• Monday, 28 May 2018
  • Goenawan S
  • 0

Pada batur pertama Candi Jago, dipahatkan beberapa cerita binatang. Di bagian depan batur pertama terdapat bagian yang menjorok ke depan dan di kiri kanan bagian ini terdapat dua buah tangga untuk naik ke atas batur.

Cerita binatang pada batur pertama ini di mulai dari sudut barat laut hingga pertengahan sisi selatan. Terdiri dari empat belas cerita atau tepatnya tiga belas cerita karena ada sebuah cerita yang digambarkan dua kali.

Relief cerita tersebut dapat diikuti jalan ceritanya dengan prasawya atau berjalan dengan berjalan berlawanan arah jarum jam.

Beberapa cerita tersusun tidak berurutan dengan jalan ceritanya (relief ke-5 dan ke-6). Beberapa yang lain terbalik urutan ceritanya (relief ke-9). Krom dalam Inleiding to de Hindoe-Javaansche Kunst II hal. 114 menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekeliruan atau kurang telitinya sang pemahat.

Cerita ini terdapat dalam kitab Panchatantra Panchakhyanaka, Panchatantra Tantrakhyayika, Katha Sarit Sagara dan Hikayat Kalila, dan Damina, meskipun dengan beberapa perbedaan peran.

Pada suatu masa, terdapat seekor ular hitam bernama Mandawisa yang ingin sekali mendapatkan makanan dengan cara yang mudah. Kemudian pergilah ia menuju ke sebuah kolam yang banyak kataknya. Di sana ia bertemu dengan seekor katak yang bertanya kepadanya, mengapa ia sekarang mengabaikan saja kehadiran katak, padahal ia adalah hewan yang suka memakan katak.

Baca juga: Kisah Bubuksah dan Gagak Aking

Mandawisa menjawab bahwa ia telah bertemu dengan ayah seseorang yang telah dibunuh dengan bisanya dan orang tua itu mengutuknya bahwa ular itu akan menjadi kendaraan katak dan ia harus hidup dari nafkah yang didapat dari pemberian. Oleh karena itu maka pergilah Mandawisa ke kolam tersebut.

Katak itu bersenang hati mendengar perkataan sang ular dan segera memberitahukan berita itu kepada raja katak yang bernama Jalapada. Sang Jalapada pun bergirang hati mendengar berita itu, dengan diiringi para menterinya, Sang Raja pun mulai menaiki ular dan berkeliling di wilayahnya.

Beberapa minggu kemudian, Mandawisa sang ular, berpura-pura merayap perlahan, hal ini membuat Jalapada bertanya mengapa sang ular sekarang menjadi tidak enak untuk dinaiki.

Berkatalah Sang Raja, makanlah katak-katak yang kecil itu sebagai makananmu, jawab sang ular, karena ini adalah juga bagian dari kutukan untuk mendapatkan nafkah dari pemberian maka kuikuti perintahmu untuk memakan katak-katak kecil itu. Demikianlah maka sang ular pun selalu memakan katak katak kecil itu sehingga tidak bersisa dan Sang Raja pun akhirnya menjadi santapannya pula.

Inti dari cerita ini adalah, “Janganlah merasa sombong atas segala yang dimiliki karena suatu saat akan terjatuh dan celaka karena kesombongan itu.”

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *