• Monday, 28 May 2018
  • Victor A Liem
  • 0

“Budaya Jawa minangka warisan leluhur kang adiluhung iku ngandhut macem-macem pelajaran moral, yaiku nyakup andhap asor, budi pekerti lan tata krama uga unggah-ungguh krama minangka dadi obor ing urip iki.”

Terjemahan bebasnya:

“Budaya Jawa sebagai warisan leluhur yang adiluhung, di dalamnya terkandung berbagai macam pelajaran berkenaan dengan moral, meliputi sopan santun, budi pekerti, dan tata krama serta unggah-ungguh (etika), demikian sangat diunggulkan sebagai obor pedoman hidup sehari-hari.”

Tulisan ini mengupas mengenai pentingnya menjaga tradisi dan budaya dari sudut pandang Buddhadharma terutama Vajrayana yang dahulu tumbuh subur di Nusantara.

Apa itu adiluhung?

Kata “adiluhung” dimaknai sebagai sesuatu yang luhur, atau sesuatu yang sangat bernilai tinggi. Maksudnya, berbagai macam ekspresi budaya berujung atau mengarah pada nilai keluhuran budi pekerti.

Harus dibedakan antara budaya yang adiluhung dengan budaya yang biasa. Ini pembagian istilah saja. Budaya yang biasa itu umumnya hanya hiburan, atau menekankan aspek fungsi saja. Seperti budaya modern berupa penemuan teknologi, ini jelas aspek fungsi.

Budaya pop, itu hanya hiburan, estetika dan gaya hidup yang dominan bagi anak-anak muda. Berbeda budaya yang adiluhung. Apabila kita perhatikan, yang adiluhung itu sarat dengan simbol. Penggunaan simbol yang memiliki makna tertentu. Mengandung ajaran tertentu yang jika ditelusuri maka akan membawa pada sesuatu yang adiluhung.

Upaya kausalya

Salah satu ciri khas Vajrayana adalah penggunaan simbol-simbol sebagai sarana melatih diri. Walaupun simbol digunakan dalam tradisi lain, namun penggunaan simbol dalam Vajrayana sangat menonjol. Karena itu perkembangan Vajrayana sangat beragam dan dapat menyesuaikan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Bukan hanya dalam wujud kemasan luar, variasi yang lain nampak pada banyaknya metode praktik yang menyesuaikan karakteristik individu yang mempraktikkannya.

Hal seperti ini bisa dilihat dalam perkembangan agama Buddha di Tibet. Agama Buddha di sana dapat menyatu dengan budaya dan karakteristik orang Tibet. Demikian juga halnya di Nusantara di masa lalu. Yang paling nampak seperti corak arsitektur bangunan candi dan ikonografi yang menunjukkan keunikannya masing-masing, berbeda dengan bangunan di negara Buddhis lain, yang juga memiliki sarat makna “Adiluhung”.

Baca juga: Kesadaran Budaya

Dalam Mahayana ada istilah “upaya kausalya“, atau sering disebut sebagai “upaya”, adalah kata Sanskerta yang berarti “sarana yang terampil” (skillful means). Hal ini dapat dijelaskan sebagai menerapkan teknik yang benar atau membuat pilihan bijak dalam suatu situasi untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Menggunakan upaya kausalya dianggap sebagai atribut dari bodhisattva, atau makhluk tercerahkan yang membantu orang lain dalam mencapai pencerahan juga.

Umat Buddha mempraktikkan upaya kausalya dan guru mengajarkannya sebagai cara untuk membantu para murid mencapai pencerahan. Buddha sendiri juga menggunakan upaya kausalya ini dengan memvariasikan ajarannya agar sesuai dengan para pendengarnya. Sudah tentu, presentasi ajaran akan berubah sesuai dengan tingkat pemahaman para murid, yang membuat Dharma bisa dipahami oleh orang-orang dari semua tingkat spiritual.

Dua prinsip utama

Dalam Vajrayana ada dua prinsip utama yaitu metode (upaya) dan kebijaksanaan (prajna). Metode disimbolkan sebagai vajra. Sedangkan kebijaksanaan disimbolkan sebagai genta (ghanta) atau bel. Metode secara umum disebut upaya kausalya, dan dalam Vajrayana (seperti yang sudah disinggung sebelumnya) sangat banyak variasi metode seperti ini.

Mengenai penjelasan praktis dua prinsip utama bisa dipahami melalui uraian berikut.

Suatu ketika HH Dalai Lama XIV ditanya oleh seseorang, “Bagaimana cara Anda mengatasi emosi negatif? Apakah ada cara sederhana yang bisa dilakukan?”

Dalai Lama menjelaskan bahwa emosi negatif muncul atau berhubungan pada dua hal. Pertama, perilaku yang berpusat pada diri (self-centered attitude). Sedikit-sedikit merasa Aku, Aku, Aku, milikku, milikku, seperti itu.

Kedua, emosi negatif muncul pada saat kita menerima hal yang nampak atau kelihatan sebagai realita. Dalam Buddhis itu merujuk pada ajaran Anatman dan ajaran Sunyata. Tidak ada hal yang nampak itu sebagai realita. Dengan kata lain, hal yang nampak itu tidak ada (exist) .

Emosi negatif umumnya muncul karena reaksi atas penampakan. Jika penampakan itu dipahami tidak ada, maka tidak ada reaksi berupa emosi negatif. Ini adalah sisi kebijaksanaan (prajna). Di sisi lain adalah upaya, yakni altruisme. Altruisme ini adalah daya penawar dari perilaku yang berpusat pada diri.

Perilaku yang berpusat pada diri adalah satu faktor. Faktor lainnya adalah kemelekatan akan sesuatu yang nampak. Jika dua faktor ini diatasi atau dilemahkan, maka akan melemahkan dan melenyapkan emosi negatif. Dalam Vajrayana, pengembangan dari metode dan kebijaksanaan ini, maka akan mengarah pada pencerahan.

Tradisi dan budaya sebagai praktik

Tradisi dan budaya akan menjadi praktik apabila menyertai dua prinsip utama, yaitu metode (upaya kausalya) dan kebijaksanaan (prajna).

Tradisi dan budaya yang sarat akan makna dan menjadi cara mengingatkan diri dan kontemplasi, maka jelas sekali memiliki fungsi sebagai upaya kausalya. Ketika tradisi tersebut menjadi sarana untuk mengelola dan mengendalikan diri lebih baik, maka akan membawa pada pengertian tentang hidup dan kehidupan. Inilah bagian dari yang “adiluhung”, tidak lain, adalah kebijaksanaan (prajna).

Harus diakui, kita semua membutuhkan tradisi dan budaya sebagai sarana menuju pencerahan. Karena seperti itulah tujuan kita semua, menuju yang “Adiluhung”. Hanya demikian yang membuat diri dan dunia sekitar penuh kedamaian dan kebahagiaan.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *