“Segala yang dialami didahului oleh pikiran, dipelopori pikiran, diciptakan pikiran. Jika orang berbicara atau berbuat dengan pikiran yang murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, laksana bayang-bayang yang tak tepisahkan.” (Dhammapada, ayat 1, syair 2).
Demikianlah yang telah disabdakan oleh Buddha. Sebagai pendidik mendengarkan anak didik dengan saksama akan membantu menciptakan pikiran yang murni untuk mendidik.
Anak ya namanya anak-anak, segala tingkahnya merupakan cara mereka untuk belajar. Orang dewasa terkadang menjadi terseret ke dalam arus kemarahan, bahkan jengkel terhadap tingkah anak yang berlebihan atau dianggap sudah tidak sopan. Sayangnya tidak jarang ukuran berlebihan dan tidak sopan tersebut diambil dari standar orang dewasa, bukan sudut pandang dunia anak-anak.
Dengan menempatkan ukuran orang dewasa, terkadang menyebabkan tersudutnya anak-anak, sehingga mendapatkan label negatif. Anak nakal, anak tidak tahu aturan, anak tidak sopan, bahkan anak amit-amit. Sungguh sayang kata-kata itu melintas dalam pikiran orang dewasa dan lebih disayangkan lagi harus keluar melalui ucapan dan didengar oleh sang anak bahkan teman-temannya.
Perlakuan tersebut dapat menyebabkan anak mejadi kurang percaya diri atau justru semakin arogan dalam bertingkah laku. Belum lagi teman-temannya yang mendengarkan perkataan itu dapat mengolok-olok anak tersebut. Bukan hanya sekali, bisa berkali-kali jika sang anak melakukan sesuatu yang mungkin membuat temannya kurang nyaman.
Nakal
Anak yang sebenarnya belum mengerti betul arti dan makna dari kata anak nakal, dengan mudah mencontoh saat menghadapi diri mereka terancam atau tidak nyaman. Kata-kata mudah menyebar dan menular kepada anak-anak, lalu menjadi gaya bicara (berbicara kasar). Maka sangat penting sebelum mengeluarkan kata-kata hendaknya dicerna dan dicermati terlebih dahulu. Demikian halnya saat memperingatkan anak yang berlaku tidak baik.
Ada anak yang begitu usil dan jahil. Bahkan keusilannya menimbulkan gangguan bagi teman-temanya. Tindakannya begitu menganggu (tidak sopan). Terkadang tindakannya memancing kita untuk memperingatkan dengan nada sedikit tinggi, namun tetap saja tak membantu anak tersebut segera menyudahi atraksi tidak sopannya atau kejahilannya.
Baca juga: Ketika Seorang Anak Kecil Mengajukan Pertanyaan yang Sulit Dijawab
Kita harus lebih sabar, mau mendengar dan memberitahukan bahwa hal tersebut kurang baik dan menganggu temannya. Anak memiliki rasa penasaran yang tinggi, saat melihat sesuatu yang baru, tindakannya menggebu-gebu, entah ingin melihat, menggunakan, atau mencobanya. Bahkan ia tidak sabar jika harus bergantian dengan temannya.
Rasa penasaran dan ingin tahunya yang tinggi ini menjadi salah satu pemicu untuk berbuat jahil, karena ia ingin tahu seperti apa reaksi temannya yang ia jahili, bahkan kalau sudah sekali ia lakukan, tetap lagi dan lagi untuk mengetahui rekasi-reaksi selanjutnya. Demikian dalam melakukan sesuatu, yang terkadang menjadikan tempat berantakan atau tidak aman bagi temannya seperti naik meja, melempar benda, dan sebagainya.
Ketika pendidik menegur, ia terkadang malah melakukan lagi yang lebih ektrem. Anak ini memancing, kira-kira apa lagi yang akan dilakukan sang pendidik terhadapnya, atau ia menjadi menikmati saat sang pendidik menjadi marah. Demikianlah salah satu karakter anak, pemikirannya tidak dapat kita salahkan dan kita tak bisa memberi label anak nakal pada mereka.
Kesabaran
Kita seharusnya mendengar dan sabar sehingga menemukan kunci dalam mengarahkan anak agar tidak membahayakan dirinya dan temannya dari perbuatan atau kejahilannya. Namun sayang, terkadang masyarakat dan orang tuanya tidak mengerti hal tersebut. Karena rasa malu terhadap tetangga sehingga kemarahan mudah meledak saat anak berperilaku jahil atau tidak sopan menurut ukuran orang dewasa, bahkan hadiah cubitan akan didapatnya, agar anak segera menurut.
Kemarahan dan tindakan fisik diharapkan dapat segera membuat anak menjadi sopan, atau agar anak menjadi jera. Mengharapkan segera merupakan budaya instan. Ya sebenarnya anak memang segera mengerti, dan meniru contoh tersebut. “O… ibuku seperi ini kalau aku begini, kalau aku lebih dari ini nanti seperti apa ya …?” demikian kira-kira yang dipikirkan sang anak. Tidak butuh sehari untuk mendapakan pemikiran tersebut demikian pula untuk diterjemahkan dalam bentuk tindakan. Instan bukan.
Atau anak yang menjadi jera, Ibu: “Nak, tolong ambilkan gelas! Anak: “Tidak bisa Bu tinggi (anak sambil berpikir, daripada nanti aku jatuhkan lagi gelas yang kuambilkan seperti kemarin nanti dapat cubitan lagi).”
Dibutuhkan masyarakat dan orang untuk mengerti bahwa anak-anak juga memiliki dunia tersendiri, sehingga dalam mendidik juga harus sesuai dengan dunia anak-anak. Bahkan dalam mengajarkan sikap juga harus sesuai dengan dunianya. Jangan sampai latah menghakimi seorang anak dengan label yang buruk.
Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Kepala Sekolah Paud Saddhapala Jaya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara