
Tiga pertanyaan ini kerap diajukan kepada saya oleh kenalan baru. Biasanya, ketiga pertanyaan ini diajukan di awal perjumpaan, sebelum diskusi tentang hal-hal yang lebih mendalam terjadi. Di banyak negara, soal agama adalah soal pribadi. Menanyakannya adalah sesuatu yang melanggar privasi. Namun, karena terobsesi dengan agama, orang Indonesia gemar mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam ini.
Tentang agama
Saya lahir, lalu dibaptis Katolik oleh keluarga saya. Saya juga dididik di dalam lingkungan Katolik. Saya paham Katolik dari mulai sejarah, ajaran politis sampai dengan spiritualitasnya. Kebetulan, para pengajar agama saya adalah orang-orang brilian yang terbuka dan amat sangat cerdas.
Namun, di satu titik kehidupan saya, ajaran Katolik tak lagi bergema. Derita yang terasa begitu kuat mencengkram tidak lagi mampu dipahami dan diatas dengan ajaran Katolik. Disitulah saya terbuka pada ajaran-ajaran Dharma Asia, yakni ajaran Buddha dan Hindu. Derita saya pun, perlahan namun pasti, berakhir.
Memang sudah sejak kecil, saya mencintai dunia pemikiran. Saya tak puas dengan ilmu dangkal, apalagi ilmu yang hanya bertujuan mencari uang. Saya mencintai kedalaman pemikiran tentang hidup. Atas dasar itulah saya mendalami filsafat.
Ketika ditanya apa agama saya, saya secara lugas menjawab, agama saya adalah KEHIDUPAN. Ya, kehidupan dengan seluruh kekayaannya. Saya lalu mendalami banyak agama Asia, Afrika dan Amerika. Di dunia yang begitu kaya dengan budaya dan pemikiran, saya merasa tak harus memeluk satu agama secara sempit. Saya menikmati semuanya, dan belajar dari semuanya.
Tentu saja, khas orang Indonesia, mereka langsung bingung dengan jawaban itu. Bagi banyak orang Indonesia, yang belum keluar dari cuci otak sosial, agama itu hanya ada satu, yakni agama keluarga mereka. Agama pun lalu menjadi satu bentuk penyesuaian buta terhadap keadaan sosial. Tidak ada keaslian, dan tidak ada ketulusan.
Saya memilih untuk hidup secara tulus dan asli. Penyesuaian dengan dunia sosial saya lakukan seperlunya saja, tidak berlebihan. Hidup manusia hanya 70-80 tahun, bahkan kurang. Saya tak mau menghabiskan hidup dalam kepalsuan dan kemunafikan, apalagi soal agama.
Saya memilih untuk menjadi mahluk semesta, bersama bintang-bintang, galaksi dan planet di jagad raya maha luas. Saya tak mau dipenjara oleh tradisi lama yang tak lagi sesuai dengan perubahan kehidupan. Saya tak mau dipenjara oleh “apa kata orang” yang cenderung sempit dan bersikap jahat terhadap perbedaan. Saya ingin hidup sesuai dengan kenyataan apa adanya, dan bukan kenyataan yang dipenjara dalam agama, teori maupun filsafat.
Jika bukan karena kesempitan berpikir birokasi pemerintahan, saya sudah mengganti kolom agama di KTP saya menjadi “agama kehidupan”. Saya bisa membayangkan, jika saya melakukan itu sekarang. Tuduhan komunis bisa muncul. Ah, Indonesia… Indonesia. (sambil geleng-geleng)
Tentang doa
Pertanyaan kedua yang sering muncul, apakah masih berdoa? Biasanya, khas orang beragama, berdoa itu meminta. Berdoa itu mengemis, bahkan memaksa Tuhan untuk mengikuti keinginan pribadi saya yang sempit dan dangkal. Saya tidak berdoa dengan cara seperti itu.
Doa saya adalah melihat hidup sebagaimana adanya. Saya menyaksikan segala hal datang dan pergi. Saya menyaksikan pula pikiran saya datang dan pergi. Doa saya, dengan kata lain, adalah meditasi.
Tak ada kata. Tak ada permintaan. Tak ada ucapan syukur. Hanya hening, merasakan getaran semesta di dalam diri. Batin menjadi seluas langit.
Seperti biasa, orang yang mendengar ini pasti bingung. Mereka melihat saya seolah seperti mahluk planet lain. Di dunia yang begitu indah dan sempurna sebagaimana adanya, saya merasa dangkal dan egois, jika masih harus mengemis kepada Tuhan. Doa saya adalah hening di dalam meditasi. Itu cukup, dan sudah memberikan kedamaian yang mendalam untuk diri saya.
Tentang Tuhan
Setelah bingung dengan agama dan doa, biasanya saya ditanya, apakah masih percaya Tuhan? Banyak orang memahami Tuhan sebagai sosok di luar sana. Tuhan lalu disembah, dan dimintai banyak hal. Tuhan pun menjadi obyek nafsu manusia, mulai dari nafsu untuk mendapatkan kesehatan, uang sampai dengan jodoh.
Saya tidak memahami Tuhan seperti itu. Tuhan adalah kecerdasan semesta yang melahirkan segala yang ada di alam semesta. Tuhan juga tidak hanya ada di luar sana. Ia bercokol di dalam diri manusia. Tuhan adalah kehidupan itu sendiri yang berdenyut di setiap nadi saya, dan di seluruh jagad raya semesta.
Maka, mencari Tuhan tak perlu pergi jauh. Saya melihat ke dalam diri untuk menyapa kecerdasan maha besar yang ada di sana. Setiap orang memilikinya. Namun, karena cuci otak salah kaprah, mereka lupa. Mereka pun sibuk mencari Tuhan di luar sana, bahkan menghabiskan uang begitu banyak secara sia-sia.
Sebagai kecerdasan semesta, Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Segala hal di alam semesta itu sudah suci apa adanya. Tidak ada yang kotor dan jahat. Kejahatan terjadi, karena penderitaan dan ketidaktahuan manusia.
Inilah agama, doa dan Tuhan yang menjadi panduan hidup saya. Di abad 21 yang amat kompleks dan kaya ini, saya rasa, inilah jalan hidup terbaik. Kita menjadi manusia terbuka yang bisa belajar dari segala sesuatu. Hidup pun menjadi petualangan intelektual, sekaligus petualangan spiritual yang tidak akhir.
Tertarik mencoba?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara