• Wednesday, 19 December 2018
  • Gusti Ayu
  • 0

“Silakan masuk Mbak… sudah ditunggu Eyang,” kata petugas Wisma Lansia Harapan Asri, Banyumanik, Semarang. Sejenak kemudian, dari salah satu sudut teras kamar, keluar seorang eyang putri yang meskipun sudah berusia 81 tahun, wajah ayunya masih tampak memesona. “Sini… sini… silakan duduk di sini yah,” sambut eyang itu ramah. Lalu, Mbak Witri, salah satu dari kami, memperkenalkan diri siapa saja kami bertiga, kepada sastrawan wanita penyuka bunga anggrek itu.

“Oh… makanya tadi petugas menyebut nama Bhante Giri, dan Wihara Watu Gong. Biasanya saya tidak menerima tamu sebelum mengatur janji. Saya pikir baiklah kalau hanya sebentar, saya jadi teringat biografi Bhante Giri. Maklum, namanya juga sudah usia. Kalau siang habis bersantap gini, ya ngantuk. Harus disiplin untuk istirahat. Biar nanti sore bisa kegiatan lagi,” terang penulis yang menyukai pembersih lantai beraroma serai untuk kamarnya.

Masa kecil di kota lumpia, Semarang

Ya siang itu, sesudah jam makan siang, Selasa, 17 Oktober 2017, kami bertiga diterima Ibu Nurhayati Sri Hardini. Wanita kelahiran kampung Sekayu, di Semarang, 29 Februari 1936 itu lebih dikenal dengan nama N.H. Dini. Nama pena yang diambil dari akronim judul karya sastranya, Namaku Hiroko. Sebuah novel yang diterbitkan pada tahun 1977, oleh PT Dunia Pustaka Jaya (kemudian diambil alih oleh PT Gramedia Pustaka Utama).

N.H. Dini adalah putri pasangan Raden Mas Salyowijoyo (Madiun, 19 November 1900), dan Raden Ayu Kusaminah (Magetan, 7 Agustus 1899). Tertera dalam otobiografi beliau yang tercantum dalam selembar leaflet yang diberikan kepada kami. Masa kecil N.H. Dini dihabiskan di kampung Sekayu, beberapa ratus meter dari Balai Kota Semarang, sekarang. Oleh Ibunya, N.H. Dini dikenalkan baca-tulis huruf latin, huruf Jawa, dan huruf Arab. Ia fasih bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda. Selain itu, N.H. Dini akrab dengan dunia batik, dari ibunda tercintanya. Mulai dari membatik dengan proses pewarnaan, sampai selesai.

Pada usia 15 tahun, atau pada tahun 1951, N.H. Dini menulis sajak dan prosa beriramanya untuk dibaca sendiri di RRI Semarang. Lalu ia mulai menulis dan siaran di RRI Jakarta, serta menulis di majalah Gajah Mada dan Budaya, di Yogyakarta. Ia memelopori berdirinya kelompok sandiwara di sekolahnya, di SMA Sastra Bojong, diberi nama Pura Bhakti. Sempat pula menjadi redaksi majalah pelajar Gelora Muda, pada tahun 1953.

Tahun 1953 sampai 1956, ia aktif menulis dan memenangkan berbagai perlombaan penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Tahun 1956, N.H. Dini meniti karir di Garuda Indonesia Airways, Kemayoran, sambil tetap aktif menulis di berbagai majalah yang diterbitkan, khususnya di ibukota.

Kehidupan keluarga, dan karya sastranya

Pada tahun 1960, N. H. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang konsul Perancis yang bertugas di Kobe-Jepang. Perkawinannya dengan warga negara Perancis itu, dikaruniai dua buah hati. Pertama seorang putri yang lahir di Kobe, Jepang, tanggal 16 Februari 1961, diberi nama Marie-Claire Lintang. Anak keduanya seorang putra yang lahir di L’hay-les-Roses, Perancis, 16 Maret 1967, diberi nama Pierre Louis Padang. Sebagai seorang istri diplomat, N.H. Dini setia mendukung sang suami melanglang buana. Selain di Jepang, ia pernah menetap di Pnom-Penh, Kamboja; Manila; Filipina; Perancis; dan Michigan, Amerika Serikat.

Sesudah melewati masa sulit operasi kanker kandungan di pertengahan dekade tahun 1970-an, N.H. Dini kembali ke tanah air. Tahun 1984, ia resmi berpisah dari Yves Coffin dan berhasil meraih kembali status WNI-nya, melalui keputusan Pengadilan Negeri Jakarta. Lalu kembali menetap di rumah orangtuanya, kampung Sekayu II/348, Semarang.

Saat itulah N.H. Dini bangkit dari masa sulit atas kesehatan dan kehidupan keluarganya. Ia mulai menulis, memberikan ceramah tentang bimbingan menulis, mendirikan pondok baca dan perpustakaan, dan lebih aktif menerbitkan karya-karya tulisnya. Baik di majalah, koran, hingga buku-buku novel, yang terhitung sejak tahun 1956, N.H. Dini telah menerbitkan lebih dari 45 buah buku.

Kawan baik Pandita Raden Cakkavidya Sabar Alym Kresna Adhi

Tak jauh dari salah satu gang di kampungnya, tepatnya di kampung Sekayu Tumenggungan, ada seorang pemuda yang berdinas sebagai seorang polisi di Polda Jateng. Namanya Raden Sabar Alym Kresna Adhi, putra Raden Soedarsono – seorang warga Buddha awal di Wihara Tanah Putih dan turut mendirikan Yayasan Buddha Santi (saat itu, tahun 1965, masih menaungi krematorium di Jl. Dr. Cipto, Semarang).

Tatang Kristiadi (53 tahun), anak ke-7 Raden Cakkavidya Sabar Alym Kresna Adhi (selanjutnya Pandita Sabar Alym) dalam suatu kesempatan menuturkan, ayahnya akrab dengan N.H. Dini sejak muda. Selain sama-sama warga kampung Sekayu, Pandita Sabar Alym adalah pelaku peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang. Peristiwa perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang juga disaksikan N.H. Dini dan warga kota Semarang lainnya, pada tanggal 15-19 Oktober 1945.

Baik N.H. Dini maupun Pandita Sabar Alym mempunyai hobi yang sama, membaca. Pandita Sabar Alym sejak muda hobi mengkliping berita di koran, dan mengoleksi buku-buku kuno, khususnya bidang sejarah dan budaya Jawa. Sementara N.H. Dini berminat pada sastra novel, khususnya tentang perjuangan kesetaraan gender.

Menulis biografi Bhikkhu Girirakkhito Mahathera

Di kemudian hari, N.H. Dini menekuni karya tulis bercorak Buddhis setelah ia mendapat kepercayaan untuk menulis biografi Bhikkhu Girirakkhito Mahathera. Ia menuturkan kepada kami, bahwa saat itu memerlukan waktu sekitar 3 bulan untuk mengumpulkan bahan dan membaca banyak referensi tentang Buddhis dan sejarah Bali. N.H. Dini sempat bersua dengan nara sumbernya langsung, Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Bhikkhu Sri Pannyavaro Thera, Bhikkhu Thitaketuko Thera, Ibu Djero Made Wanasari, Dra. Siti Hartati Murdaya, Ir. Ida Bagus Dwipa, Ir. Ida Ayu Sukarini, Drs. Ida Bagus Rahula, Drs. Sudiarto, dan Ir. Lindawati T.

Proyek penulisan biografi ini digagas Yayasan Buddha Gaya, yang menaungi Wihara Buddha Gaya, Watu Gong, Semarang. Buku setebal 229 halaman yang terbit tahun 1996 ini, N.H. Dini menuangkan bahan data hasil wawancara dengan gaya narasi novel. Maka kita rasakan sentuhan rasa sastra mengalir indah saat membaca biografi Bhante Girirakkhito Mahathera yang wafat pada 5 Januari 1997, atau sekitar setengah tahun sesudah penerbitan buku biografi beliau.

Baca juga: Sangharakshita, Seorang Guru Buddhis dan Penulis Meninggal Dunia

N.H. Dini mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan setting tokoh Wisnu dan Rahula; putra Ida Bagus Giri (Bhikkhu Girirakkhitho Mahathera) yang saat itu pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di bangku SMP. Pada bab 4, halaman 123 sampai 132 buku biografi itu, N.H. Dini melukiskan kerinduan yang sangat dalam, dua orang kakak-beradik yang ditinggalkan ayahnya menjadi bhikkhu sejak SD. Mereka berjuang keras untuk bisa berjumpa ayahnya setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu.

Sesudah sekitar satu jam berbincang di teras kamarnya, N.H. Dini sempat menunjukkan koleksi taman yang dipenuhi bunga anggrek. Ia dengan sabar juga menerangkan ikan hias piaraannya, sambil mendengar penuturan Mbak Witri. Fans berat N.H. Dini ini memberi nama putri pertamanya berdasarkan inspirasi novel karyanya, Lintang, yang berjudul Jepun, Negerinya Hiroko (2000), dan Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama, dan beliau berkenan membubuhkan tanda-tangan pada buku biografi Bhante Girirakkhito Mahathera yang kami bawa.

Hiroko melukiskan Tilakkhana

Di dalam bab 5, halaman 133 buku biografi Bhikkhu Girirakkhito Mahathera itu, dapat kita jumpai pemahaman N.H. Dini tentang Tiga Corak Umum kehidupan atau Tilakkhana. Yaitu anicca (ketidakkekalan), dukkha (ketidakpuasan), dan anatta (tanpa inti). Ulasan salah satu pokok ajaran Buddhadharma yang menjelaskan misteri hidup dan kehidupan setiap makhluk ini, dengan apik dituangkan dalam biografi Bhante Giri, yang tentu telah beliau pahami dengan baik. Seakan-akan dalam bab itu, N.H. Dini ingin menyelipkannya secara khusus sebagai pesan Dharma sebagai seorang penulis kepada pembaca.

Setahun sesudah pertemuan itu, Selasa petang, 4 Desember 2018 yang lalu, kita semua terhenyak dengan berita wafatnya beliau yang mendadak. Agaknya itulah jawaban dari pesan Dharma N.H. Dini yang ia tuangkan secara khusus dalam bab 5 biografi Bhikkhu Girirakkhito Mahathera. Ia menuliskan pesan Dharma, bahwa hidup ini bersifat Tilakkhana.

Seolah N.H. Dini sendiri dalam buku berjudul Panggilan Dharma Seorang Bhikkhu, Biografi Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, telah menyampaikan pesan, “Janganlah kita larut dalam rasa sedih yang mendalam atas kehilangan seseorang yang kita cintai. Termasuk dengan kepergiannya yang mendadak. Ini karena sifat kehidupan setiap makhluk itu pastilah mengalami Tiga Corak Umum Kehidupan.”

Sebagai warga Buddha, yakinlah kita bahwa dengan kebajikan mendiang yang telah dilakukan semasa hidupnya. Ibu N.H. Dini telah terlahir di alam bahagia, dan mungkin telah “bersua” Bhante Girirakkhito Mahathera di alam-alam yang bahagia. Selamat jalan, Hiroko… warga Buddha turut bangga, karena Hiroko telah turut mengabadikan sastra bercorak Buddhis dalam deretan karya-karya besarmu. Semoga Ibu N.H. Dini terlahir di alam bahagia. Sadhu, sadhu, sadhu.

Gusti Ayu Rus Kartiko | Mewakili Badra Santi Institute menjadi peserta aktif Bimtek Penulisan Sejarah pada Direktorat Sejarah, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud 2018.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *