Program pabbajja yang aku ikuti ini merupakan program baru STI (Sangha Theravada Indonesia) yaitu Uppayuga Dhura yang lebih banyak praktik meditasi dan sedikit pelajaran teori, juga tidak ada latihan ceramah seperti program pabbajja terdahulu.
Pabajja sendiri berasal dari bahasa Pali yang berarti meninggalkan keduniawian. Sementara samanera berarti, calon bhikkhu.
Selama sepuluh hari aku mengikuti program pabbajja samanera sementara yang diadakan oleh Sangha Theravadha Indonesia (STI) yang bertempat di Vihara Dharma Surya Janggleng Kaloran, Temanggung. Pelatihan dimulai tanggal 5 hingga 15 Mei 2019 yang diikuti oleh 32 peserta dari Temanggung dan beberapa kota lain.
Sebelum penahbisan, para calon samanera mengikuti pelatihan persiapan pabbajja selama empat hari dengan menghafal parita penahbisan dan prosedur penahbisan. Hal-hal lucu yang selalu mengocok perut selama pelatihan menjadi kenangan yang tak terlupakan, saat beberapa kelompok yang terdiri dari samanera-samanera sepuh harus berulang-ulang menghafal paritta dalam keadaan jengkeng bahkan sampai ada yang lecet lututnya.
Sempat terasa berat untuk melanjutkan ikut pabbajja Samanera sementara apalagi harus melepas rambut gondrongku dan juga mengikuti peraturan bangun pagi-pagi sepertinya susah. Tetapi terdorong rasa penasaranku untuk mencoba ikut, akhirnya aku harus merelakan rambut dan juga siap merubah kebiasaan selama sepuluh hari. Hal yang sangat terkesan ketika potong rambut gundul plontos rasa dingin-dingin gimana gitu, habis cukur langsung mandi pas kepala dihandukin malah handuknya serasa ada rem cakram mandek seketika di kepala.
Rasa haru menyelimuti perasaanku saat aku bernamaskara di hadapan ibu menjelang penahbisan, begitu juga saat ibuku bernamaskara di hadapanku perasaan campur aduk nggak karuan. Setelah sesi penyerahan jubah akhirnya aku dan teman-teman calon peserta menerima jubah samanera dan mulai belajar memakainya. Bagi aku dan teman-teman yang baru pertama kali memakai jubah sedikit kaku dan seringkali melorot dan harus membenarkan lagi dan lagi. “Setiap saat kok dandan mulu,” celoteh salah satu peserta sambil tertawa.
Belum juga lancar memakai jubah, pikiran kami sudah harus fokus dengan rutinitas sebagai samanera yang harus bangun jam 04.00 WIB dan lanjut meditasi hinggan pukul 05.30 WIB. Rasanya wow sekali merasakan kaki pada kesemutan dan badan kaku semua saat pertama kali meditasi pagi selama satu jam.
Masih sambil merasakan kesemutan kegiatan dilanjutkan dengan merapal Sutta pagi hingga pukul 06.30 WIB, namun setelahnya kami bisa tersenyum lebar karena setelah merapal waktunya untuk sarapan pagi yang disediakan oleh umat. Sambil menyantap makanan muncul perasaan yang tak biasa ketika menyadari bahwa apa yang aku makan adalah dana dari umat, terbayang bagaimana susah payahnya umat menyiapkan segalanya.
Saat istirahat sesudah sarapan sebagian mengisi waktu untuk mandi dan merapikan kamar, ada juga yang sambil berbagi pengalaman hari pertama menjadi samanera. Hingga waktu belajar teori tiba kami semua berkumpul di ruang Dhammaseka untuk mengikuti pelajaran dari bhante. Di ujung sesi teori kami praktik meditasi hingga pukul 10.30 WIB.
Menjelang siang kembali kami bisa merasa senang saat mengikuti kegiatan yang paling ditunggu-tunggu yaitu jadwal pindapatta ke vihara-vihara sekitar Kaloran. Pindapatta menjadi pengobat kejenuhan menjalani pelatihan. Dari kegiatan pindapatta banyak hal-hal yang berkesan, aku menjadi paham bagaimana rasanya menjadi orang yang dihormati banyak umat, selalu disambut dengan bahagia setiap kali berkunjung ke vihara, dilayani dengan penuh kegembiraan. Rasa haru yang mendalam saat aku melihat senyum bahagia para umat saat memberikan dana makanan kepada kami.
Setelah beberapa hari mengikuti latihan ada satu hal yang akan selalu teringat saat berpindapatta, yang mana salah satu peserta pabbajja ada yang menjatuhkan mangkuknya hingga menimbulkan suara yang keras, ingin rasanya tertawa tapi berhubung sudah berjubah dan di depan banyak umat aku pun harus menahan tawaku.
Selesai pindapatta dan makan siang kami beristirahat hingga pukul 14.00 WIB dan dilanjutkan dengan meditasi siang serta pelajaran teori hingga pukul 17.00 WIB. Waktu jeda untuk istirahat dua jam kami gunakan untuk bersih diri dan ngopi hingga mulai kegiatan malam pada pukul 19.00 WIB. Malam hari kami merapal Sutta dan meditasi malam hingga jam istirahat pukul 21.00 WIB.
Rutinitas itulah yang kami lakukan selama sepuluh hari mengikuti pelatihan pabbajja, yang menambah keasyikan tersendiri kegiatan tidak hanya di satu tempat, namun juga dilanjutkan di Salatiga pada hari ke tujuh hingga hari terakhir. Tentunya selain kami berlatih juga kami bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan merasakan suasana baru di tempat lain.
Selama sepuluh hari aku mendapatkan banyak pengalaman dari yang lucu, unik, mengharukan, dan menyenangkan namun ada juga yang menyedihkan saat salah satu teman aku ada yang sakit demam hingga tak merasakan bermeditasi menggunakan tenda,“Wah aku gak ngerasain meditasi di tenda”, kata temenku. Ada juga rasa kecewa saat gagal bermeditasi di hutan pinus Thekelan Salatiga karena hujan turun menjelang berangkat ke hutan Pinus, “Tapi ada hikmahnya juga hujan turun sebelum kita berangkat, coba turunnya ketika kita sudah bermeditasi bisa-bisa masuk angin semua kita,” ujar Bhante Abhayanando menghibur kami.
Baca juga: Bhante Sri Pannyavaro: Ikut Latihan Pabajja Tidak Usah Banyak Angan-angan
Hampir di setiap sesi menghadirkan kelucuan tersendiri, ketika bermeditasi pagi menjelang siang adalah saat-saat terberat untuk bermeditasi karena ngantuk yang tak tertahan. Saking ngantuknya sempat aku melek dan mencoba untuk meditasi jalan, namun perhatianku kadang-kadang malah terfokus pada pemandangan pada teman-temanku yang duduk.
Rasa ingin tertawa menggelitikkku ketika melihat teman-temanku bermeditasi dalam keadaan ngantuk hingga tubuh mereka berayun-ayun bak rumput kering bergoyang tertiup angin bahkan ada juga yang sampai mendengkur.
Pernah aku tak mampu menahan tawaku saat merapal Sutta malam, saat itu dipimpin oleh bhante dengan nada suara yang sangat rendah hingga kami bersuara layaknya nada suara Werkudara/Bima dalam pewayangan. Semakin lama semakin tidak nyaman hingga aku meminta bagian pengangkat suara untuk menaikkan nada sedikit, namun yang terjadi malah pengangkat suaranya bernada terlalu tinggi, seketika aku dan temen-temen sebaris langsung tertawa tak henti-hentinya hingga sakit perut.
Di sisi lain pelatihan pabbajja mengajarkan aku bagaimana merubah kebiasaan-kebiasaan buruk menjadi kebiasaan-kebiasaan baik, disiplin waktu, disiplin aturan, pengendalian diri dan banyak pelajaran lain dari pelatihan ini. Hingga hari terakhir saat pelepasan jubah sebagai tanda berhenti mengikuti pelatihan Pabbajja pada 15 Mei. Meskipun awalnya berat untuk mengikuti pabbajja namun di akhir menjelang pelepasan jubah sesaat muncul rasa yang amat berat untuk melepas dan berhenti menjadi samanera namun akhirnya aku memilih untuk melepaskan jubah dan kembali menjadi umat awam, hingga kelak… siapa yang tahu….
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara