma meninggal dunia di usia 93 tahun pada Sabtu, 1 Juni 2019 di RSUP NTB, sekitar Pukul 16.20 WITA.

Romo Komang Gede lahir di Dusun Karang Siluman, Lurah Cakra Timur, Kec. Cakranegara, Kota Mataram pada tahun 1926. Beliau lulus pendidikan setara Sekolah Rakyat, kemudian bergabung dengan Pasukan Trikora dan turut merebut Bukit Barisan, Pulau Sumatera dari tangan penjajah.

Pada masa awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, Romo Komang Gede pernah bertugas di istana negara sebagai pengawal Presiden Soekarno. Pada masa itu, beliau juga turut mengawal pembangunan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.

Romo Komang Gede menikah dengan Ni Nyoman Ati Suriati pada tahun 1965 dan dikaruniai 6 orang putri yang salah satunya menjadi biksuni. Mereka adalah (1). Nengah Nani, (2). Made Amitarini (sekarang Bhikkhuni Nyana Pundarika), (3). Nyoman, (4). Ketut, (5). Wayan Wiriani, (6). Nengah Budhiani.

Sebagai seorang ayah, Romo Gede Komang dinilai sebagai sosok yang mempuyai integritas tinggi. Kejujuran, kedisiplinan, dan kesederhanaan adalah ajaran yang selalu ditekankan kepada anak-anaknya.

“Kami sangat bangga kepada Bapak, beliau adalah orang yang sederhana dan penuh integritas. Cinta kasihnya sangat luas kepada sesama, peduli kepada semua orang terutama bagi perkembangan agama Buddha,” kata Wayan Wiriani (47), salah satu putri Romo Komang Gede kepada BuddhaZine.

Bertemu dengan agama Buddha

Saat bertugas sebagai anggota Brimob di Cipanas, Bogor, Romo Komang Gede sering berkunjung ke Vihara Sakyawanaram, Pacet. Seringnya mendengarkan cermah Dharma dari Bhante Ashin Jinarakkhita, membuat hati Romo Komang Gede tergugah dan tertarik pada agama Buddha. Kemudian beliau ditahbis menjadi upasaka pandita oleh Bhante Ashin Jinarakkhita sekitar tahun 1970’an. Penahbisannya menjadi upasaka pandita menjadi awal pengabdian beliau pada agama Buddha.

Pada tahun 1972 Romo Komang pindah tugas ke Polda NTB. Di tanah kelahirannya itu, Romo Komang kemudian menelusuri keberadaan umat Buddha. Dari ujung Barat Kampung Sekotong Ganjar, Lombok Barat hingga ujung Lombok Timur, Lombok Tengah sampai ujung utara Kecamatan Tanjung, Kecamatan Gangga sampai ujung timur Kecamatan Bayan.

“Saat bertugas di Lombok, beliau mencari keberadaan umat Buddha dari desa ke desa. Melihat banyaknya komunitas Buddhis yang tidak memiliki tempat ibadah, Romo merasa prihatin dan bergerak mencarikan solusi,” Kata Romo Jinarathana (63) salah satu muridnya.

Dengan memanfaatkan jaringan di pemerintahan Romo Komang Gede bergerak, membuat proposal yang diajukan ke Departemen Agama Buddha Pusat. Berkat jasa beliau, pada tahun 1974 beberapa vihara di NTB mendapat bantuan pembangunan sebesar Rp. 1.100.000.

Tak berhenti sampai di situ, pada masa pemerintahan Soeharto, Romo Komang Gede juga pernah mengajukan proposal ke istana negara. Tidak membutuhkan waktu lama, proposal itu kemudian direspon dan mendapat pesetujuan dari Presiden Soeharto yang memberikan bantuan dana sebesar Rp. 12.000.000 untuk pembangunan Vihara Jaya Wijaya Tebango, Desa, Pemenang Timur, Kecamatan Lombok Barat pada tahun 1975.

Pembangunan Vihara Jaya Wijaya ini sekaligus sebagai pelecut pembangunan vihara-vihara lain di seluruh Provinsi NTB.

Sosok teladan

Romo Komang Gede Susena Dharma merupakan sosok penting dalam sejarah perkembangan umat Buddha Lombok. Beliau adalah guru sekaligus teladan bagi umat Buddha yang tanpa kenal lelah mengabdikan hidupnya demi perkembangan agama Buddha.

Saat umat Buddha Lombok belum mempunyai tempat ibadah, beliau tak segan menghibahkan tanahnya untuk dibangun vihara. Beliau juga berperan besar dalam mendirikan organisasi-organisasi Buddhis di Lombok.

Dengan menggunakan motor, beliau kerap kerap blusukan ke desa-desa untuk menyapa umat Buddha, mengajarkan Dharma dan membimbing membaca paritta. “Beliau yang mengajari kami, mengenalkan dengan agama Buddha dan membaca paritta-paritta,” kata Romo Jinarathana.

“Saat bertugas sebagai aparat keamanan dan melakukan pembinaan umat, beliau mengendarai sepeda motor bebek 70 keluaran pertama tahun 70’an. Sering jatuh, terpeleset dari motor, tapi anehnya tidak pernah luka serius paling hanya lecet sedikit. Meski begitu, beliau tidak kapok, tidak kenal lelah tetap blusukan membabarkan Dharma kepada umat,” kenang Romo Jinarathana lebih lanjut.

Semangat juang Romo Komang Gede ini juga yang menjadikan pemantik semangat dan keteladanan generasi penerus umat Buddha Lombok. Seperti yang diakui oleh Nasib (43), Ketua Cabang Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Lombok Barat, ia mengaku kagum dengan kesederhanaan Romo Komang Gede. “Hal yang saya teladani sosoknya sederhana penuh pengabdian dalam pelayanan serta selalu memberikan contoh dalam bahasa yang mudah dipahami,” kenangnya.

Jasa dan ketokohan Romo Komang juga diakui oleh para anggota sangha. Seperti yang ditulis oleh Bhante Thanaviro dalam status fb-nya, “Jasa beliau dalam menyebarkan agama Buddha di Lombok sangatlah besar, beliau adalah orang yang merintis pembagunan banyak vihara di Lombok termasuk di desa-desa, dan pelosok. Beliau adalah penginspirasi banyak orang untuk belajar agama Buddha.”

Berkat pengabdian sepanjang hayatnya terhadap agama Buddha, Romo Komang Gede banyak mendapat penghargaan sebagai tokoh pejuang Dharma dari Direktur Jenderal Kementerian Agama Buddha.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara